Sabtu, 23 Februari 2013

kata-kata 7ang sering diucapkan sehari-hari padahal salah dalam arti yang sesungguhnya

Beberapa Istilah Arab yang Sering Salah Digunakan Dalam Percakapan Sehari-hari


Ada beberapa penggunaan kata di dalam bahasa Arab yang sering kita gunakan di dalam bahasa Indonesia, namun karena terlalu seringnya kata-kata tersebut diulang sehingga menjadi hal yang biasa. Padahal penggunaan kata tersebut tidaklah tepat. Berikut beberapa kata tersebut adalah :
1. MAHRAM
Adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya.
Mahram Sebab Keturunan
Mahram sebab keturunan ada tujuh. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ‘Ulama. Allah berfirman; "Diharamkan atas kamu untuk (mengawini) (1) ibu-ibumu; (2) anak-anakmu yang perempuan (3) saudara-sauda-ramu yang perempuan; (4) saudara-saudara ayahmu yang perempuan; (5) saudara-saudara ibumu yang perempuan; (6) anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; (7) anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan" (QS. An Nisà’ [4] : 23)
Dari ayat ini Jumhùrul ‘Ulàmà’, Imam ‘Abù Hanifah, Imam Màlik dan Imam Ahmad bin Hanbal memasukan anak dari perzinahan menjadi mahram, dengan berdalil pada keumuman firman Allàh "anak-anakmu yang perempuan" (QS. An Nisà’ [4] : 23). Diriwayatkan dari Imam Asy Syàfi’iy, bahwa ia cenderung tidak menjadikan mahram (berarti boleh dinikahi) anak hasil zina, sebab ia bukan anak yang sah (dari bapak pelaku) secara syari’at. Ia juga tidak termasuk dalam ayat:
"Allàh mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk)anak-anakmu. Yaitu: bagian anak lelaki sama dengan dua bagian orang anak perempuan" (QS. An Nisà’ [4] : 11).
Karena anak hasil zina tidak berhak menda-patkan warisan menurut ‘ijma’ maka ia juga tidak termasuk dalam ayat ini. (Al Hàfizh ‘Imàduddin Ismà’il bin Katsir, Tafsirul Qurànil Azhim 1/510)
Mahram Sebab Susuan
Mahram sebab susuan ada tujuh. Sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq (ditelliti) oleh Al Hàfizh ‘Imàduddin Ismà’il bin Katsir. (Tafsirul Qurànil Azhim 1/511). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan" (HR. Al Bukhàri dan Muslim).
Al-Qur’àn menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan: "(1) Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu; (2)dan saudara-saudara perem-puan sepersusuan" (QS. An Nisà’ [4] : 23).
Mahram Sebab perkawinan
Mahram sebab perkawinan ada tujuh. "Dan ibu-ibu istrimu (mertua)" (QS. An Nisà’ [4] : 23) "Dan istri-istri anak kandungmu (menantu)" (QS. An Nisà’ [4] : 23) "Dan anak-anak istrimu yang dalam pemelihraanmu dari istri yang telah kamu campuri" (QS. An Nisà’ [4] : 23).
Menurut Jumh urul `Ulàmà’ termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab aqad nikah, walaupun si puteri belum dicampuri, kalau sudah aqad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi puteri itu.
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)". (QS. An Nisà’ [4] : 22). Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya aqad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.
"Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara" (QS. An Nisà’ [4] : 23)
Rasulullàh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu;Dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi bersabda: "Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya" (HR. Al Bukhàriy dan Muslim)
Jadi, keponakan (perempuan) tidak boleh dihimpun dengan bibinya dalam perkawinan, demikian pula bibi tidak boleh dihimpun dengan keponakan perempuan dalam perkawinan. Secara mudah, bibi dan keponakan perempuan tidak boleh saling jadi madu.
Larangan menghimpun antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah atau ibu berdasarkan hadits-hadits mutawàtirah dan ‘ijmà`ul `ulàmà’. (Muhammad bin Muhammad Asy Syaukàniy, Fathul Qadir 1/559).
Mahram disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, selamanya, begitu pula sebab pernikahan. Kecuali, menghimpun dua perempuan bersaudara, menghimpun perempuan dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah atau ibu, itu bila yang satu meninggal lalu ganti nikah dengan yang lain, maka boleh, karena bukan menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Dzun Nùrain, Utsmàn bin ‘Affàn menikahi Ummu Kultsùm setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Zina dengan seorang perempuan semoga Allàh menjauhkan kita semua dari itu tidak menjadikan mahram anaknya ataupun ibunya. Zina tidak mengharamkan yang halal.
Wanita yang bersuami
Allàh mengharamkan mengawini wanita yang masih bersuami. "Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami" (QS. An Nisà’ [4] : 24). Perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram, halal dinikahkan. "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untk berzina" (An Nisà’/4:24). Wallàhu ‘a`làm (Asri Ibnu Tsani)
2. MUHRIM
Terkadang kita terbiasa mengucapkan kata non muhrim kepada perempuan atau laki-laki yang tidak boleh dinikahi karena factor sebab sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan, padahal pengguaan kata tersebut tidaklah tepat. Tetapi bahasa Indonesia menggunakan kata muhrim dengan arti semakna dengan mahram (haram dinikahi). (KBBI, hal. 669 dan juga lihat hal.614).
Kata Muhrim di dalam bahasa arab berasal dari akar kata حرم – haruma : menjadi terlarang
Bagaimana bentuk perubahan, atau tashrifnya?
Kata حرم – haruma, bentuk mudhory’ (present tense) adalah يحرم – yahrumu, dengan mashdar ada beberapa bentuk: حرم – hurmun , حرم – hurumun, حرمة – hirmatun, dan حرام – haraamun. Semua ini artinya: menjadi terlarang. Nah, kata mashdar حرام (haraam) ini yang sering dipadankan dengan sebagai lawan kata dari حلال (halaal)
Contoh penggunaan kata kerja-nya: حرمت السحور على الصائم : harumat assahuuru ‘alaa asshooimi (Sahur itu menjadi terlarang bagi yang berpuasa)
حرمت المرأة على زوجها : harrumat al-mar-a-tu ‘alaa zaujihaa (Wanita itu menjadi terlarang bagi suaminya)
Sedangkan kata mashdar حرام – haraam, yang berarti "yang haram" adalah bentuk singular, dan bentuk pluralnya adalah حروم – huruum.
Contohnya:
الارضى الحرام – al-ardh al-haraam : tanah terlarang, tidak dikuasai, neutral zone
البيت الحرام – al-bayt al-haraam : rumah terlarang (Ka’bah), terlarang bagi non-muslim
الشحر الحرام – asy-syahr al-haraam : bulan haram, terlarang berperang
الاشحر الحروم – al-asyhur al-huruum : bulan-bulan haram
Kalau kita teruskan, maka kita dapatkan bentuk isim fa’ilnya (kata benda pelaku) adalah حارم – haarimun, dan isim maf’ulnya (kata benda objek) محروم – mahruum. Dan bentuk isim zaman (kata benda keterangan terjadinya perbuatan) atau isim makan (kata benda tempat terjadinya perbuatan) adalah محرم – mahram. Kata mahram ini artinya "terlarang", juga berarti "orang yang haram dinikahi". Jamaknya محارم – mahaarim.
KKT-1
Bentuk KKT-1 (kata kerja turunan ke 1), adalah:
أحرم – ahrama : mengharamkan, dengan bentuk mudhory’ يحرم – yuhrimu, dan mashdarnya adalah إحرام : ihraam.
Kata mashdar ihraam, ini arti asalnya adalah "hal pelarangan", atau "hal pengharaman". Kata ini, dipakai pada umumnya untuk menyebut:
تكبيرة الإحرام : takbiiratul ihraam
Takbir "pengharaman": artinya dari takbir ini sholat dimulai, dan diharamkan melakukan yang membatalkan sholat.
Kata الإحرامihraam juga berarti menyengaja untuk memulai ibadah haji atau umrah. Di Al-Quran dikatakan, jika berhaji diharamkan (di-ihraam-kan) perbuatan rafats (berkata kotor), fusuq (berbuat dosa), dan jidal (berbantah-bantahan).
Kalau kita teruskan bentuk KKT-1 ini maka kita akan bertemu dengan bentuk:
محرم – muhrim (orang yang berihram), atau bisa juga menjadi isim fa’il dari kata ahrama, yang bisa berarti "sesuatu yang mengharamkan".
Artinya kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram dalam ibadah haji sebelum bertahallul.
3. Penulisan Wallahu A’lam
Penulis artikel keagamaan (Islam) atau media Islam lazimnya mengakhiri tulisan dengan kalimat Wallahu a’lam (artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Mahatahu/Maha Mengetahui). Sering ditambah dengan bish-shawabi menjadi Wallahu a’lam bish-shawabi.
Hal itu untuk menunjukkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang Maha Tahu atau lebih tahu segala sesuatu dari kita. Hanya Allah yang Maha Benar dan Pemilik Kebenaran mutlak. Kebenaran yang kita tuliskan itu relatif, nisbi, karena kita manusia tempat salah dan lupa.
Namun coba perhatikan, banyak yang keliru dalam penulisannya, yaitu dalam penempatan koma di atas (‘). Catatan: sebutan “koma di atas” untuk tanda baca demikian sebenarnya tidak tepat, tapi disebut “tanda petik tunggal” juga tidak tepat karena petik tunggal itu begini ‘…’ dan bukan pula “apostrof” (tanda penyingkat untuk menjukkan penghilangan bagian kata) karena dalam kata itu tidak ada kata yang dihilangkan/disingkat. Kita sepakati aja deh ya, namanya “koma di atas”.
Penulisan yang benar, jika yang dimaksud “Dan Allah Maha Tahu” adalah Wallahu a’lam (tanda koma di atas [‘] setelah huruf “a” atau sebelum huruf “l”). Tapi sangat sering kita jumpai penulisannya begini: Wallahu ‘alam (koma di atas [‘] sebelum huruf “a”).
Jelas, Wallahu a’lam dan Wallahu ‘alam berbeda makna. Yang pertama (Wallahu a’lam) artinya “Dan Allah Mahatahu/Maha Mengetahui atau Lebih Tahu”. Yang kedua (Wallahu ‘alam) artinya “Dan Allah itu alam”, bahkan tidak jelas apa arti ‘alam di situ? Kalau ‘alamin atau ‘aalamin, jelas artinya alam, seperti dalam bacaan hamdalah –alhamdulillahi robbil ‘alamin.
Jadi, kalau yang kita maksud itu “Dan Allah Maha Tahu”, maka penulisan yang benar adalah Wallahu a’lam, bukan Wallahu ‘alam.
A’lam itu asal katanya ‘alima artinya tahu. Dari kata dasar ‘alima itu kemudian terbentuk kata ‘ilman (isim mashdar, artinya ilmu/pengetahuan), ‘alimun (fa’il/pelaku, yakni orang yang berilmu), ma’lumun (pemberitahuan, maklumat), dan sebagainya, termasuk a’lamu/a’lam (lebih tahu).
Tanda petik tunggal atau koma di atas (‘) dalam a’lam itu transliterasi bahasa Indonesia untuk huruf ‘ain dalam bahasa Arab (seperti Jum’ah, Ka’bah, Bid’ah, Ma’ruf, dan sebagainya). Kata a’lam artinya “lebih tahu”. Jadi, kian jelas ‘kan, penulisan yang benar: Wallahu a’lam, bukan Wallahu ‘alam.
Tentu, kesalahan penulisan itu tidak disengaja, salah kaprah aja alias kesalahan yang sering dilakukan, secara sadar atau tidak sadar, merasa benar —padahal salah— karena tidak ada yang mengoreksi. Saya yakin, maksudnya Wallahu a’lam, “Dan Allah Maha Tahu”.
A’ di sini pengganti ع yang lengkapnya tertulis الله أعلم , huruf أ menunjukkan arti lebih atau paling seperti menulis الله أكبر (Alloh Maha/ Paling Besar), hanya saja ketika melihat rekan2 menulis tanda koma tas sebelum huruf a, ana kira bermaksud sama yaitu pengganti a’in, walau sempat heran bunyi suara untuk koma atas kan ga ada, tapi jika setelah a, maksud dari koma atas adalah untuk menekan vokal a, karena letak huruf ع ditenggorokan jadi vokal a-nya ditekan tidak seperti a biasa yang hanya berada di rongga mulut.
4. Minal Aidin Wal Faizin
Menjelang lebaran atau hari raya Idul Fitri, banyak diantara kita yang terbiasa mengirim pesan atau mengucapkan kalimat Minal Aidin Wal Faizin kepada kerabat, teman atau orang-orang yang kita kunjungi. Yang mungkin ketika mengucapkan kalimat itu, mindset yang ada difikiran yang mengucapkanntya adalah “mohon maaf lahir dan bathin” . padahal artinya bukanlah demikian.
Dalam buku berjudul “Bahasa!” terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa memang frasa Minal Aidin Wal Faizin “berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama Islam maupun Kristen.”
Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia, tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam lema kata per kata.
Lalu, apa arti Minal Aidin Wal Faizin? Terjemahan frasa ini adalah : dari orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Mungkin maksud lengkapnya adalah : ”Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalan Tuhan) dan termasuk orang yang menang (melawan hawa nafsu).”
Ternyata, adalah suatu kesalahan besar jika kita mengartikan Minal Aidin Wal Faizin dengan “mohon maaf lahir dan batin”.
Lantas, bagaimanakah pengucapan yang disyariatkan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab [Majmu Al-Fatawa 24/253] :
“Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied :
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكم
Taqobbalallahu minnaa wa minkum
“Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian”
Dan (Ahaalallahu ‘alaika), dan sejenisnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya.
Akan tetapi Imam Ahmad berkata :
“Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a’lam.” [Lihat Al Jauharun Naqi 3/320. Berkata Suyuthi dalam 'Al-Hawi: (1/81) : Isnadnya hasan]
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari [2/446] :
“Dalam “Al Mahamiliyat” dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata :
Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minka (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)”.
Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka”.
5. Silaturahim/silaturahmi
Di Indonesia sering kita temui kata silaturahmi sebagai kata yg menggambarkan aktivitas hubungan antar sesama manusia. Aktivitas yg dimaksud adalah aktivitas saling mempererat tali persaudaraan dan kekerabatan. Kata ini kian populer menjelang dan selama bulan Syawal, saat idul Fitri, meski kata ini juga sering digunakann dalam hal2 lainnya.
Sebenarnya bisa dibilang silaturahmi adalah sebuah salah kaprah, karena jika merujuk kepada asal katanya, bahasa Arab, maka kata yg benar adalah SILATURAHIM. Mari kita tinjau per-kata-nya.
Silaturahmi dan silaturahim, jika merujuk pada bahasa Arab, mempunyai huruf penyusun yg sama. Yang membedakan adalah akhirannya yg otomatis akan mempengaruhi artinya. Silah itu berarti menyambungkan. Sementara rahmi mempunyai arti rasa nyeri yg timbul (dan diderita sang ibu) pada saat melahirkan. Adapun rahim adalah kasih sayang (ingat: ALLOH SWT mempunyai sifat Ar Rahim, Yang Maha Penyayang).
Dengan demikian, silaturahim = hubungan kasih sayang, sedangkan silaturahmi = penghubung uterus (tali pusar yg menghubungkan ibu dan anak).
6. Makna Idul Fitri yang diartikan Kembali Suci atau pada Fitrah
Kata ‘ied sendiri berarti adalah kembali atau berulang, tetapi dalam bahasa arab sudah menjadi istilah khusus untuk menyebut hari raya, karena memang menjadi peringatan yang selalu berulang setiap tahun. Yang menjadi masalah kemudian kata fitri, yang sering diartikan kembali suci atau kembali kepada fitrah.
Digambarkan pula bagaimana seorang yang keluar dari ramadhan bagaikan hari dilahirkan ibunya, alias tanpa dosa sedikitpun. Subhanallah, tentu kita semua menginginkan hal tersebut bukan. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, karena berangkat dari harapan yang dijanjikan dari sebuah hadits : “ Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan penuh pengharapan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu “ (HR Bukhori Muslim).
Namun secara objektif bahasa dan istilah arab dan arti syar’I sebagaimana terdapat dalam hadits, fitri disini maksudnya adalah berbuka atau kondisi tidak berpuasa. Jadi yang dimaksud idul fitri adalah kembali berbuka atau hari raya menyambut berbuka.
Karenanya dalam hari idul fitripun kita dilarang untuk berpuasa. Makna fitri dalam arti berbuka bisa kita ambil dengan mudah dalam hadits berikut :
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ.
Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraa ketika dia berbuka dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya. (HR Bukhori).

Jumaat, 15 Februari 2013

pembahasan ilmu kalam


PENGERTIAN, NAMA DAN SEJARAH MUNCULNYA  AQIDAH  ILMU KALAM


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Ilahi Rabbi yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Aqidah islam yang berjudul “Pengertian, Nama dan sejarah munculnya  Aqidah ilmu kalam” dengan baik dan lancar.
Penulisan makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari pihak –pihak yang mendukung.  teman –teman yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini, masih terdapat kesalahan dan kekurangan, Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah selanjutnya.



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
  1. Latar Belakang............................................................................................. 1
  2. Rumusan masalah......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 2
  1. Pengertian Aqidah Ilmu Kalam............................................................ ....... 2
  2. Nama-nama Aqidah Ilmu Kalam……………………………………..         3
  3. Ruang lingkup aqidah ilmu kalam……………………………………........ 3
  4. Sejarah munculnya aqidah ilmu kalam………………………………......... 3
  5. Sumber-sumber Ilmu kalam………………………………………….. 5
  6. Faktor-faktor timbulnya ilmu kalam…………………………………........ 6
  7. Hubungan aqidah ilmu kalam dengan ilmu keislaman lainnya.................... 7
1.      Titik persamaan…………………………………………………….      7
2.      Titik perbedaan............................................................................... ....... 7
BAB III PENUTUP............................................................................................... 9
Kesimpulan.................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 10


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Aqidah ilmu kalam sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari akidah yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari akidah/teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat , yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh peredaran zaman.
Teologi dalam Islam disebut juga  ilmu At-Tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu/esa dan keEsaan dalam pandangan Islam merupakan sifat yang terpenting diantara sifat-sifat Tuhan. Teologi Islam disebut juga ilmu kalam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertia aqidah ilmu kalam, nama-nama dan ruang lingkupnya?
2.      Bagaiman sejarah munculnya aqidah ilmu kalam dan sumber-sumbernya?
3.      Apa faktor-faktor timbulnya ilmu kalam?
4.      Bagaiman hubungan aqidah ilmu kalam dengan ilmu keIslaman lainnya?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Aqidah Ilmu Kalam
Aqidah Ilmu Kalam secara bahasa terdiri dari kata Aqidah dan ilmu kalam . Aqidah berasal dari bahasa arab yaitu aqidah, aqid, uqad, uqud, I’tiqad yang artinya ikatan, perjanjian dan keyakinan. Sedangkan ilmu kalam artinya Ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah ketuhanan/ketauhidan (mengesakan Tuhan). Jadi Aqidah Ilmu Kalam artinya ilmu yang mempelajari ikatan/keyakinan seseorang tentang masalah ketuhanan dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan disertai alasan-alasan yang rasional. Secara istilah pengertian aqidah ilmu kalam yaitu :
1.      Menurut Musthafa Abdul Raziq definisi aqidah ilmu kalam adalah ilmu yang berkaitan dengan aqidah imani yang dibangun dengan argumentasi-argumentasi rasional. [1]
2.      Menurut Al-Farabi definisi aqidah ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin mulai yang berkenaan  dengan masalah dunia  sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam
3.      Menurut Ibnu Khaldun definisi aqidah ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.
4.      Menurut Syekh Muhammad Abduh definisi ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib baginya, sifat-sifat yang jaiz baginya dan tentang sifat-sifat yang ditiadakan darinya dan juga tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat wajib, jaiz dan muhal dari mereka. [2]
B.     Nama-nama aqidah ilmu kalam
Aqidah ilmu kalam atau yang biasa disebut dengan ilmu kalam mempunyai beberapa nama yaitu ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-akbar dan teologi Islam. Disebut ilmu ushuluddin karena membahas pokok-pokok agama, disebut ilmu tauhid karena membahas keesaan Allah swt. Abu Hanifah menyebut nama ilmu ini dengan fiqh al-akbar. karena menurut persepsinya hukum Islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi menjadi dua yaitu fiqh al-akbar (membahas keyakinan/ pokok-pokok agama/ilmu tauhid dan fiqh al-asghar (membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah). Teologi Islam merupakan istilah yang diambil dari bahasa inggris, theology William L Reese mendefinisikan dengan “discourse or concerning” (diskursus/pemikiran tentang Tuhan[3]). Dengan mengutip William Ockhan Reese lebih lanjut  mengatakan “Theologi to be a discipline and independent of both philoopy and science” (teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan). Sementara itu Gove menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan tentang keimanan, perbuatan dan pengalaman agama secara rasional.
C.    Ruang lingkup aqidah ilmu kalam
Masalah yang dibahas dalam aqidah ilmu kalam adalah mempercayai adanya Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Nabi dan Rasul Allah, hari kiyamat, Qadha’ dan Qadar, Akhirat, akal dan wahyu, surga , neraka, dosa besar, dan masalah iman dan kafir. yang diperkuat dengan-dengan dalil-dalil rasional agar terhindar dari aqidah-aqidah yang menyimpang.
D.    Sejarah kelahiran aqidah ilmu kalam
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu persoalan politik yang menyangkut peristiwa terbunuhnya Usman bin affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara . Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi perang siffin yang berakhir dengan keputusan Tahkim (arbitrase). sikap ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash(utusan Mu’awiyah dalam tahkim), sungguhpun dalam keadaan terpaksa , tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi  saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum Al-Qur’an La Hukma Ila Lillah(tidak ada hukum selain dari hukum Allah). atau La Hukma Illa Allah( tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka . mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga meninggalkan barisannya, mereka terkenal dengan nama khawarij. dan kelompok yang tetap mendukung Ali bin Abi Thalib dikenal dengan nama syiah. [4]
Harun lebih lanjut mengatakan bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij sebagaimana yang telah disebutkan, memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim yakni Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah ayat 44.
Persoalan ini telah menimbulkan tiga alioran teologi dalam Islam yaitu:
  1. Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
  2. Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah  kepada Allah  untuk mengampuni atau menghukumnya.
  3. Aliran Mu’tazilah , yang tidak menerima pendapat kedua diatas. Bagi mereka orang yang berdosa besar  bukan kafir , tetapi bukan mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahjasa arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain(posisi diantara  dua posisi). dalam Islam timbul pula  dua aliran teologi yang terkenal dengan Qadariyah dan Jabariyah. menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan  dalam kehendak dan perbuatannya. adapun Jabariyah  berpendapat sebaliknya, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam yaitu aliran Asy’ariyah dan Aliran Maturidiyah.
E.     Sumber-Sumber Ilmu Kalam
Pembahasan ilmu kalam selalu berdasarkan/bersumber pada dua dalil yaitu dalil naqli(al-qur’an dan hadits) dan dalil aqli (dalil fikiran)[5]. Sebagai sumber Ilmu Kalam, Al-qur;an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya adalah
  1. Q. S. Al-Ikhlas(112):3-4. ayat ini menunjukkan bahwa tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak satupun di dunia ini yang tampak sekutu (sejajar) dengan-Nya.
  2. Q. S. Asy-Syura(42):7. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
  3. Al-Furqan(25):59. ayat ini menunjukkan bahwa tuhan Yang Maha Penyayang bertahta diatas Arsy. Ia pencipta langit, bumi, dan semua yang ada diantara keduanya.
  4. Q. S. Al-Fath. (48):10. ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai tangan yang selalu berada diatas tangan-tangan orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan janji Allah.
  5. Q. S. Thaha(20):39. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai mata yang selalu digunakan untuk mengawasi seluruh gerak , termasuk gerakan hati makhluknya.
  6. Q. S. Ar-Rahman(55):27. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai wajah yang tidak akan rusak selama-lamanya.
  7. Q. S. An-Nisa’(4)125. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan berupa agama . seseorang dikatakan telah melaksanakan aturan agama apabila melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.
F.     Faktor-faktor Timbulnya Ilmu Kalam
1.      Faktor dari dalam(intern) :
a.       Sebagian orang musyrik ada yang mentuhankan bintang-bintang sebagai sekutu Allah. hal ini ditolak dengan firman Allah surat Al-An’am ayat 76-78.
b.      Ada yang mentuhan kan Nabi Isa as. Hal ini ditolak dengan firman Allah surat Al-Maidah ayat 116.
c.       Orang-orang yang menyembah berhala. Hal ini ditolak dengan firman Allah surat al-an’am ayat 74.
d.      Golongan yang tidak percaya akan kerasulan nabi(nabi Muhammad saw. ) dan tidak percaya akan kehidupan akhirat. hal ini ditolak dengan firman Allah surat al-Ambiya’ ayat 104.
e.       Golongan  orang-orang yang mengatakan semua yang terjadi di dunia ini adalah perbuatan Tuhan semuanya dan Soal politik (Khilafah) pemimpin  negara. yang dimulai ketika Rasulullah meninggal dunia serta peristiwa terbunuhnya usman dimana antara golongan yang satu dengan yang lain saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar.
2.      Sebab dari luar (ekstern) yaitu:
a.       Danyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragam yahudi, masehi dan lain-lain, setelah fikiran mereka tenang dan sudah memegang teguh Islam , mereka mulai mengingat-ingat agama mereka yang dulu dan dimasukkannya dalam ajaran-ajaran Islam.
b.      Golongan Islam yang dulu, terutama golongan mu’tazilah memusatkan perhatiannya untuk penyiaran agama Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi Islam. mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawanya  kalau mereka sendiri tidak mengetahui pendapat-pendapat lawan-lawannya beserta dalil-dalilnya. sehingga kaum muslimin memakai filsafat untuk menghadapi musuh-musuhnya.
c.       Para mutakallimin ingin mrngimbangi lawan-lawanya yang menggunakan filsafat , dengan mempelajari logika dan filsafat dari segi ketuhanan.
G.    Hubungan aqidah ilmu kalam dengan ilmu keIslaman lainnya (filsafat dan tasawwuf)
1.      Titik persamaan
Ilmu kalam, filsafat dan tasawwuf mempunyai obyek kemiripan. Obyek ilmu kalam ketuhanan dan yang berkaitan dengan-Nya. Obyek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu obyek kajian tasawwuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan. Argumentasi filsafat  sebagaimana ilmu kalam dibangun diatas dasar logika. Oleh karena itu , hasil kajiannya bersifat spekulatif(dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimen). [6] Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawwuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran yang rasional.
2.      Titik Perbedaan
Perbedaan diantara ketiga ilmu itu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam , sebagai ilmu yang menggunakan logika di samping argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai ketuhananya . Sebagian ilmuwan  bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional. Sementara filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau mengelana) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta  universal tidak merasa terikat oleh ikatan apapun kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Adapun ilmu tasawwuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawwuf bersifat subyektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Dilihat dari aspek aksiologi(manfaatnya), teologi diantaranya berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenal rasio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan sebagai ilmu yang lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian langsung. Adapun tasawwuf lebih peran sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh yang ingin dicarinya. Sebagian orang  memandang bahwa ketiga ilmu itu memiliki jenjang tertentu . jenjang pertama adalah ilmu kalam, kemudian filsafat dan yang terakhir adalah ilmu tasawwuf. [7]





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Pengertian Aqidah Ilmu kalam adalah artinya ilmu yang mempelajari ikatan/keyakinan seseorang tentang masalah ketuhanan dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan disertai alasan-alasan yang rasional. Nama-nama ilmu kalam yaitu ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-akbar dan teologi Islam. dan Ruang lingkupnya adalah tentang mengesakan tuhan yang diperkuat dengan-dengan dalil-dalil rasional agar terhindar dari aqiah-aqidah yang menyimpang.
2.      Sejarah munculnya ilmu kalam adalah ketika Rasulullah meninggal dunia dan peristiwa terbunuhnya usman diman antara golongan yang satu dengan yang lain saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar. dan sumber-sunber ilmu kalam adalah dalil naqli(al-qur’an dan hadits) dan dalil aqli (dalil fikiran)
3.      Faktor timbulnya ilmu kalam ada dua yaitu faktor intern dan ekstern.
4.      Hubungan ilmu kalam dengan ilmu keIslaman lainnya(filsafat dan tasawwuf mempunyai persamaan dan perbedaan.



DAFTAR PUSTAKA

Razak. , Abdul. Dr. M. Ag. 2003. Ilmu Kalam. Bandung :CV Pustaka Setia . hlm. 13-27
Hanafi, Ahmad. M. A. 1974. Theologi Islam(ilmu kalam). Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 3-12
A. Nasir, Sahilun Drs. H. 1996. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 28-29
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia. hlm. 1-
Al-Ghazali. 1999. Tauhidullah. Risalah Gusti: Surabaya
Abd Razak, Musthfa , Tamhid Li Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyah, Lajnah Wa At-Tha’lif Wa At-Tarjamah wa An-Nasyr. 1959. hlm. 265
Abduh, Muhammad . Risalah. Tauhid, Ter. Firdaus An. Jakarta:Bulan Bintang.
Harun Nasution, Teologi Islam. Jakarta:Universitas Indonesia, 1986
Endang Saifudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya:PT Bina Ilmu . 1990. hlm. 174
Ahmad Hanafi MA. Theologi Islam (ilmu kalam). Jakrta:Bulan Bintang. 1974. hlm. 6-13
           Geogle. 09.00 wib

 

[1] Musthofa Abd Razak, Tamhid Li Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyah, Lajnah Wa At-Tha’lif Wa At-Tarjamah wa An-Nasyr, 1959, hlm. 265
[2] Muhammad Abduh. Risalah. Tauhid, Ter. Firdaus An. Bulan Bintang, Jakarta, 1965 hlm. 25

[4] Harun Nasution, Teologi Islam, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986
[5] Drs. H. Sahilun A Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1996, hlm. 28
[6] Endang Saifudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, PT Bina Ilmu , Surabaya, 1990, hlm. 174
[7] Ahmad Hanafi MA. Theologi islam (ilmu kalam), Bulan Bintang, Jakrta, 1974, hlm. 6-13

ijtihad alternatif


Ijtihad Alternatif
dan Legislasi Hukum Islam Indonesia



disusun oleh :
hamdani hakim
11421021

1.  Pendahuluan
           
            Ijtihad merupakan bagian penting dari kajian ilmu Ushul Fiqh. Ia bahkan menempati posisi sentral dalam pembahasan ilmu ushul fiqh, karena ijtihad dapat dijadikan kata kunci, yaitu pada al-Qur`an dan as-Sunnah yang dipahami oleh ulama (usaha memahami al-Qur`an dan as-Sunnah disebut ijtihad, dan produk ijtihadnya disebut fiqh). Ijma’ adalah bagian dari teknik ijtihad. Ijtihad yang dilakukan oleh ulama secara individual disebut fardhiyyat, sedang yang kolektif disebut ijma’[1].
            Kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini adalah karena kekeliuran dalam menetapkan pilihan dari pasangan-pasangan pilihan, atau sekurang-kurangnya kekeliuran dalam menentukan bobot dari masing-masing pilihan. Pilihan-pilihan itu adalah pilihan antara wahyu dan akal, pilihan antara kesatuan dan keragaman, pilihan antara idealisme dan relisme, dan pilihan antara stabilitas dan perubahan. Fiqh telah dipandang sebagai identik dengan hukum Islam dan wahyu, ketimbang sebagai produk pemikiran manusia dan produk sejarah. Fiqh telah dipandang sebagai ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal ketimbang sebagai ekspresi keragaman yang partikular. Fiqh telah mewakili hukum dalam bentuk cita-cita ketimbang sebagai respon atau refleksi kenyataan yang ada secara realis. Semua itu mengakibatkan kemandekan pemikiran fiqh[2].
            Upaya mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam, harus membalikkan pilihan-pilihan itu. Kita harus memandang fiqh sebagai produk dominan akal ketimbang wahyu, dan karenanya boleh diutak-atik, diubah bahkan dibuang pada setiap saat untuk diganti dengan yang baru. Fiqh harus dipandang sebagai variasi dari suatu keragaman yang bersifat partikularistik yang terkait dengan tempat dan waktu. Fiqh harus dikembangkan dari yurisprudensi pengadilan yang bertumpu pada realisme. Pendek kata fiqh harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang tak henti-hentinya tanpa harus dipersoalkan keabsahannya karena akhir fiqh itu hanya menyangkut soal cabang dari agama[3].
            Harus diakui bahwa terlalu menumpukan segala aspek kehidupan pada fiqh klasik, ternyata mengakibatkan kemandegan dan keterbelakangan umat Islam dibanding dengan perkembangan dunia global. Ketika kehidupan modern banyak membutuhkan jawaban hukum kepada Islam, maka hukum Islam khususnya fiq h, karena hanya menumpukan pada produk fiqh klasik, akhirnya banyak tantangan kemodernan tidak mampu dijawab oleh fiqh.
            Lalu upaya ijtihad seperti apa yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan modernitas tersebut? Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkannya? Adakah solusi alternatif metodologis dalam pengupayaan ijtihad masa depan? Bagaimana pula upaya legislasi di lokal Indonesia? Beberapa hal inilah yang akan dicoba diungkap dalam tulisan ini. Tentu saja perlu pembatasan bahwa tulisan ini hanya sekedar sumbang pikiran untuk melengkapi khazanah pikiran yang lain, terkait keterbatasan penggunaan referensi yang digunakan.

2.  Pembahasan
           
            Perumusan metodologi hukum Islam yang sistematis dan komprehensif, hendaklah berpangkal tolak dari perumusan metode pemahaman al-Qur`an terutama ayat-ayat hukum dengan pendekatan historis kronologis, guna merekonstruksi ideal moral yang dituju al-Qur`an, dengan bantuan Hadis sebagai bagian organisnya[4].
            Akan tetapi alasan yang lebih kuat adalah kepercayaan Umar yang tak tergoyahkan pada prinsip-prinsip yang dipegangnya. Kasus Umar banyak memberi pelajaran betapa suatu hukum dapat berubah secara formal menghadapi perubahan sosial, tetapi jiwa dan ideal moral yang mendasari hukum formal itu tetap bertahan tidak berubah[5]. Selama 10 tahun pemerintahan Umar, sebagian besar ditandai dengan penaklukan untuk melebarkan pengaruh Islam. Namun, dia terkenal sebagai mujtahid, termasuk tujuh besar sahabat yang banyak memberi fatwa. Dia terdepan dalam membawa panji-panji mazhab ra’yi. Ijtihadnya dimulai ketika bersama Rasul maupun diikuti orang-orang sepeninggalnya. Misalnya, putusan Umar menghapus Muallaf sebagai mustahiq zakat[6].
                Pendapat ini mengarah pada dua tinjauan yang berbeda dan dampaknya ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran hukum Islam samapi kini. Pertama, konsensus sahabat masa Abu Bakar menggugurkan saham muallaf tersebut telah membatalkan bagian muallaf yang dimaksud surat at-Taubah ayat 60. Pemikiran semacam ini barangkali yang membawa adanya teori lokal dan temporal pada ayat-ayat al-Qur`an. Kedua, pengguguran saham muallaf pada masa sahabat itu bukanlah sama dengan pembatalan (nasikh), tetapi yang sebenarnya adalah penghentian hukum disebabkan berhenti (tidak terpenuhi) illat-nya. Pendekatan kedua ini membuka teori adanya sifat-sifat situasional dan kondisional terhadap pehamanan ayat al-Qur`an[7]. Oleh karenanya, dibutuhkan teoritisasi Hukum Islam yang sistematis dan komprehensif.
           
a.  Metodologi hukum Islam sistematis komprehensif
            Setiap masalah menurut pandangan Islam tentu ada hukumnya. Hanya kebanyakan masalah terutama mu`ammalah tidak ditetapkan secara rinci hukumnya. Hal ini bukan karena kealpaan atau kelengahan dari syari’ (law maker), sebab masalah ini akan terus berkembang dengan cepat sesuai perkembangan zaman. Karena itu Islam hanya memberi pedoman pokok dan prinsip, sedang pengaturannya diserahkan pada ulil amri[8]. Di sinilah perlunya upaya menemukan hukum untuk mengatur masyarakat Islam.  
            Upaya menemukan metodologi hukum yang sistematis dan komprehensif terkait untuk menjawab tantangan modernitas, ada tiga langkah yang diperlukan[9]:
1)      Pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Qur`an
2)      Pembedaan antara ketetapan legal, sasaran dan rujukan al-Qur`an
3)      Pemahaman dan penetapan sasaran al-Qur`an dengan mempertimbangkan secara sepenuhnya latar belakang sosiologisnya.
Pendekatan historis yang serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks al-Qur`an. Aspek metafisis ajaran al-Qur’an mungkin tidak menyediakan dirinya dengan mudah untuk dikenakan terapi historis, tetapi bagian-bagian sosiologisnya pasti menyediakan dirinya untuk dikenakan terapi historis tersebut. Pertama, Al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan kronologisnya mengawali dalam pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu paling awal akan memberikan suatu persepsi yang cukup akurat mengenai dorongan dasar gerakan Islam, dibedakan dengan yang belakangan. Kedua, perbedaan antara ketetapan legal dengan tujuan dan sasaran al-Qur`an, karena al-Qur`an biasanya menjelaskan alasan-alasan bagi pernyataan legal spesifiknya. Ketiga, memahami dan memantapkan sasaran tujuan al-Qur’an dengan memahami latar belakang sosiologisnya. Ini untuk menghindari penafsiran subyektif, yang bermanfaat bagi penafsiran al-Qur`an yang berhasil[10]. 
            Di samping pencarian metodologi yang sistematis komprehensif, juga diperlukan syarat dalam mereaktualisasi hukum Islam, setidaknya: Pertama, adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat muslim; kedua, adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan pilihan; ketiga, memahami faktor sosio-kultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk pemikiran Hukum Islam.  Dengan demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran hukum itu dengan sendirinya harus diubah. Hukum Islam akan terus terjaga dan dikembangkan[11].

b.  Prosedur dan prinsip ijtihad
            Metodologi yang dikemukakan sebelum ini, memperlihatkan prosedur pendekatan berfokus pada penafsiran, pemahaman, aspek hukum atau ajaran-ajaran sosial al-Qur`an. Kandungan syari’ah hendaknya menjadi sasaran pemeriksaan yang segar dalam sinaran bukti al-Qur`an. Aspek metafisik al-Qur`an yang menjadi esensi pendekatannya, penekanan tegas perbedaan antara sasaran-sasaran dan tujuan al-Qur`an (ideal moral) dari ketentuan legal spesifik. Selain itu, pertimbangan konteks kekinian hendaklah menjadi perhatian pula[12].
            Perlu diteliti kembali tentang arti dan cakupan prinsip maslahat (kepentingan umum) serta upaya dalam memberikan konseptualisasi kontemporer terhadap prinsip tersebut. Kemudian dirumuskan kembali metodologi untuk memperoleh prinsip-prinsip hukum Islam dari al-Qur`an dan as-Sunnah. Metodologi dimaksud terdiri dari dua pemikiran yuristik; Pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general), dan Kedua, dari yang umum kepada yang khusus[13]. Al-Qur`an juga menyebutkan alasan bagi suatu pernyataan yang berisi prinsip moral atau legal. Pemahaman alasan sangat penting bagi pemahaman terhadap pernyataan legal atau kuasi legal. Alasan ini adalah hikmah yang merupakan esensi ajaran al-Qur`an. Tujuan dan prinsip al-Qur`an dipadukan teori sosio-moral yang padu dan komprehensif baik dalam al-Qur`an dan as-Sunnah.
            Gerakan ganda ini (umum ke khusus dan khusus ke umum) lebih tertuju pada penafsiran hukum atau ajaran sosial al-Qur`an. Proses penafsiran yang diajukan dari gerakan ganda, yaitu dari situasi sekarang ke masa al-Qur`an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Gerakan ganda inilah prosedur ijtihad, berdasarkan asimilasi, elaborasi sistematis pandangan seorang yuris Maliki bernama asy-Syathibi.

c.  Rekonstruksi metodologi modern
             Untuk hal ini, yang utama adalah memformulasikan tentang pandangan al-Qur`an terhadap dunia, menyangkut Tuhan, hubungan Tuhan manusia dan alam, peran-Nya dalam sejarah manusia dan masyarakat. Ujungnya akan terbentuk etika al-Qur`an. Selanjutnya merumuskan hukum selaras dengan kebutuhan kontemporer. Perlu ditekankan lagi, pandangan dunia al-Qur`an terkait secara organis dengan etika al-Qur`an dan formulasi hukum. Karena, hanya dengan menjernihkan pengertian terhadap pandangan dunia al-Qur`an , barulah etika al-Qur`an sebagai sumber formulasi hukum Islam kontemporer dapat dibangun. Etika al-Qur`an memiliki basis nyata dalam pandangan dunia. Lebih jauh, bagian metafisis al-Qur`an ini merupakan latar belakang elaborasi, yang kohern atas pesan al-Qur`an di bidang moral, sosial dan legal[14].
            Selanjutnya adalah proses penubuhan dengan mewujudkan maslahat (kepentingan umum) yang terkait secara organis dengan prinsip-prinsip yang telah dirumuskan dalam etika al-Qur`an serta tidak lepas mengambang secara bebas dari nilai-nilai religius[15]. Indonesia bisa saja memiliki fiqh ala Indonesia. Jadi ijtihad merupakan kata kunci menyelesaikan problem-problem yang dihadapi umat Islam, terutama era kini dan akan datang. Adanya kompleksitas ilmu dan sudut pandang dari permasalahan tertentu, menghendaki ijtihad dilakukan tidak hanya oleh satu ulama dengan spesialisasi tertentu, tetapi dilakukan secara jama’i (kolektif).
            Metode ijtihad alternatifnya yaitu metode ijtihad responsif, dengan penjabaran[16]:
1)  Mengidentifikasi dan memahami problem kontemporer yang perlu solusi dari aspek hukum Islam;
2)  Mencari dan memahami teks yang berkaitan dengan problem yang dihadapi;
3)  Membaca filosofi teks untuk menemukan substansi pesan teks;
4)  Melihat maqasid Syari’ah. Teori maqashid asy-syari’ah al-maslahah bertitik tolak dari kelima pokok kemaslahatan, yaitu: (a) memelihara agama, (b) memelihara jiwa, (c) memelihara akal, (d) memelihara keturunan dan (e) memelihara harta[17]. Mengetahui urutan peringkat maslahat menjadi penting, juga dalam hal dharuriyyat, hajjiyyat dan tahsiniyyat-nya. Terutama dikaitkan dengan skala prioritas[18];
5)  Memahami realitas sosial termasuk sejarah sosial dan pendapat ulama/pakar;
6)  Meresponsifkan substansi pesan teks, pemahaman maqashid syari’ah, pendapat ulama/pakar, realitas sosial, dan problem kontemporer yang perlu dicarikan solusinya;
7)  Menemukan solusi dan menetapkan solusi yang dianggap benar sebagai jawaban terhadap problem kontemporer yang dihadapi masyarakat.

d.  Legislasi hukum Islam kontemporer Indonesia
            Karakteristik hukum adat Indonesia adalah faktor etika (moral)nya, yang dalam KUHP warisan Barat hanya dianggap sepele sehingga memberi nuansa tidak adil. Ketidakadilan dalam hukum akan memicu untuk berbuat  dan main hakim sendiri.
            Ijtihad merupakan persentuhan antara ajaran Islam dan tuntutan realitas kehidupan. Kita mewarisi fiqh Islam klasik, yang diciptakan dengan kondisi dan realitas sosial tersendiri. Kita juga dihadapkan pada konteks historis dan realitas tersendiri, yang berbeda dengan konteks fiqh klasik itu. Maka perlu disusun metodologi dan langkah ijtihad untuk memperoleh teoritisasi hukum Islam Indonesia.
            Upaya pembumian pesan-pesan ajaran al-Qur’an dalam situasi kekinian, harus memperhatikan empat komponen pokok[19]:
1)  Konteks sastra al-Qur’an, dimana terma tertentu muncul atau digunakan di dalam al-Qur’an, mencakup ayat yang terdapat sebelum maupun sesudah term itu, rujukan silangnya pada konteks relevan pada surat lain;
2)  Perkembangan term yang dikandungnya dalam bentangan kronologi al-Qur`an;
3)  Konteks kesejarahan global, historical background Arabia masa pewahyuan dan asbab an-nuzul;
4)  Konteks sosio-historis kontemporer yang merupakan lahan penubuhan al-Qur`an (menetapkan term tertentu sebagai obyek kajian; mengkaji term secara terpadu komprehensif dalam konteks sastra, historis unit wahyu, bentangan kronologis wahyu; dan pemahamannya, kemudian diproyeksikan ke dalam konteks sosio-historis konkrit dewasa ini).
            Menghadapi bahan yang akan digunakan dalam pembentukan Hukum Nasional, sering terjadi pertentangan antar bahan hukum. Umumnya hanya karena beda rumusan dan isi norma konkrit suatu masalah. Padahal kebutuhannya tetap sama, yaitu kepastian hukum. Perlu penelitian dan pengkajian intensif atas asas, prinsip, dasar norma konkrit, kemudian membandingkannya dengan asas, prinsip, dasar norma hukum Islam. Mungkin diketemukan sama, sehingga tidak ada pertentangan. Bila cara ini ditempuh, akan lebih besar kemungkinan unsur dari hukum Islam diangkat menjadi Hukum Nasional yang dapat diterima oleh semua pihak. Pijakannya adalah prinsip yang mendasari hukum, bukan norma masing-masing. Selanjutnya menjadi Hukum Nasional. Inilah cara yang memungkinkan unsur hukum tertentu diterima semua pihak sebagai Hukum Nasional.
            Mujtahid masa depan tidak cukup menguasai bahasa dan metodologi baca kitab, tetapi juga menguasai metodologi ilmiah dengan kemampuan analisis empiris dalam kemampuan analisis empiris teoritisasi idealitas Hukum Islam. Pengukuhan hukum Islam atas realitas memberikan keyakinan bahwa hukum Islam memiliki sifat keluwesan yang memungkinkan untuk diterapkan di segala tempat dan zaman, hingga akan dapat dirasakan benar-benar bahwa agama Islam diturunkan Allah menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dengan demikian, dapat diyakini hukum Islam yang bersifat universal benar-benar mengantar umat manusia mencapai kesejahteraan jasmani dan ruhani, di dunia kini dan di akhirat nanti[20].
            Demikianlah, upaya ijtihad alternatif dan upaya nasionalisasi hukum Islam yang sudah dijelaskan, bisa mengantar dan menjadi pedoman masyarakat muslim Indonesia untuk melaksanakan keberagamaan mereka di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Eklektisitas ajaran Islam yang bisa menyesuaikan dengan realitas ala Indonesia inilah yang harus terus digalakkan, sehingga Islam mampu menunjukkan fungsinya sebagai rahmatan lil ‘alamin. Akhirnya tujuan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur akan lebih berpeluang dapat dicapai. Wallahu a’lam.
   

3.  Kesimpulan
           
            Upaya ijtihad yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan modernitas dilakukan melalui tiga langkah: melakukan pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Qur`an; membedakan antara ketetapan legal, sasaran dan rujukan al-Qur`an; serta memahami dan menetapkan sasaran al-Qur`an dengan mempertimbangkan secara sepenuhnya latar belakang sosiologisnya.
            Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkannya: Pertama, adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat muslim; kedua, adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan pilihan; ketiga, memahami faktor sosio-kultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk pemikiran Hukum Islam.
            Solusi alternatif metodologis dalam pengupayaan ijtihad masa depan ialah memeriksa isi kandungan syari’ah, aspek metafisik sebagai esensi pendekatan, penekanan tegas perbedaan antara sasaran-sasaran dan tujuan al-Qur`an (ideal moral) dari ketentuan legal spesifik. Selain itu, pertimbangan konteks kekinian, bertumpu pada arti dan cakupan prinsip maslahat (kepentingan umum) serta upaya dalam memberikan konseptualisasi kontemporer terhadap prinsip tersebut. Kemudian dirumuskan kembali metodologi untuk memperoleh prinsip-prinsip hukum Islam dari al-Qur`an dan as-Sunnah, dengan dua pemikiran yuristik (dari yang partikular ke general, dan dari yang umum kepada yang khusus.
            Upaya legislasi hukum Islam di lokal Indonesia dilakukan dengan meneliti asas, prinsip, dasar norma konkrit adat, kemudian membandingkannya dengan asas, prinsip, dasar norma hukum Islam. Mungkin diketemukan sama, sehingga tidak ada pertentangan. Bila cara ini ditempuh, akan lebih besar kemungkinan unsur dari hukum Islam diangkat menjadi Hukum Nasional yang dapat diterima oleh semua pihak.


Daftar Bacaan:

Khalaf, ‘Abdul Wahab, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indonesia li ad-da’wah al-Islamiyah, 1392 H/1972 M), cet. Ke-9.

Mu’alim, Amir dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2004).

Mu’allim, Amir, Metode Ijtihad Hukum Islam di Indonesia: Upaya Mempertemukan Pesan-pesan Teks dengan Realitas Sosial, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Fiqh, Sidang Senat Terbuka UII, 17 Juni 2006.

Mubarok, Jaih,  Metodologi Ijtihad Hukum Islam,  (Yogyakarta: UII Press, 2002).

Mudzhar, Atho, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998).

Nurudin, Amiur,  Ijtihad ‘Umar bin al-Khaththab. Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987).

Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Hukum Syari’ah, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987).


[1] Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam,  (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 7-8.
[2] Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 95-101.
[3] Atho Mudzhar, Ibid, hlm. 101-102.
[4] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 117.
[5] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 119.
[6] Amiur Nurudin, Ijtihad ‘Umar bin al-Khaththab. Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hlm. 136-142.
[7] Amiur Nurudin, ibid, hlm. 142-142.
[8] H Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987), hlm. 128.
[9] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 120.

[10] Fazlurrahman dalam Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 120-121.
[11] Amiur Nurudin, ibid, hlm. 102.
[12] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 121.
[13] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 122.

[14] Fazlurrahman dalam Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 126-127.
[15] Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 132.
[16] Amir Mu’allim, Metode Ijtihad Hukum Islam di Indonesia: Upaya Mempertemukan Pesan-pesan Teks dengan Realitas Sosial, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Fiqh, Sidang Senat Terbuka UII, 17 Juni 2006, hlm. 18-23.
[17] ‘Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indonesia li ad-da’wah al-Islamiyah, 1392 H/1972 M), cet. Ke-9, hlm. 200-201.
[18] Amir Mu’allim, Ibid, hlm. 21.
[19] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 150-151.
[20] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 155.