Jumaat, 15 Februari 2013

ijtihad alternatif


Ijtihad Alternatif
dan Legislasi Hukum Islam Indonesia



disusun oleh :
hamdani hakim
11421021

1.  Pendahuluan
           
            Ijtihad merupakan bagian penting dari kajian ilmu Ushul Fiqh. Ia bahkan menempati posisi sentral dalam pembahasan ilmu ushul fiqh, karena ijtihad dapat dijadikan kata kunci, yaitu pada al-Qur`an dan as-Sunnah yang dipahami oleh ulama (usaha memahami al-Qur`an dan as-Sunnah disebut ijtihad, dan produk ijtihadnya disebut fiqh). Ijma’ adalah bagian dari teknik ijtihad. Ijtihad yang dilakukan oleh ulama secara individual disebut fardhiyyat, sedang yang kolektif disebut ijma’[1].
            Kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini adalah karena kekeliuran dalam menetapkan pilihan dari pasangan-pasangan pilihan, atau sekurang-kurangnya kekeliuran dalam menentukan bobot dari masing-masing pilihan. Pilihan-pilihan itu adalah pilihan antara wahyu dan akal, pilihan antara kesatuan dan keragaman, pilihan antara idealisme dan relisme, dan pilihan antara stabilitas dan perubahan. Fiqh telah dipandang sebagai identik dengan hukum Islam dan wahyu, ketimbang sebagai produk pemikiran manusia dan produk sejarah. Fiqh telah dipandang sebagai ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal ketimbang sebagai ekspresi keragaman yang partikular. Fiqh telah mewakili hukum dalam bentuk cita-cita ketimbang sebagai respon atau refleksi kenyataan yang ada secara realis. Semua itu mengakibatkan kemandekan pemikiran fiqh[2].
            Upaya mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam, harus membalikkan pilihan-pilihan itu. Kita harus memandang fiqh sebagai produk dominan akal ketimbang wahyu, dan karenanya boleh diutak-atik, diubah bahkan dibuang pada setiap saat untuk diganti dengan yang baru. Fiqh harus dipandang sebagai variasi dari suatu keragaman yang bersifat partikularistik yang terkait dengan tempat dan waktu. Fiqh harus dikembangkan dari yurisprudensi pengadilan yang bertumpu pada realisme. Pendek kata fiqh harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang tak henti-hentinya tanpa harus dipersoalkan keabsahannya karena akhir fiqh itu hanya menyangkut soal cabang dari agama[3].
            Harus diakui bahwa terlalu menumpukan segala aspek kehidupan pada fiqh klasik, ternyata mengakibatkan kemandegan dan keterbelakangan umat Islam dibanding dengan perkembangan dunia global. Ketika kehidupan modern banyak membutuhkan jawaban hukum kepada Islam, maka hukum Islam khususnya fiq h, karena hanya menumpukan pada produk fiqh klasik, akhirnya banyak tantangan kemodernan tidak mampu dijawab oleh fiqh.
            Lalu upaya ijtihad seperti apa yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan modernitas tersebut? Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkannya? Adakah solusi alternatif metodologis dalam pengupayaan ijtihad masa depan? Bagaimana pula upaya legislasi di lokal Indonesia? Beberapa hal inilah yang akan dicoba diungkap dalam tulisan ini. Tentu saja perlu pembatasan bahwa tulisan ini hanya sekedar sumbang pikiran untuk melengkapi khazanah pikiran yang lain, terkait keterbatasan penggunaan referensi yang digunakan.

2.  Pembahasan
           
            Perumusan metodologi hukum Islam yang sistematis dan komprehensif, hendaklah berpangkal tolak dari perumusan metode pemahaman al-Qur`an terutama ayat-ayat hukum dengan pendekatan historis kronologis, guna merekonstruksi ideal moral yang dituju al-Qur`an, dengan bantuan Hadis sebagai bagian organisnya[4].
            Akan tetapi alasan yang lebih kuat adalah kepercayaan Umar yang tak tergoyahkan pada prinsip-prinsip yang dipegangnya. Kasus Umar banyak memberi pelajaran betapa suatu hukum dapat berubah secara formal menghadapi perubahan sosial, tetapi jiwa dan ideal moral yang mendasari hukum formal itu tetap bertahan tidak berubah[5]. Selama 10 tahun pemerintahan Umar, sebagian besar ditandai dengan penaklukan untuk melebarkan pengaruh Islam. Namun, dia terkenal sebagai mujtahid, termasuk tujuh besar sahabat yang banyak memberi fatwa. Dia terdepan dalam membawa panji-panji mazhab ra’yi. Ijtihadnya dimulai ketika bersama Rasul maupun diikuti orang-orang sepeninggalnya. Misalnya, putusan Umar menghapus Muallaf sebagai mustahiq zakat[6].
                Pendapat ini mengarah pada dua tinjauan yang berbeda dan dampaknya ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran hukum Islam samapi kini. Pertama, konsensus sahabat masa Abu Bakar menggugurkan saham muallaf tersebut telah membatalkan bagian muallaf yang dimaksud surat at-Taubah ayat 60. Pemikiran semacam ini barangkali yang membawa adanya teori lokal dan temporal pada ayat-ayat al-Qur`an. Kedua, pengguguran saham muallaf pada masa sahabat itu bukanlah sama dengan pembatalan (nasikh), tetapi yang sebenarnya adalah penghentian hukum disebabkan berhenti (tidak terpenuhi) illat-nya. Pendekatan kedua ini membuka teori adanya sifat-sifat situasional dan kondisional terhadap pehamanan ayat al-Qur`an[7]. Oleh karenanya, dibutuhkan teoritisasi Hukum Islam yang sistematis dan komprehensif.
           
a.  Metodologi hukum Islam sistematis komprehensif
            Setiap masalah menurut pandangan Islam tentu ada hukumnya. Hanya kebanyakan masalah terutama mu`ammalah tidak ditetapkan secara rinci hukumnya. Hal ini bukan karena kealpaan atau kelengahan dari syari’ (law maker), sebab masalah ini akan terus berkembang dengan cepat sesuai perkembangan zaman. Karena itu Islam hanya memberi pedoman pokok dan prinsip, sedang pengaturannya diserahkan pada ulil amri[8]. Di sinilah perlunya upaya menemukan hukum untuk mengatur masyarakat Islam.  
            Upaya menemukan metodologi hukum yang sistematis dan komprehensif terkait untuk menjawab tantangan modernitas, ada tiga langkah yang diperlukan[9]:
1)      Pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Qur`an
2)      Pembedaan antara ketetapan legal, sasaran dan rujukan al-Qur`an
3)      Pemahaman dan penetapan sasaran al-Qur`an dengan mempertimbangkan secara sepenuhnya latar belakang sosiologisnya.
Pendekatan historis yang serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks al-Qur`an. Aspek metafisis ajaran al-Qur’an mungkin tidak menyediakan dirinya dengan mudah untuk dikenakan terapi historis, tetapi bagian-bagian sosiologisnya pasti menyediakan dirinya untuk dikenakan terapi historis tersebut. Pertama, Al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan kronologisnya mengawali dalam pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu paling awal akan memberikan suatu persepsi yang cukup akurat mengenai dorongan dasar gerakan Islam, dibedakan dengan yang belakangan. Kedua, perbedaan antara ketetapan legal dengan tujuan dan sasaran al-Qur`an, karena al-Qur`an biasanya menjelaskan alasan-alasan bagi pernyataan legal spesifiknya. Ketiga, memahami dan memantapkan sasaran tujuan al-Qur’an dengan memahami latar belakang sosiologisnya. Ini untuk menghindari penafsiran subyektif, yang bermanfaat bagi penafsiran al-Qur`an yang berhasil[10]. 
            Di samping pencarian metodologi yang sistematis komprehensif, juga diperlukan syarat dalam mereaktualisasi hukum Islam, setidaknya: Pertama, adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat muslim; kedua, adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan pilihan; ketiga, memahami faktor sosio-kultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk pemikiran Hukum Islam.  Dengan demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran hukum itu dengan sendirinya harus diubah. Hukum Islam akan terus terjaga dan dikembangkan[11].

b.  Prosedur dan prinsip ijtihad
            Metodologi yang dikemukakan sebelum ini, memperlihatkan prosedur pendekatan berfokus pada penafsiran, pemahaman, aspek hukum atau ajaran-ajaran sosial al-Qur`an. Kandungan syari’ah hendaknya menjadi sasaran pemeriksaan yang segar dalam sinaran bukti al-Qur`an. Aspek metafisik al-Qur`an yang menjadi esensi pendekatannya, penekanan tegas perbedaan antara sasaran-sasaran dan tujuan al-Qur`an (ideal moral) dari ketentuan legal spesifik. Selain itu, pertimbangan konteks kekinian hendaklah menjadi perhatian pula[12].
            Perlu diteliti kembali tentang arti dan cakupan prinsip maslahat (kepentingan umum) serta upaya dalam memberikan konseptualisasi kontemporer terhadap prinsip tersebut. Kemudian dirumuskan kembali metodologi untuk memperoleh prinsip-prinsip hukum Islam dari al-Qur`an dan as-Sunnah. Metodologi dimaksud terdiri dari dua pemikiran yuristik; Pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general), dan Kedua, dari yang umum kepada yang khusus[13]. Al-Qur`an juga menyebutkan alasan bagi suatu pernyataan yang berisi prinsip moral atau legal. Pemahaman alasan sangat penting bagi pemahaman terhadap pernyataan legal atau kuasi legal. Alasan ini adalah hikmah yang merupakan esensi ajaran al-Qur`an. Tujuan dan prinsip al-Qur`an dipadukan teori sosio-moral yang padu dan komprehensif baik dalam al-Qur`an dan as-Sunnah.
            Gerakan ganda ini (umum ke khusus dan khusus ke umum) lebih tertuju pada penafsiran hukum atau ajaran sosial al-Qur`an. Proses penafsiran yang diajukan dari gerakan ganda, yaitu dari situasi sekarang ke masa al-Qur`an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Gerakan ganda inilah prosedur ijtihad, berdasarkan asimilasi, elaborasi sistematis pandangan seorang yuris Maliki bernama asy-Syathibi.

c.  Rekonstruksi metodologi modern
             Untuk hal ini, yang utama adalah memformulasikan tentang pandangan al-Qur`an terhadap dunia, menyangkut Tuhan, hubungan Tuhan manusia dan alam, peran-Nya dalam sejarah manusia dan masyarakat. Ujungnya akan terbentuk etika al-Qur`an. Selanjutnya merumuskan hukum selaras dengan kebutuhan kontemporer. Perlu ditekankan lagi, pandangan dunia al-Qur`an terkait secara organis dengan etika al-Qur`an dan formulasi hukum. Karena, hanya dengan menjernihkan pengertian terhadap pandangan dunia al-Qur`an , barulah etika al-Qur`an sebagai sumber formulasi hukum Islam kontemporer dapat dibangun. Etika al-Qur`an memiliki basis nyata dalam pandangan dunia. Lebih jauh, bagian metafisis al-Qur`an ini merupakan latar belakang elaborasi, yang kohern atas pesan al-Qur`an di bidang moral, sosial dan legal[14].
            Selanjutnya adalah proses penubuhan dengan mewujudkan maslahat (kepentingan umum) yang terkait secara organis dengan prinsip-prinsip yang telah dirumuskan dalam etika al-Qur`an serta tidak lepas mengambang secara bebas dari nilai-nilai religius[15]. Indonesia bisa saja memiliki fiqh ala Indonesia. Jadi ijtihad merupakan kata kunci menyelesaikan problem-problem yang dihadapi umat Islam, terutama era kini dan akan datang. Adanya kompleksitas ilmu dan sudut pandang dari permasalahan tertentu, menghendaki ijtihad dilakukan tidak hanya oleh satu ulama dengan spesialisasi tertentu, tetapi dilakukan secara jama’i (kolektif).
            Metode ijtihad alternatifnya yaitu metode ijtihad responsif, dengan penjabaran[16]:
1)  Mengidentifikasi dan memahami problem kontemporer yang perlu solusi dari aspek hukum Islam;
2)  Mencari dan memahami teks yang berkaitan dengan problem yang dihadapi;
3)  Membaca filosofi teks untuk menemukan substansi pesan teks;
4)  Melihat maqasid Syari’ah. Teori maqashid asy-syari’ah al-maslahah bertitik tolak dari kelima pokok kemaslahatan, yaitu: (a) memelihara agama, (b) memelihara jiwa, (c) memelihara akal, (d) memelihara keturunan dan (e) memelihara harta[17]. Mengetahui urutan peringkat maslahat menjadi penting, juga dalam hal dharuriyyat, hajjiyyat dan tahsiniyyat-nya. Terutama dikaitkan dengan skala prioritas[18];
5)  Memahami realitas sosial termasuk sejarah sosial dan pendapat ulama/pakar;
6)  Meresponsifkan substansi pesan teks, pemahaman maqashid syari’ah, pendapat ulama/pakar, realitas sosial, dan problem kontemporer yang perlu dicarikan solusinya;
7)  Menemukan solusi dan menetapkan solusi yang dianggap benar sebagai jawaban terhadap problem kontemporer yang dihadapi masyarakat.

d.  Legislasi hukum Islam kontemporer Indonesia
            Karakteristik hukum adat Indonesia adalah faktor etika (moral)nya, yang dalam KUHP warisan Barat hanya dianggap sepele sehingga memberi nuansa tidak adil. Ketidakadilan dalam hukum akan memicu untuk berbuat  dan main hakim sendiri.
            Ijtihad merupakan persentuhan antara ajaran Islam dan tuntutan realitas kehidupan. Kita mewarisi fiqh Islam klasik, yang diciptakan dengan kondisi dan realitas sosial tersendiri. Kita juga dihadapkan pada konteks historis dan realitas tersendiri, yang berbeda dengan konteks fiqh klasik itu. Maka perlu disusun metodologi dan langkah ijtihad untuk memperoleh teoritisasi hukum Islam Indonesia.
            Upaya pembumian pesan-pesan ajaran al-Qur’an dalam situasi kekinian, harus memperhatikan empat komponen pokok[19]:
1)  Konteks sastra al-Qur’an, dimana terma tertentu muncul atau digunakan di dalam al-Qur’an, mencakup ayat yang terdapat sebelum maupun sesudah term itu, rujukan silangnya pada konteks relevan pada surat lain;
2)  Perkembangan term yang dikandungnya dalam bentangan kronologi al-Qur`an;
3)  Konteks kesejarahan global, historical background Arabia masa pewahyuan dan asbab an-nuzul;
4)  Konteks sosio-historis kontemporer yang merupakan lahan penubuhan al-Qur`an (menetapkan term tertentu sebagai obyek kajian; mengkaji term secara terpadu komprehensif dalam konteks sastra, historis unit wahyu, bentangan kronologis wahyu; dan pemahamannya, kemudian diproyeksikan ke dalam konteks sosio-historis konkrit dewasa ini).
            Menghadapi bahan yang akan digunakan dalam pembentukan Hukum Nasional, sering terjadi pertentangan antar bahan hukum. Umumnya hanya karena beda rumusan dan isi norma konkrit suatu masalah. Padahal kebutuhannya tetap sama, yaitu kepastian hukum. Perlu penelitian dan pengkajian intensif atas asas, prinsip, dasar norma konkrit, kemudian membandingkannya dengan asas, prinsip, dasar norma hukum Islam. Mungkin diketemukan sama, sehingga tidak ada pertentangan. Bila cara ini ditempuh, akan lebih besar kemungkinan unsur dari hukum Islam diangkat menjadi Hukum Nasional yang dapat diterima oleh semua pihak. Pijakannya adalah prinsip yang mendasari hukum, bukan norma masing-masing. Selanjutnya menjadi Hukum Nasional. Inilah cara yang memungkinkan unsur hukum tertentu diterima semua pihak sebagai Hukum Nasional.
            Mujtahid masa depan tidak cukup menguasai bahasa dan metodologi baca kitab, tetapi juga menguasai metodologi ilmiah dengan kemampuan analisis empiris dalam kemampuan analisis empiris teoritisasi idealitas Hukum Islam. Pengukuhan hukum Islam atas realitas memberikan keyakinan bahwa hukum Islam memiliki sifat keluwesan yang memungkinkan untuk diterapkan di segala tempat dan zaman, hingga akan dapat dirasakan benar-benar bahwa agama Islam diturunkan Allah menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dengan demikian, dapat diyakini hukum Islam yang bersifat universal benar-benar mengantar umat manusia mencapai kesejahteraan jasmani dan ruhani, di dunia kini dan di akhirat nanti[20].
            Demikianlah, upaya ijtihad alternatif dan upaya nasionalisasi hukum Islam yang sudah dijelaskan, bisa mengantar dan menjadi pedoman masyarakat muslim Indonesia untuk melaksanakan keberagamaan mereka di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Eklektisitas ajaran Islam yang bisa menyesuaikan dengan realitas ala Indonesia inilah yang harus terus digalakkan, sehingga Islam mampu menunjukkan fungsinya sebagai rahmatan lil ‘alamin. Akhirnya tujuan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur akan lebih berpeluang dapat dicapai. Wallahu a’lam.
   

3.  Kesimpulan
           
            Upaya ijtihad yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan modernitas dilakukan melalui tiga langkah: melakukan pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Qur`an; membedakan antara ketetapan legal, sasaran dan rujukan al-Qur`an; serta memahami dan menetapkan sasaran al-Qur`an dengan mempertimbangkan secara sepenuhnya latar belakang sosiologisnya.
            Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkannya: Pertama, adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat muslim; kedua, adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan pilihan; ketiga, memahami faktor sosio-kultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk pemikiran Hukum Islam.
            Solusi alternatif metodologis dalam pengupayaan ijtihad masa depan ialah memeriksa isi kandungan syari’ah, aspek metafisik sebagai esensi pendekatan, penekanan tegas perbedaan antara sasaran-sasaran dan tujuan al-Qur`an (ideal moral) dari ketentuan legal spesifik. Selain itu, pertimbangan konteks kekinian, bertumpu pada arti dan cakupan prinsip maslahat (kepentingan umum) serta upaya dalam memberikan konseptualisasi kontemporer terhadap prinsip tersebut. Kemudian dirumuskan kembali metodologi untuk memperoleh prinsip-prinsip hukum Islam dari al-Qur`an dan as-Sunnah, dengan dua pemikiran yuristik (dari yang partikular ke general, dan dari yang umum kepada yang khusus.
            Upaya legislasi hukum Islam di lokal Indonesia dilakukan dengan meneliti asas, prinsip, dasar norma konkrit adat, kemudian membandingkannya dengan asas, prinsip, dasar norma hukum Islam. Mungkin diketemukan sama, sehingga tidak ada pertentangan. Bila cara ini ditempuh, akan lebih besar kemungkinan unsur dari hukum Islam diangkat menjadi Hukum Nasional yang dapat diterima oleh semua pihak.


Daftar Bacaan:

Khalaf, ‘Abdul Wahab, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indonesia li ad-da’wah al-Islamiyah, 1392 H/1972 M), cet. Ke-9.

Mu’alim, Amir dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2004).

Mu’allim, Amir, Metode Ijtihad Hukum Islam di Indonesia: Upaya Mempertemukan Pesan-pesan Teks dengan Realitas Sosial, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Fiqh, Sidang Senat Terbuka UII, 17 Juni 2006.

Mubarok, Jaih,  Metodologi Ijtihad Hukum Islam,  (Yogyakarta: UII Press, 2002).

Mudzhar, Atho, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998).

Nurudin, Amiur,  Ijtihad ‘Umar bin al-Khaththab. Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987).

Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Hukum Syari’ah, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987).


[1] Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam,  (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 7-8.
[2] Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 95-101.
[3] Atho Mudzhar, Ibid, hlm. 101-102.
[4] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 117.
[5] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 119.
[6] Amiur Nurudin, Ijtihad ‘Umar bin al-Khaththab. Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hlm. 136-142.
[7] Amiur Nurudin, ibid, hlm. 142-142.
[8] H Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987), hlm. 128.
[9] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 120.

[10] Fazlurrahman dalam Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 120-121.
[11] Amiur Nurudin, ibid, hlm. 102.
[12] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 121.
[13] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 122.

[14] Fazlurrahman dalam Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 126-127.
[15] Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 132.
[16] Amir Mu’allim, Metode Ijtihad Hukum Islam di Indonesia: Upaya Mempertemukan Pesan-pesan Teks dengan Realitas Sosial, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Fiqh, Sidang Senat Terbuka UII, 17 Juni 2006, hlm. 18-23.
[17] ‘Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indonesia li ad-da’wah al-Islamiyah, 1392 H/1972 M), cet. Ke-9, hlm. 200-201.
[18] Amir Mu’allim, Ibid, hlm. 21.
[19] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 150-151.
[20] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid, hlm. 155.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.