Rabu, 29 Januari 2014

PERATURAN KEBIJAKAN DALAM HAN


PERATURAN KEBIJAKAN DALAM HAN

Banyak dari kita yang tidak mengetahui apakah yang dimaksud dengan beleidsregel atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan peraturan kebijakan. Termasuk penulis, penulis baru mengetahui setelah mendapatkan tanggung jawab sebagai moderator sebuah acara pelatihan bagi Pemerintah Provinsi salah satu Daerah. Sekilas banyak yang mengira kalau beleidsregel ini sejenis atau semarga dengan peraturan perundang-undangan lain seperti UU,PP,Perpres dan lain-lain padahal sebenarnya tidaklah demikian. Lalu apakah yang dimaksud dengan beleidsregel ini?
            Beleidsregel atau peraturan kebijakan ini sebenarnya adalah jenis Tindak Administrasi Negara dalam bidang hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiek rechtelijke handelingen).Ia merupakan hukum bayangan (spiegelrecht) yang membayangi undang-undang atau hukum yang terkait pelaksanaan kebijakan (policy). Beleidsregel berasal dari kewenangan diskresi yang pada umumnya digunakan untuk menetapkan kebijakan pelaksanaan ketentuan undang-undang.[1] 
            Laica Marzuki menambahkan bahwa beleidsregel itu sendiri terdiri dari unsur-unsur seperti berikut:
1.      Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara sebagai perwujudan freies ermessen (discretionary power) dalam bentuk tertulis, yang setelah diumumkan keluar guna diberlakukan kepada warga;
2.      Isi peraturan kebijakan dimaksud, pada nyatanya telah merupakan peraturan umum (generale rule) tersendiri, jadi tidak sekedar sebagai petunjuk pelaksanaan operasional sebagaimana tujuan semula dari peraturan kebijkan atau beleidsregel itu sendiri. Badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan peraturan kebijakan itu sama sekali tidak memiliki kewenangan membuat peraturan umum (generale rule) namun tetap dipandang legitimated mengingat beleidsregel adalah merupakan perwujudan freies ermessen yang diberi bentuk tertulis.[2]

Bagir Manan menambahkan bahwa beleidsregel ini adalah jenis peraturan yang tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan, akibatnya karena bukan jenis peraturan perundang-undangan maka tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan. Suatu peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara hukum (wetmatigheid), karena memang tidak akan ada dasar peraturan perundang-undangan untuk keputusan membuat peraturan kebijakan. Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi Negara yang bersangkutan untuk membuat peraturan perundang-undangan (baik karena secara umum tidak berwenang maupun untuk obyek yang bersangkutan tidak berwenang mengatur).Selanjutnya dikatakannya bahwa pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih diarahkan pada doelmatigheid dan karena itu batu ujiannya adalah asas-asas umum penyelenggaraan pemerintah yang layak.[3]
Van Kreveld mengatakan (sebagaimana dikutip oleh Safri Nugraha dkk dalam bukunya yang berjudul Hukum Administrasi Negara) walau didasarkan pada azas freies ermessen, beleidsregel ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk kemudian dapat berlaku. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1.      Tidak dapat bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkannya;
2.      Tidak dapat bertentang dengan nalar sehat;
3.      Harus dipersiapkan dengan cermat, kalau perlu meminta advis teknis dari instansi yang berwenang, rembukan dengan para pihak yang terkait dan mempertimbangkan alternatif yang ada;
4.      Isi kebijakan harus jelas memuat hak dan kewajiban warga masyarakat yang terkena dan ada kepastian tindakan yang akan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan (kepastian hukum formal);
5.      Pertimbangan tidak harus rinci, asalkan jelas tujuan dan dasar pertimbangannya; dan
6.      Harus memenuhi syarat kepastian hukum materiil, artinya hak yang telah diperoleh dari warga yang terkena harus dihormati, kemudian harapan yang telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.[4]
Sehingga jelas kemudian jika kita melihat beleidsregel ini adalah jenis peraturan yang tidak termasuk peraturan perundang-undangan, didasarkan atas asaz freies ermessen, dan berlaku secara umum. Mengutip dari Bagir Manan bahwa beleidsregel ini tidak mempunyai dasar peraturan perundang-undangan maka bisa kita katakana kalau beleidsregel ini berdiri secara mandiri tanpa terikat dengan peraturan yang lebih tinggi baik itu UUD 1945, UU atau peraturan perundang-undangan lainnya. Sudah pasti kemudian karena ia tidak mempunyai gantungan peraturan yang lebih tinggi maka ia terlepas dari prinsip peraturan perundang-undangan yang umum seperti yang digariskan oleh Adolf Merkl.
            Adolf Merkl mengemukakan suatu teori yang ia sebut sebagai das Doppelte Rechtsanlitsz bahwa suatu hukum itu selalu mempunyai dua wajah. Baginya, suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya. Hal ini menyebabkan suatu norma hukum mempunyai keberlakuan yang relatif sehingga jika norma hukum yang di atasnya dihapus atau dicabut maka otomatis norma hukum yang ada di bawahnya terhapus juga.[5]
            Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Hans Kelsen dengan Stufentheorie atau teori jenjang norma hukum. Menurut Kelsen bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif (Grundnorm).[6]
            Beleidsregel ini tidak mengikat hukum secara langsung namun mempunyai relevansi hukum.[7] Hal ini dapatlah dipahami karena karakteristik dari beleidsregel yang memang berbeda dengan norma hukum publik yang lain dimana Stufentheorie Hans Kelsen mengikat secara erat. Beleidsregel ini dapat kita katakan bukan hukum tetapi ketentuan. Ketentuan bukanlah hukum, ia tidak mempunyai dampak seperti norma hukum yang lain. Tentunya ini adalah hal yang adil mengingat kedudukan beleidsregel yang tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan.
            Karena sifatnya yang tidak legal formal tersebut, dampak daya ikat beleidsregel juga tidaklah sekuat norma hukum pada biasanya. Ia dibentuk memang untuk tujuan ‘menyimpangi hukum positif’ yang berlaku. Tentunya seorang pejabat administrasi negara kadangkala mengalami suatu kondisi dimana ia harus mengambil suatu keputusan dengan cepat dan tepat karena menyangkut masyrakat banyak. Namun disisi lain ia juga terikat oleh peraturan-peraturan administrasi negara yang mengikat jabatannya sebagai seorang pejabat administrasi negara. Dalam kondisi yang serba cepat seperti ini maka pejabat administrasi negara dituntut untuk memiliki kecerdasan dan sikap tindak yang tepat lagi bertanggung jawab untuk mengakomodir kepentingan masyarakat tersebut dengan cara mengeluarkan beleidsregel. Seperti itulah kondisi yang melatar belakangi suatu beleidsregel biasanya lahir.
            Karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan maka otomatis suatu beleidsregel tidaklah dapat diuji secara hukum (wermatigheid). Namun walaupun begitu beleidsregel bukan berarti ‘bebas murni’, menurut Van Kreveld (seperti telah dijelaskan di atas) bahwa beleidsregel ini Tidak dapat bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkannya dan tidak dapat bertentang dengan nalar sehat. Artinya tetap memiliki batasan-batasan tertentu.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan

berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.