Rabu, 29 Januari 2014

PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DI DUNIA MUSLIM


PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DI DUNIA MUSLIM :

Sejarah, Gerakan dan Perbandingan

Oleh : Yusdani

Abstract

The modern legislation in the field of law, especially in the family law at beginning of twentieth century entered and influenced on the Moslem family law. The characteristics of modern legislation was unification, codification, written law and the certainty of law. Toward the demand and the challenge of modern legislation, Moslem Countries have applied the books of fiqh that produced in the classical and the medieval period emerged ambivalent attitude. On one hand a group of Moslem scholar of fiqh thought that they must be guided by the books of fiqh school. On the other, they thought, they needed to harmonize the materials of law in the books of fiqh school with demanding modern legislation, for instance that conducted by Egypt, Pakistan, and Indonesia.  So in the context of how to place the position of the result of thinking in family law in modern of Moslem world proportionally, it is urgent to research why and what background of the family law reform in Egypt, Pakistan, and Indonesia by using historical and comparative approach.

The result of this research revealed that (1)the reason for Egypt, Pakistan and Indonesia to reform the family law is to fulfill the demand and the challenge of modern legislation,(2) the method of family law  reform in three countries above combines the principle of the public interest and the method of siyasah, tatbiq, takhayyur and tajdid, (3) the materials of family law in three countries, either in the Marriage act, in heritance law, in testament law or the others remove from the books of fiqh, and in many cases of the materials differ from the books of fiqh fundamentally.         

Key  words : Modern Legislation, Moslem Family Law, Reform

 

LATAR BELAKANG MASALAH

            Pada zaman modern, khususnya abad ke-20, bentuk-bentuk literatur hukum Islam telah bertambah dua macam, selain fatwa, keputusan pengadilan agama, dan kitab fiqh. Adapun yang pertama ialah Undang-Undang yang berlaku di negara –negara muslim khususnya mengenai hukum keluarga. Sedangkan yang kedua adalah Kompilasi Hukum Islam yang sebenarnya merupakan inovasi Indonesia. kompilasi bukan kodifikasi, tetapi juga bukan kitab fiqh (Mudzhar, 1999:113).

Sikap para ulama terhadap diundangkannya materi-materi hukum keluarga di negara-negara muslim telah menimbulkan pandangan pro dan kontra, bahkan perdebatan sengit antara ulama-ulama yang tetap ingin mempertahankan ketentuan-ketentuan hukum yang lama dengan kalangan pembaru baik dalam persoalan-persoalan, baik yang menyangkut metodologi maupun substansi hukumnya (Donohue dan Esposito,1995: 365-366). Sebagai contoh misalnya, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, umat Islam Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memadai untuk mengatur masalah-masalah keluarga, perkawinan, perceraian dan warisan. Sementara sebagian ulama tradisional Indonesia masih ada yang belum sepenuhnya memahami atau menyetujiui berbagai aturan dalam kedua undang-undang tersebut karena dianggap tidak selamanya sesuai dengan apa yang termuat dalam kitab-kitab fiqh.
 Akan tetapi sebagian ulama lain merasa bangga dengan lahirnya kedua undang-undang itu karena dianggap sebagai kemajuan besar dalam perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Apalagi dengan disepakatinya hasil Kompilasi Hukum Islam oleh para ulama Indonesia pada tahun 1988 yang kemudian diikuti oleh Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni 1991 untuk menyebarluaskan dan sedapat mungkin menerapkan isi kompilasi tersebut, hal ini telah menandai lembaran baru dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia khususnya dalam bidang hukum keluarga (Mudzhar,1999 : 173).
Untuk meletakkan hasil pemikiran hukum Islam dalam bidang hukum keluarga di dunia muslim secara benar dalam perspektif perkembangan pemikiran hukum Islam,  penelitian terhadap materi-materi atau naskah-naskah kitab undang-undang hukum keluarga yang berlaku di negara-negara muslim menjadi penting. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul Pembaruan Hukum Keluarga di Dunia Muslim : Sejarah, Gerakan dan Perbandingan.

PERMASALAHAN    
Berpangkal tolak dari dasar-dasar  pemikiran di atas, yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Mengapa  kaum muslim pada era moderen di satu pihak melakukan pembaruan hukum keluarga sedangkan di sisi lain kaummuslim masih terikat dengan fiqh mazhab ?
2.Bagaimana  negara-negara muslim di atas melakukan mereformasi hukum keluarga mereka ?
3.Materi-materi  apa  dalam undang-undang hukum keluarga  yang berlaku di negara-negara muslim berbeda secara fundamental dengan kitab-kitab fiqh ?

STUDI PUSTAKA

Negara-negara muslim di dunia ini dalam hubungannya dengan reformasi hukum keluarga dapat dikategorikan menjadi (1) Negara muslim yang sama sekali tidak mau melakukan pembaruan dan masih tetap memberlakukan hukum keluarga sebagaimana yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh dari mazhab yang dianut. Saudi Arabia merupakan contoh dari negara muslim yang termasuk kategori ini, (2) Negara muslim yang sama sekali telah meninggalkan hukum keluarga Islam (fiqh) dan sebagai gantinya mengambil hukum sipil Eropa. Turki adalah contoh negara yang termasuk kelompok ini, dan (3) Negara-negara muslim yang berusaha memberlakukan hukum keluarga Islam setelah mengadakan pembaruan. Di antara negara yang termasuk kelompok ini adalah Mesir, Tunisia, Pakistan dan Indonesia (Anderson, 1975:82-91).
Pembaruan dalam bidang hukum keluarga di dunia muslim ditandai tidak saja oleh penggantian hukum keluarga Islam (fiqh) dengan hukum-hukum Barat, tetapi juga oleh perubahan-perubahan dalam hukum Islam itu sendiri yang didasarkan atas reinterpretasi (penafsiran kembali) terhadap hukum Islam sesuai dengan perkembangan penalaran dan pengamalannya. Dengan cara inilah hukum keluarga di dunia muslim  mengalami perubahan. Tujuan utama pembaruan hukum keluarga tersebut adalah meningkatkan status atau kedudukan kaum wanita dan memperkuat hak-hak anggota keluarga (Donohue dan Esposito,1995:364-365).
Di samping itu, ada juga pembahasan persoalan gender dan dampaknya terhadap perkembangan hukum Islam” yang memfokuskan pada permasalahan bahwa pembaruan hukum keluarga di dunia muslim bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan derajat kaum wanita (Mudzhar,1999:121).
Pembahasan pembaruan hukum keluarga di negara-negara muslim tersebut ada penelitian atas 22 negara muslim yang terdiri dari 13 negara Arab dan 9 negara non-Arab. Pembahasan di atas meliputi latar belakang sejarah pembaruan hukum keluarga di negara-negara muslim, teks-teks perundang-undangan masing-masing dari 22 negara, dan mempergunakan analisa perbandingan (Mahmood,1987).
Penelitian-penelitian di atas belum membahas secara rinci mengenai hal-hal yang melatarbelakangi munculnya pembaruan pemikiran hukum keluarga di dunia muslim, sifat dan metode ijtihad yang dipergunakan kaum muslim dalam mereformasi hukum keluarga dan bagaimana meletakkan hasil pemikiran hukum Islam dalam bidang hukum keluarga di dunia muslim secara benar dan bertanggungjawab dalam perspektif perkembangan pemikiran hukum Islam. 
   

KERANGKA TEORI

Dalam perspektif historis, pembaruan hukum Islam menampakkan diri dalam bentuk (1) kodifikasi (pengelompokkan hukum yang sejenis ke dalam kitab undang-undang) hukum Islam menjadi hukum perundang-undangan negara, yang dinamakan sebagai doktrin siyasah,(2) tidak terikatnya umat Islam hanya pada satu mazhab hukum tertentu, yaitu disebut doktrin takhayyur (seleksi) pendapat yang paling dominan dalam masyarakat, (3) penerapan hukum terhadap peristiwa baru, yang disebut doktrin tatbiq, dan (4) perubahan hukum dari yang lama kepada yang baru yang dinamakan tajdid-reinterpretasi(Coulson,1994:149-185).

METODE

Penelitian ini bersifat penelitian pustaka (library research) yang sumber utamanya adalah buku Personal Law in Islamic Countries : History, Texts and Comparative Analysis karya Tahir Mahmood yang diterbitkan di New Delhi oleh penerbit Academy of Law and Religion 1987. Di samping sumber tersebut juga didukung buku-buku dan jurnal yang secara langsung berhubungan dengan pokok permasalahan penelitian.
Negara muslim yang peneliti teliti dalam penelitian ini adalah tiga negara, yaitu Mesir mewakili negara muslim Timur Tengah yang termasuk negara muslim yang memperbarui hukum keluarga periode awal, Pakistan mewakili negara muslim Asia Selatan yang melakukan pembaruan hukum keluarga periode kedua dan Indonesia mewakili kawasan Asia Tenggara yang memperbarui hukum keluarga termasuk periode akhir.
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini mengkombinasikan pendekatan normatif dan pendekatan historis. Pendekatan normatif  adalah melihat aturan-aturan yang terkandung dalam hukum keluarga Mesir, Pakistan dan Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan historis yaitu melihat bagaimana latar belakang sejarah timbulnya pembaruan hukum keluarga di Mesir, Pakistan dan Indonesia dahulu, bagaimana perkembangannya masa kini dan bagaimana pula prospeknya pada masa mendatang, dengan kata lain pendekatan yang peneliti pergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah sosial (Mudzhar,1998:105).
Metode analisis yang peneliti pergunakan dalam  penelitian ini adalah content analysis atau analisis isi (Muhajir,1993:49) terhadap materi-materi perundang-undangan hukum keluarga yang berlaku di Mesir, Pakistan dan Indonesia. Analisis isi tersebut dilakukan dengan langkah-langkah atau prosedur ekstraksi dan reduksi data  yang memperhatikan obyektivitas, sistematis dan generalisasi. Kemudian dilakukan interpretasi, abstraksi (Mahfud,1999:14) dan penjabaran (Sutiyoso,1999:133) terhadap isi atau kandungan yang terdapat dalam perundang-undangan hukum keluarga Mesir, Pakistan dan Indonesia.
 Di samping itu, peneliti juga menggunakan analisa perbandingan  antarmateri perundang-undangan hukum keluarga yang berlaku di negara-negara muslim dan antara perundang-undangan hukum keluarga yang sekarang berlaku di Mesir, Pakistan dan Indonesia dengan kitab-kitab fiqh, dan akhirnya peneliti membuat kesimpulan.    

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.Hukum Keluarga Mesir,  Pakistan dan Indonesia
            Undang-undang yang terbit di bidang hukum keluarga di Mesir adalah Ordonansi Susunan Pengadilan Agama tahun 1897, Undang-Undang No. 25 tahun 1929 tentang Beberapa Ketentuan Hukum Keluarga, Undang-Undang No. 78 tahun 1931 tentang Susunan Pengadilan Agama, Undang-Undang Kewarisan dan Wasiat dan Undang-Undang Wakaf yang terbit tahun 1943 dan 1946, dan Undang-Undang No. 44 tahun 1979 tentang Beberapa Ketentuan Hukum Keluarga. Sedangkan undang-undang terpenting mengenai keluarga di Pakistan adalah Child Marriage Restraint Act,1929, Dissolution of Muslim Marriages Act, 1939 dan Muslim Family Laws Ordinance,1961(Siraj,1993:104).
            Asal muasal pengadilan agama di Indonesia dapat ditelusuri dari penghulu atau kepala administrasi masjid daerah, yang mengurusi urusan keluarga serta warisan dari sejak abad ke-16. Pada saat itu. Pengadilan agama dilaksanakan di serambi masjid dan keputusannya didasarkan pada mazhab Syafi’i ( Cammack,1992 :30).
Pada tahun 1882 dikeluarkan dekrit yang menetapkan pengadilan dalam bentuknya yang sekarang. Dekrit ini menetapkan bahwa pengadilan agama harus didirikan di daerah yang telah mempunyai pengadilan pemerintah dan wilayah yuridiksi pengadilan agama harus pula bersinggungan dengan wilayah pengadilan pemerintah (Cammack,1992:30). Pada tahun 1946 pemerintah Indonesia menetapkan suatu keputusan agar umat Islam mencatatkan perkawinan dan perceraian mereka ( UU No,22/1946).
            Pada tahun 1974  pemerintah Indonesia bersama DPR menetapkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai undang-undang perkawinan nasional Indonesia, yang kemudian disusul dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 sebagai petunjuk pelaksanaan UU No.1 tahun 1974 tersebut ( Mahmood, 1987 : 207 dan 212). Kemudian pada tahun 1983 keluar Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang peraturan Poligami bagi Pegawai Negeri Sipil Indonesia (Mudzhar,1999: 117).
            Perkembangan selanjutnya adalah pada tahun 1989 Pemerintah Indonesia bersama DPR mengesahkan UU No. 7 tahun 1989 tentang UU Peadilan Agama yang berisi berbagai peraturan beracara di pengadilan Agama. Kemudian disusul dengan terbitnya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam tersebut didukung oleh Inpres No. 1 tahun 1991 sebagai peraturan untuk pemasyarakatannya.  Kompilasi di atas sebenarnya adalah inovasi Indonesia. Kompilasi bukan kodifikasi, tetap juga bukan kitab fiqh ( Mudzhar,1999 :113). 
2.Masalah batas umur untuk kawin.
            Pasal 7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sedangkan  Hukum Keluarga di Mesir menjelaskan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika laki-laki berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun, demikian juga dalam Hukum Keluarga di Pakistan dinyatakan bahwa  perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun (Mahmood, 1987 :270).     Batas umur kawin untuk Indonesia di atas, jika dibandingkan dengan batas umur kawin  baik di Mesir maupun Pakistan sebenarnya sama, kecuali untuk laki-laki  relatif tinggi.
3..Masalah pencatatan perkawinan.
            Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir dimulai dengan terbitnya Ordonansi Tahun 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah itu kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka. Ordonansi Tahun 1880 itu didikuti dengan lahirnya Ordonansi Tahun 1897 yang pasal 31-nya menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan. Sedangkan di Pakistan telah timbul pemikiran tentang kewajiban mencatatkan perkawinan dengan ditetapkannya suatu ketentuan yang termuat dalam pasal 5 Ordonansi Hukum Keluarga Islam Tahun 1961 (Muslim Family Laws Ordinance,1961). Dalam pasal ini ditegaskan bahwa yang berwenang mengangkat pejabat-pejabat pencatat nikah dan mengizinkan mereka untuk melakukan pencatatan akad nikah adalah Majelis Keluarga(Union Council) dan bahwa majelis ini memberi izin untuk melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada satu orang pada setiap daerah tertentu. Sesuai dengan pasal tersebut, perkawinan yang tidak dicatat tidaklah dianggap batal. Hanya saja para pihak berakad dan saksi yang melanggar ketentuan ordonansi itu dapat dihukum karena tidak mencatatkan nikah itu, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya seribu rupiah. Ketentuan hukuman ini sama sekali tidaklah bertentangan dengan dengan asas-asas pemikiran hukum pidana Islam, yang justru memberi hak kepada penguasa untuk memberikan hukuman ta’zir bila diperlukan guna mempertahankan kepentingan-kepentingan yang dikehendaki oleh syara’ (Siraj,1993:106).
            Dari tiga negara tersebut terdapat kesamaan pandangan tentang perlunya akad nikah diaktakan. Pentingnya diaktakan akad perkawinan di atas karena menyangkut persoalan asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Akan tetapi tiga negara di atas belum sampai kepada sikap dan pandangan bahwa pencatatan nikah termasuk rukun baru dari akad nikah. Hal ini dapat dilihat dari masih dianggap sah suatu pernikahan yang tidak dicatat.         
4. Masalah cerai di depan pengadilan
            Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Aturan ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh klasik yang menyatakan bahwa talak dapat terjadi dengan pernyataan sepihak  dari suami, baik secara lisan maupun  tertulis, secara bersungguh-sungguh atau bersenda gurau (Mudzhar,1999:116).
Di Pakistan, menurut UU tahun 1961 dinyatakan bahwa seorang suami masih dapat menjatuhkan talak secara sepihak di luar pengadilan, tetapi segera setelah itu ia diwajibkan melaporkannya kepada pejabat pencatat perceraian yang kemudian akan membentuk Dewan Hakam (Arbitrasi) untuk menengahi dan mendamaikan kembali pasangan suami isteri itu. Jika setelah 90 hari usaha perdamaian itu gagal, talak itu berlaku. 
Di Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa ketentuan hukum keluarga  menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan dan memberitahukan kepada isterinya. Jika tidak, ia dapat dikenai hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan denda sebanyak-banyaknya dua ratus pound, dan talak hanya menimbulkan akibat hukum sejak dari tanggal diketahuinya oleh isteri. Undang-undang itu juga menetapkan untuk janda yang ditalak setelah dicampuri suatu pemberianmutah yang besarnya sama dengan nafkah selama dua tahun (Mahmood,1987: 31-32).      
5. Poligami
            Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Juga seorang wanita hanya bolaeh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari satu, ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun 1983 poligami praktis dilarang.   
            Di Mesir menurut pasal 6 Undang-Undang tahun 1979 dan Ordonansi tahun 1929 (Mahmood,1987 :273-274)poligami dianggap sebagai menyakiti isteri sehingga memberinya hak untuk meminta pemutusan perkawinan selama ia tidak setuju atau belum lewat waktu satu tahun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya dengan wanita lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya hak minta pemutusan perkawinan itu diberikan kepada isteri apabila dengan poligami itu terbukti adanya kesakitan yang dialami isteri (Siraj,1993 : 108-109).     
            Hukum Pakistan mengikuti garis perkembangan yang sama dalam masalah poligami. Dalam Undang-Undang Pemutusan Perkawinan Islam Tahun 1939 dinyatakan bahwa wanita berhak minta pemutusan perkawinan apabila terbukti ia mendapat kesakitan karena poligami. Kemudian diterima pandangan yang membatasi poligami, akan tetapi dilakukan dengan cara yang berbeda dengan cara yang diambil oleh hukum Mesir. Ordonansi Pakistan Tahun 1961 menyatakan wajibnya seorang yang ingin melakukan poligami memperoleh persetujuan majelis keluarga yang akan mengangkat suatu badan arbitrasi yang mencakup wakil isteri , dan badan arbitrasi ini tidak akan mengeluarkan persetujuan sang suami mengambil satu isteri lagi sebelum ia yakin betul terhadap keadilan dan perlunya suami kawin lagi. Pasal 6 Ordonansi Pakistan Tahun 1961 itu menetapkan bahwa suami yang melakukan perkawinan kedua dengan wanita lain tanpa memperoleh persetujuan tersebut, dapat dikenakan hukuman penjara selam-lamanya satu tahun dan denda sebanyak-banyaknya lima ribu rupiah, dan isteri terdahulu memperoleh hak atas talak (Mahmood,1987:245-246).  
            Dari sudut pandangan fuqaha modern, dengan menetapkan hukuman seperti itu atas semata-mata poligami, ordonansi tersebut telah sampai pada batas pelanggaran terhadap filsafat fiqh yang menegaskan bahwa tidak ada hukuman dalam melakukan perbuatan yang dibenarkan syara’(Siraj,1993:109).
6.Bagian warisan anak laki-laki dan perempuan
            Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam Indonesia menyatakan bahwa jika anak perempuan menjadi ahli waris bersama-sama anak laki-laki, bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Kemudian pasal 183 Kompilasi Hukum Islam tersebut menyatakan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Ide pokok dari kedua diktum  di atas adalah bahwa sesuai dengan ajaran Alquran, bagian anak laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan, tetapi untuk memberikan bagian yang sama kepada ahli waris laki-laki dan perempuan asalkan para ahli waris itu sendiri sepakat demikian. Demikianlah cara ulama Indonesia melakukan kompromi dengan budaya lokal ( Mudzhar,1999:119). Di Mesir dan Pakistan tidak ada yang mempersoalkan masalah besarnya bahagian laki-laki dan wanita, dua berbanding satu ini  (Mudzhar,1998:184).       
7. Wasiat wajib                       
            Pada tahun 1946 lahir Undang-Undang Kewarisan Mesir yang berisi pemecahan fiqh terhadap masalah tidak diberikannya bagian warisan kepada cucu-cucu yang ayah atau ibu mereka telah meninggal lebih lebih dahulu dari kakek atau nenek mereka, dan tertutupnya cucu-cucu tersebut oleh orang-orang dari lapisan yang lebih di atas dari mereka. Pemecahan cemerlang yang diberikan oleh undang-undang ini tercermin dalam konsep wasiat wajib yang didasarkan pada pengandaian bahwa kakek atau nenek telah berwasiat untuk cucu-cucunya dengan sejumlah peninggalan yang besarnya sama dengan bagian yang sedianya akan diterima oleh ayah atau ibu mereka yang telah meninggal semasa hidupnya kakek atau nenek mereka ( Mahmood,1987 : 303 dan Siraj,1993:112-113). 
            Sedangkan di Pakistan, Ordonansi 1961 berpegang kepada prinsip penggantian tempat  secara penuh oleh para cucu terhadap orangtua mereka yang sudah meninggal sewaktu kakek/nenek masih hidup. Cucu-cucu tersebut mengambil bagian ayah mereka seandainya ia masih hidup pada waktu meninggalnya kakek/nenek. Oleh karena itu, seandainya seseorang wafat dan meniggalkan seorang anak lelaki dan seorang anak lelaki dari anak lelaki yang ayahnya telah meninggal lebih dahulu dari seorang, serta anak perempuan dari anak perempuan yang ibunya juga telah meninggal lebih dahulu dari seorang yang wafat tersebut, harta peninggalan dibagi lima bagian :anak lelaki simati mengambil dua bagian, cucu lelaki dari pancaran anak lelaki mengambil dua bagian juga dan cucu perempuan pancaran perempuan mengambil satu bagian yang sedianya akan diambil oleh ibunya seandainya ibunya masih hidup (Siraj,1993:114 dan Mahmood,1987:303). Ketentuan yang dipegangi oleh Ordonansi Pakistan ini, seperti dikatakan Coulson, sangat kontras dibandingkan dengan cara undang-undang Mesir menangani problem yang sama melalui wasiat wajib, suatu sistem yang jelas dapat ditemukan dasar-dasarnya dalam sumber-sumber fiqh tradisional ( Coulson,1994:203).  
Mengenai wasiat wajib terhadap  cucu yatim, pasal 185 Kompilasi Hukum Islam Indonesia menyatakan bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya. Pasal ini sesuai dengan ijtihad para ulama Mesir yang melalui Hukum Waris tahun 1946 menyatakan bahwa seorang anak yang lebih dahulu meninggal dunia dan meninggalkan anak pula, cucu itu mengantikan ayahnya dalam mewarisi kakeknya atau neneknya dengan cara memperoleh wasiat wajib tidak lebih  dari sepertiga harta. Dalam kitab-kitab fiqh klasik tentu saja ketentuan-ketentuan demikian itu tidak ada, karena warisan pada dasarnya hanya untuk ahli waris yang masih hidup. Langkah Mesir itu dipandang lebih mendekati keadilan (Mudzhar,1998:184)         

                                                                                                
KESIMPULAN
Sebagai penutup dari pembahasan-pembahasan terdahulu, dapat  dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :
1.Bahwa reformasi hukum keluarga yang dilakukan oleh Mesir, Pakistan dan Indonesia merupakan upaya menjawab tantangan modernitas dalam bidang hukum keluarga, karena pemahaman konvensional  yang mapan tentang berbagai ayat Alquran, hadis dan kitab-kitab fiqh tidak mampu menjawab tantangan dan problema hukum keluarga yang muncul pada era moderen.
2.Bahwa metode ijtihad yang dipergunakan oleh Mesir, Pakistan dan Indonesia dalam memperbarui hukum keluarga adalah mengkombinasikan berbagai metode ijtihad yang biasanya dipergunakan oleh ulama usul al-fiqh -maslahat- dengan mempertimbangkan tuntutan legislasi modern.
3.Bahwa materi-materi  hukum keluarga di Mesir, Pakistan dan Indonesia baik dalam bidang perkawinan, warisan, wasiat dan lain-lain telah bergeser dari kitab-kitab fiqh mazhab bahkan dalam hal-hal tertentu materi-materi hukum keluarga tersebut berbeda secara fundamental dari kitab-kitab fiqh.      
 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaeman.1996. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya.

Abdurrahman.1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo.

Ahmad, Amrullah dkk (Ed.). 1996. Dimensi Hukum Islam  dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Th Prof.Dr.H. Bustanul Arifin, SH. Jakarta: Gema Insani Press.

Anderson, J.N.D 1975. Islamic Law in the Modern World. New York :New York University Press.

Anderson, J.N.D. . 1976. Law Reform in the Muslim World. London : University of London Press.

Cammack,Mark.1993. “Hukum Islam dalam politik Hukum Orde Baru “ dalam Sudirman Tebba (editor ) Perkembangan Hukum Islam di Asia Tenggara Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya. Bandung : Mizan. Hlm. 27-54.

Coulson, N.J. 1969.  Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago dan London: the University of Chicago Press.

Coulson, N.J.1994. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Donohue, John J.. dan John L. Esposito.1995. Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah. Kata Pengantar M. Amin Rais.Terj.Machnun Husein dari judul asli Islam in Transition : Muslim Perspective. Jakarta : Radjawali Press.

Esposito, John L..1982. Women in Muslim Family Law. Syracus: Syracus University Press.

Faruki, Kemal.1965. “ Orphaned Grandchildren in Islamic Succession Law”, dalam  Islamic Studies. Karachi, Vol.3, hlm.262.

Islam, Negara dan Hukum.1993. – Kumpulan karangan  di bawah redaksi Johannes den Heijer dan Syamsul Anwar. Jakarta : INIS.

Jauziyah, Ibn al-Qayyim al. 1955. A’lam al-Muwaqi’in. Mesir: Maktabah at-Tijariyah.

Jaziri,Abd al- Rahman al-. Tanpa Tahun. al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah. Mesir : Maktabah al-Tijariyah al-Kubra.

Khallaf, Abdul Wahhab.Tanpa Tahun. Ilm Usul al-Fiqh. Mesir : Maktabah ad-Dakwah.

Mahmood, Tahir.1972. Family Law Reform in the Muslim World. Bombay:Tripathi.

Mahmood, Tahir.1987. Personal Law in Islamic Countries : History, Text and Comparative Analysis. New Delhi : Academy of Law and Religion.

MD. Moh. Mahfud, Sidik Tono dan Dadan Muttaqien (Editor).1993. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta : UII-Press.

M.D. , Moh. Mahfud.1999. Karakter Produk Hukum Zaman Kolonial dan
Karakter Produk Hukum pada Zaman Penjajahan di Indonesia. Yogyakarta :UII-Press.

Mu’allim, Amir  dan  Yusdani. 1999. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta : UII-Press.

Mudzhar, M. Atho. 1998a. Pendekatan Studi Islam  dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mudzhar, M. Atho.1993. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Disertasi pada UCLA Terj.Soedarso Soekarno dari judul Bahasa Inggris Fatwas of The Council of Indonesian Ulama : A Study of Islamic Legal Thought  in Indonesia 1975-1988. Edisi Dwibahasa (Indonesia dan Inggris ). Jakarta :INIS. 

Mudzhar, M. Atho.1999. Studi Hukum Islam dengan  Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan  Guru Besar Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam,  15 September 1999. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga.

Mudzhar, M. Atho’.1998. Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Mudzhar, M. Atho’.1999. “ Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam” dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol.1 No.1  1999. Hlm.110-123.

Muhajir, Noeng. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta :Rake Sarasin.

Nasution, Harun.1982. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang.

Powers, David S. 1986. Studies in Quran and Hadith : The formation of Islamic of Inheritance, Berkley: University of California Press.

Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum dan Masyarakat. Bandung : Angkasa

Rahman, Fazlur.1970. Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law : Shaikh Yamani on Public Interest in Islamic Law. International Law and Politic.

Rahman, Fazlur.1980. Major Themes of the Quran. Chicago : Bibliotheca Islamic.

Rasyid, Roihan A.. 1998. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta : Rajawali Pers.

Sabuni, Muhammad Ali as-. 1972. Rawai’ al Bayan :Tafsir Ayat al-Ahkam min Alquran. Kuwait : Dar Alquran al-Karim.

Schacht, Joseph.1960. “Problems of Modern Islamic Legislation”. Dalam Studica Islamica, vol. 12, hlm. 120.

Schacht, Joseph.1971. An Introduction to Islamic Law. London :Oxford at the Clarendon Press.

Siraj, Muhammad. 1993. “ Hukum Keluarga di Mesir dan Pakistan “ dalam Islam, Negara dan Hukum.  Seri INIS XVI Kumpulan Karangan di Bawah Redaksi Johannnes den Heijer, Syamsul Anwar. Jakarta : INIS. Hlm. 99-115.

Sutiyoso, Bambang.2000. “ Kemandirian Hakim dan Implikasinya Terhadap Penegakan Hukum”., dalam Jurnal Penelitian Logika – Logika, Hipotetiko, Verifikasi, Volume 3, Nomor 4, 1999. Yogyakarta : Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, hlm, 105-118.  

Syahrastani, asy-. Tanpa Tahun. Al-Milal wa an-Nihal.  Beirut : Dar al-Fikr.

Syahrur, Muhammad. 1990.al-Kitab wa Alquran Qiraah Mu’asirah. Qahirah : Sina li al- Nasyr wa al-Ahali.

Syatibi, Asy.Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Usul asy- Syari’ah. Kairo : Mustafa Muhammad.

Syawaf, Munir Muhammad Tahir.1993. Tahafut al-Qira’ah al-Mu’asirah. Limassol – Cyprus.

Thalib, Sajuti.1982. Receptio a Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam). Jakarta : Bina Aksara.

Tim Redaksi. 1996.Insklopedi Islam. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru van Hoeve

Wahjono, Padmo.1996. “Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Hukum di Indonesia Masa Datang, dalam Amrullah ahmad dkk (Ed.) Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 TH Prof. Dr. H. Busthanul Arifin SH. Jakarta : Gema Insani Press. Hlm.167-176.

Yusdani. 2000. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum : Kajian Hukum Islam Najamuddin At-Tufi. Yogyakarta : UII-Press.

Zahrah, Muhammad Abu. Tanpa Tahun.Usul al-Fiqh. Mesir : Darul Fikr al-Arabi.


Sistem Pemilu di Indonesia


Sistem Pemilu di Indonesia
A.    Pengertian, Hakekat dan Tujuan Pemilu
1.       Pengertian
Pemilu adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyatuntuk memiih anggota DPR,DPD dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi rakyat berdasarkan asas langsung,umum,bebas,rahasia,jujur dan adil serta menjamin prinsip-prinsip keterwakilan, akuntabilitas dan legitimasi. Pemilu dapat jjuga diartikan sebagai
2.       Hakekat
Partai politik dalam negara Republik Indonesia pada satu sisi berperan sebagai saluran utama untuk memperjuankan kehendak masyarakat, bangsa, dan negara.Sebagai amanat reformasi kualitas penyelenggaraan pemilu harus ditingkatkan agar lebih menjamin kompetisi yang sehat, partisipasif yang dinamis, derajat keterwakilan yang lebih tinggi dan mekanisme serta pertanggungjawaban yang jelas.
3.       Tujuan
Dari uraian pengertian dan hakekat di atas dapat dipahami bahwa tujuan diselenggarakannya pemilu adalah adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil derah untuk membentuk pemerintahan yang demokratis,kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.

B.     Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan Sepuluh kali pemilihan umum 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Dari pemilihan umum-pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya untuk mencari system pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
1.      Sistem Proporsional
Pemilihan umum pada tahun ini dengan menggunakan system proporsional. Sistem proposional (multi member constituency) adalah sistem pemilihan umum, dimana wilayah negara atau wilayah pemilihan dibagi – bagi dalam daerah – daerah pemilihan yang dikenal dengan singkatan dapil, dimana tiap – tiap daerah jumlah wakil yang akan duduk dalam perwakilan lebih dari satu orang wakil. Kelebihan sistem proposional :
a.       Sistem proposional dianggap representative
b.      Sistem proposional dianggap lebih demokratis
Kelemahan sistem proposional:
a.       Sulit terjadinya intergrasi partai,karna partai cenderung bertambah
b.      kader partai sulit berkembang,karena penentuan calon jadi didasarkan nomor urut.
c.       wakil terpilih belum tentu orang dikenal pemilih secara baik.karena banyak partai sulit mendapatkan suara mayoritas.

2.      Sistem distrik (single member constituency)
Sistem distrik adalah sistem pemilihan umum, dimana wilyah negara atau wilayah pemilihan dibagi – bagi dalam distrik atau wilayah pemilihan dimana tiap wilayah akan dipilih satu wakil atau calon wakil yang mendapatkan suara terbanyak diwilayahnya.
Kelebihan dari sistem distrik adalah :
a.       Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai.
b.      Wakil adalah tokoh yang dikenal pemilih.
c.       partai lebih mudah mencapai kedudukan mayoritas.
d.      Sistem ini sederhana, ekonomis dan mudah untuk diselenggarakan
Sistem ini memiliki kelemahan sebagai berikut :
a.       Sistem ini kurang memperhatikan partai kecil.
b.      Banyak suara hilang
c.       Kurang efektif dalam masyarakat yang plural
d.      wakil terlaluberorentasi pada daerah pemilih.




C.     Asas Pemilihan Umum Indonesia
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas “Luber” yang merupakan singkatan dari “Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia”.Asal “Luber” sudah ada sejak zaman Orde Baru.Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara.Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas “Jurdil” yang merupakan singkatan dari “Jujur dan Adil”. Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Asas Pemilu yaitu Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang akan diuraikan sebagai berikut :
1.      Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara;
2.      Umum berarti pada dasarnya semua warganegara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia , yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warganegara yang sudah berumu 21 (dua puluh satu) tahun berhak dipilih. Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial;
3.      Bebas berarti setiap warganegara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warganegara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya;
4.      Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara sukarela bersedia mengungkapkan pilihannya kepada pihak manapun;
5.      Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum; penyelenggaraan/ pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta Pemilu, pengawas dan pemantau Pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
6.      Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

D.    Syarat Pemilu Demokratis
Disepakati bahwa pemilu merupakan sarana demokrasi untuk membentuk kepemimpinan negara. Dua cabang kekuasaan negara yang penting, yaitu lembaga perwakilan rakyat ( badan legislatif) dan pemerintah (badan eksekutif), umumnya dibentuk melalui pemilu. Walau pemilu merupakan sarana demokrasi, tetapi belum tentu mekanisme penyelenggaraannya pun demokratis.Sebuah pemilu yang demokratis memiliki beberapa persyaratan.
1.      Pemilu harus bersifat kompetitif, artinya peserta pemilu baik partai politik maupun calon perseorangan harus bebas dan otonom. Baik partai politik yang sedang berkuasa, maupun partai-partai oposisi memperoleh hak –hak politik yang sama  dan dijamin oleh undang – undang (UU), seperti kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat. Syarat kompetitif juga menyangkut perlakuan yang sama dalam menggunakan sarana dan prasarana publik, dalam melakukan kampanye, yang diatur dalam UU. Misalnya stasiun televisi milik negara harus memberikan kesempatan yang besar pada partai  politik yang berkuasa, sementara kesempatan yang sama tidak diberikan pada partai-partai peserta pemilu lainnya.
2.      Pemilu harus diselenggarakan secara berkala. Artinya pemilihan harus diselenggarakan  secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Misalnya setiap empat, lima, atau tujuh tahun sekali. Pemilihan berkala merupakan mekanisme sirkulasi elit, dimana pejabat yang terpilih bertanggung jawab pada pemilihnya dan memperbaharui mandat yang diterimanya pada pemilu sebelumnya. Pemilih dapat kembali memilih pejabat yang bersangkutan jika merasa puas dengan kerja selama masa jabatannya. Tetapi dapat pula menggantinya dengan kandidat lain yang dianggap lebih mampu, lebih bertanggung jawab, lebih mewakili kepemimpinan, suara atau aspirasi dari pemilih bersangkutan. Selain itu dengan pemilihan berkala maka kandidat perseorangan atau kelompok yang kalah dapat memperbaiki dan mempersiapkan diri lagi untuk bersaing dalam pemilu berikut.
3.      Pemilu haruslah inklusif. Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu. Hal ini diharapkan akan tercermin dalam hasil pemilu yang menggambarkan keanekaragaman dan perbedaan – perbedaan di masyarakat.
4.      Pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Keterbatasan memperoleh informasi membuat pemilih tidak memiliki dasar pertimbangan  yang cukup dalam menetukan pilihannya. Suara pemilih adalah kontrak yang (minimal) berusia sekali dalam periode pemilu (bisa empat, lima, atau tujuh tahun). Sekali memilih, pemilih akan ”teken kontrak” dengan partai atau orang yang dipilihnya dalam satuperiode tersebut. Maka agar suara pemilih dapat diberikan secara baik, keleluasaan memperoleh informasi harus benar-benar dijamin.
5.      Penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen. Penyelenggaraan pemilu sebagian besar adalah kerja teknis. Seperti penentuan peserta pemilu, Pembuatan kertas suara, kotak suara, pengiriman hasilpemungutan suara pada panitia nasional, penghitungan suara, pembagian cursi dan sebagainya. Kerja teknis tersebut dikoordinasi oleh sebuah panitia penyelenggara pemilu. Maka keberadaan panitia penyelenggara pemilu yang tidak memihak, independen, dan profesional Sangay menentukan jalannya proses pemilu yang demokratis. Jika penyelenggara merupakan bagian dari partai politik yang berkuasa, atau berasal dari partai politik peserta pemilu, maka azas ketidakberpihakan tidak terpenuhi. Otomatis nilai pemilu yang demokratis juga tidak terpenuhi.
Ada 7 (tujuh) tugas Pemilu menanti anggota KPU yaitu :
a.       Merencanakan program, anggaran serta menetapkan jadwal Pemilu;
b.      Penyesuaian struktur organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal KPU paling lambat 3 bulan sejak pelantikan anggota KPU;
c.       Mempersiapkan pembentukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) paling lambat 5 (lima) bulan setelah pelantikan anggota KPU;
d.      Bersama-sama Bawaslu menyiapkan kode etik, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Bawaslu terbentuk;
e.       Memverifikasi secara administratif dan faktual serta menetapkan peserta Pemilu;
f.       Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih tetap;
g.      Menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan barang dan jasa Pemilu.