BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Reformasi
menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi causa
prima penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan
yang berlanjut kepada krisis sosial-politik, bobroknya managemen negara yang
mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya
kepastian hukum akibat telah dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia
1945. Itu terjadi karena fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945
bukanlah bangunan yang demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam
pasal-pasal dan juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses
pemerintahan kepada penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian
bergantung pada penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk
legitimasi dan kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional
rezim orde lama (1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal
itu, sehingga siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD yang all size
itu akan berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.
Keberadaan UUD
1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami
beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya
merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial”
baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama
yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi
ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang
otoritarian menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara
yang seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang
tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi
jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas yang
berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam
setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara
mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam
situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik
dan terpenting dari proses perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan
dapat terlihat apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga
masyarakat, dan apakah telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia
kedepan. Wajah Indonesia yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai
keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan.
Dengan melihat
kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah
rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan
sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah
mencerminkan kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat
berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi
menjadi monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.
B.
Pembatasan Masalah dan Identifikasi
Masalah
1. Pembatasan
Masalah
Dalam sistem kenegaraan, masalah
perundang – undangan merupakan hal yang sangat penting bagi jalannya sistem
pemerintahan suatu negara, disebabkan berjalannya sistem pemerintahan tidak
lepas dari rujukan yang mesti dilaksanakan dalam perundang – undangan negara.
masalah kontroversi perubahan UUD 1945
yang masih menjadi perbincangan, merupakan bahan yang kami bahas dalam makalah
ini.
2. Identifikasi
masalah
Dalam prosesnya, amandemen UUD 1945
menimbulkan perdebatan, penyusun mengidentifikasi beberapa masalah pokok
sebagai berikut :
Sejarah ketatanegaraan Republik
Indonesia sejak awal terbentuknya UUD 1945 sampai saat kini.
a.
Permasalahan yang kencenderungan
terjadi perdebatan sehingga timbulnya pra-kontra terhadap perumusan amandemen
UUD 1945.
b.
Beberapa pendapat terhadap amandemen
UUD 1945.
C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
penulisan
Adapun tujuan penulisan tugas makalah
ini adalah :
a.
Menganalisa sejauh mana proses
perkembangan amandemen dan beberapa pendapat tentang amandemen UUD 1945.
b.
menjabarkan beberapan pendapat
pro-kontra terhadap amandemen UUD 1945.
2. Manfaat
Penulisan
Sedangkan manfaat yang diharapkan dapat
diperoleh adalah sebagai berikut :
a.
Meningkatkan pengetahuan tentang negara
dan konstitusi negara Republik Indonesia
b.
Lebih mengenal kembali Undang-undang
dasar negara Republik Indonesia
c.
Mengikuti proses perkembangan
perundangan Republik Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
ketatanegaraan
Saat founding
fathers menerima diberlakukannya UUD 1945 yang dicetuskan Prof Soepomo pada
sidang PPKI 18 Agustus 1945 telah menyadari, UUD 1945 hanya bersifat sementara
atau istilah Bung Karno "undang-undang dasar kilat". Mereka semua
committed jika kelak keadaan mengizinkan, bangsa Indonesia akan melaksanakan
pemilu untuk membuat UUD baru yang definit berasas kedaulatan rakyat.
Sejarah
ketatanegaraan kita yang menggunakan konstitusi UUD 1945 sebagai landasan
struktural telah menghasilkan berbagai sistem pemerintahan yang berbeda-beda,
bahkan pernah bertolak belakang secara konseptual.
Dalam periode
revolusi, hanya di masa kabinet Soekarno-Hatta yang pertama (Agustus
1945-sampai keluar Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945), berarti hanya dua bulan
kita menerapkan UUD 1945 yang "asli" yang kekuasaan sepenuhnya di
tangan Presiden. Maklumat Wakil Presiden No X mengubah secara mendasar sistem
ketatanegaraan dari Presidensial ke Parlementer, meski tetap menggunakan UUD
1945 sebagai konstitusi.
Pada 1949
bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945 dengan Konstitusi RIS dan tahun 1950
lagi-lagi diganti dengan UUD Sementara 1950, tetapi tetap menganut paham
demokrasi konstitusional meski dengan sistem berlainan. Baru tahun 1955 pertama
kali diselenggarakan pemilu dan dibentuk Majelis Konstituante untuk membuat UUD
baru yang definitif.
Sebelum
tugasnya selesai, Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno 5
Juli 1959. Bukan disebabkan Konstituante tak berhasil atau mengalami deadlock
dalam menyusun UUD baru sebagaimana diajarkan dalam semua buku pelajaran
sejarah versi pemerintah, tetapi karena ada kepentingan politik dari kalangan
militer dan pendukung Soekarno.
Dengan
diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, timbul kembali
pemerintahan otoriter di bawah panji Demokrasi Terpimpin Soekarno dilanjutkan
rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi Pancasila.
Dalam masa
pemerintahan transisi, baik di zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati
sebelum Pemilu 2004, kita menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945 mengatur
penyelenggaraan kekuasaan negara karena sifatnya yang multi-interpretasi.
Pemegang kekuasaan negara bisa melakukan berbagai distorsi dan devisiasi
nilai-nilai demokrasi dan sistem pemerintahan.
kondisi dewasa
ini dikhawatirkan kita menghadapi bahaya pengulangan sejarah, adanya sisa-sisa
kalangan militer dan pendukung Soekarno yang menghendaki kembalinya
"Demokrasi Terpimpin". Dulu mereka berhasil menjegal Majelis
Konstituante dengan memakai "pedang" Dekrit 5 Juli 1959. Atau
pendukung Soeharto yang menghendaki kembalinya "Demokrasi Pancasila"
yang dengan landasan UUD 1945 yang "murni dan konsekuen" berhasil
berkuasa selama 32 tahun.
Tuntutan untuk
kembali ke UUD 1945 jelas diwarnai nostalgia atau sindrom pada kekuasaan
otoriter dan totaliter yang pernah dinikmati di masa lampau dan merasa
"kehilangan" atau tak bisa eksis lagi untuk membangun kekuatan
politik dalam konteks UUD 1945 hasil amandemen.
B.
Pandangan Terhadap Amandemen UUD 1945
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan/lembaga politik yang diposisikan
“tertinggi” karena dianggap representasi dari kedaulatan rakyat adalah badan
yang dianggap memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD. Hal ini didasari
pula pada ketetentuan pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “untuk melakukan
perubahan UUD ditentukan dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang hadir”. Ditambah ketentuan
lain yang terdapat dalam pasal 3 UUD 1945 bahwa tugas dari MPR adalah
menetapkan UUD, disamping memilih dan menetapkan Presiden dan Wapres serta
membuat GBHN.
Sepanjang reformasi
dalam sidang-sidangnya, MPR telah mengubah UUD 1945 sebanyak empat kali. Pada
perubahan yang pertama, MPR mengubah 9 pasal UUD 1945 yang berkenaan dengan
soal kewenangan eksekutif-legislatif serta pembatasan masa jabatan eksekutif
(presiden). Sedangkan pada perubahan yang kedua, MPR tidak hanya mengubah tapi
juga menambah muatan materi yang terkandung didalamnya. Perubahan dan
penambahan itu menyangkut soal wilayah negara, warga negara dan penduduk, hak
asasi manusia, kewenangan DPR, Pemerintahan Daerah (otonomi daerah), Pertahanan
dan Keamanan Negara, Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu kebangsaan.
Diakui bahwa
dalam perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama dengan dimuatnya
soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme yang
mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam konstitusi.
Selain itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi eksekutif
(presiden), telah mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif heavy.
Dan sebagai perimbangannya diberikan kewenangan-kewenangan kepada DPR, sebagai
upaya untuk memberdayakan legislatif terutama dalam fungsinya melakukan kontrol
terhadap eksekutif. Perubahan ini berangkat dari pengalaman pemerintahan yang
terjadi selama ini dengan sangat kuatnya eksekutif (presiden) dan lemahnya DPR,
sehingga “tidak ada” kontrol sama sekali dari DPR terhadap kinerja
pemerintahan. Pengalaman dengan pemerintahan yang didominasi eksekutif dan
tiadanya kontrol terhadapnya telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan itu
menimbulkan akibat-akibat seperti yang dialami saat ini.
Dengan
penambahan kewenangan kepada DPR, terutama dalam soal fungsi legislasi dan
pengawasannya dapat dikatakan telah terjadi pergeseran bandul politik ke arah
legislatif. Namun pergeseran itu sendiri, masih belum menampakkan secara jelas
sistem pemerintahan yang akan diterapkan. Mengingat hanya ada dua model
pemerintahan yang dianut negara-negara demokrasi lainnya, antara sistem
pemerintahan presidensiil atau parlementer. Indonesia dikategorikan menganut
sistem percampuran (quasi) antara keduanya berdasarkan distribusi
kekuasaan bukan atas dasar pemisahan kekuasaan. Sistem dengan pencampuran
semacam nampaknya akan masih menyisakan persoalan-persoalan, jika dikaitkan
dengan kejelasan masing-masing hak dan kewenangan lembaga-lembaga negara serta
relasi (check and balances). Perubahan dan penambahan kewenangan kepada
DPR itu nampaknya hanya memindah masalah baru dan memperpanjang krisis politik,
karena tidak berangkat dari kerangka dasar disertai pemahaman yang jelas.
Kesemuanya masih menggantung, apalagi perubahan itu juga tidak dilakukan secara
bersamaan, masih menyisakan soal yudikatif (kekuasaan kehakiman yang mandiri)
yang belum diubah yang selama ini juga tidak lepas dari dominasi eksekutif.
Satu hal
mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya sebagai
lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis,
karena perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan lembaga
legeslatif. MPR yang dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi rakyat
dan dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan lainnya menjadi super body yang
tidak dapat dikontrol. Meskipun telah ada pemikiran dan kehendak dari
masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi dan peran MPR terkait dengan
keinginan pemilihan presiden secara langsung menjadi sistem bikameral atau
meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 itu belum
menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.
Disamping
mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah memutuskan untuk
tidak mengubah Pembukaan, Sistem Pemerintahan Presidensiil dan Konsep Negara
Kesatuan. Keputusan untuk tidak mengubah ketiga hal tersebut secara politis
memang terkesan telah menjadi kehendak mayoritas bangsa. Namun keputusan itu
tidakberangkat dari kenyataan yang ada dan disertai pemahaman dan penerimaan
publik yang rasional. MPR terlalu tergesa-gesa menutup ruang publik yang hendak
mempertanyakan kembali esensi dari ketiganya dan publik dipaksa untuk menerima
sesuatu yang diluar kehendak dan pada kenyataannya adalah berbeda. Ruang publik
itu telah dipenjara secara politis oleh MPR.
Dalam soal
negara kesatuan misalnya, masyarakat telah menggugat konsep negara kesatuan dan
ingin menggantikannya dengan negara federal untuk menghindar dari sentralisasi
dan eksploitasi yang selama ini terjadi dalam negara kesatuan. Sedangkan
penetapan sistem pemerintahan presidensiil, pada kenyataannya masih ada
unsur-unsur pemerintahan parlementarian yang dianut dan diterapkan. Bahkan
kalau mau jujur saat ini model pemerintahan yang diterapkan sudah condong jauh
kearah parlementarian.
Terhadap soal
pembukaan, MPR tidak memberikan alasan yang tepat dan cukup rasional diterima
publik. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan pada penghargaan terhadap para
pendiri bangsa yang telah merumuskan itu, kekhawatiran bubarnya negara kalau
itu diubah dan adanya deologi negara pancasila dalam pembukaan. Sesungguhnya
kekhawatiran bubarnya negara jika pembukaan diubah tidaklah beralasan, karena
secara historis para founding fathers yang merumuskan pembukaan itu juga telah
mengubahnya dalam pembukaan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dan perubahan
pembukaan itu ternyataa tidak menyebabkan bubarnya negara. Dengan “ditutupnya”
ruang publik untuk dapat menerima ketiga hal tersebut secara obyektif dan
rasional, dikhawatirkan akan tetap menimbulkan persoalan dikemudian hari.
Ibaratnya seperti bom waktu yang setiap saat bisa meledak, tuntutan dan gugatan
terhadap pembukaan, sistem presidensiil dan negara kesatuan bisa muncul
sewaktu-waktu.
Dengan demikian
secara umum dapat dikatakan bahwa hasil perubahan UUD 1945 tidak menunjukkan
perubahan yang mendasar bagi bangunan negara Indonesia yang demokratis kedepan.
Mengingat peran konstitusi sebagai sumber dari segala sumber hukum dan sebagai
kerangka kerja demokrasi yang mengatur dan menentukan posisi serta hubungan
lembaga presiden, legeslatif dan yudikatif, juga pemerintahan yang bersifat
desentralistik, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 belum memberikan jaminan
soal itu. Lebih dari itu, hasil perubahan UUD 1945 belum menjadikan identitas
nasional baru yang sesuai dengan kebutuhan, aspirasi dan semangat yang
berkembang saat ini.
C. Catatan-
CatatanTerhadap Hasil Perubahan
Catatan-catatan
ini ditujukan untuk dapat melihat secara komprehensif dan menelaah lebih jauh
beberapa kekurangan-kelemahan dari hasil amandement UUD 1945. Guna memudahkan
pemahaman, catatan dibawah ini dibuat sistematikanya berdasarkan tema/issue
(bab perubahan) yang dilakukan, yakni sebagai berikut;
1. Hak Asasi
Manusia (HAM)
Dimuatnya
materi soal hak asasi manusia dalam perubahan UUD 1945, merupakan satu langkah
maju, karena sebelumnya dalam UUD 1945 dapat dikatakan “tidak ada” sama sekali
materi atau bab tersendiri soal HAM. Dirumuskannya materi HAM dalam bab
tersendiri diharapkan akan memberikan perlindungan dan jaminan bagi pelaksanaan
HAM di Indonesia. Rumusan HAM ini dibuat di Sidang Tahunan MPR 2000 dalam Bab
XA Pasal 28 Perubahan Ke-II UUD 1945 yang perumusannya terdiri dari 10 pasal (A
– J). Beberapa persoalan-kelemahan yang terdapat dalam rumusan HAM ini adalah:
a. Rumusan-rumusan
HAM ini, bila dijabarkan keseluruhan, secara substansial rumusan-rumusan yang
dihasilkan tidak mengelaborasi secara rinci seluruh hak asasi manusia, sehingga
terkesan bahwa Anggota MPR tidak dilandasi pemahaman yang mendalam tentang
esensi HAM yang harus diatur dalam UUD. Hal ini terlihat pula dalam contoh hak
yang diberikan untuk warga negara dalam pasal 28 D (3) “Setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan “ hanya diatur
dalam satu pasal. Padahal masih banyak lagi sesungguhnya hak-hak yang
hakikatnya diberikan kepada warga negara sebagai konsekuensi kalau UUD adalah
hukum dasar yang substansinya antara lain mengenai bagaimana hubungan antara
negara dan warga negara. Apabila ditinjau dari tujuan negara sebagaimana diatur
dalam Pembukaan UUD maka ada hak-hak yang secara khusus hanya dimiliki dan
diberikan oleh negara hanya untuk warganegara. Oleh karena itu, ketentuan hak
asasi warga negara ini harus diatur serta dalam mengelaborasi ketentuan
mengenai hak asasi manusia perlu kiranya dibedakan antara hak yang diberikan
kepada setiap orang dengan hak yang diberikan kepada warga negara.
b. Penyusunan
pasal-pasal HAM itu juga kurang sistematis dan tidak didasari pada
pembidangan HAM dalam hak politik, hak sipil, hak ekonomi, hak
sosial-budaya. Hal ini dapat dilihat, misalnya dipisahkannya hak bekerja dengan
hak memilih pekerjaan, begitu pula hak pendidikan dipisahkan dengan hak memilih
pendidikan dan pengajaran. Malah perumusannya disatukan atau dicampurbaur
antara satu soal dengan soal lain. Bahkan dalam beberapa soal perumusannya
disebut disebut dua kali yakni. Misalnya soal penyiksaan dalam pasal 28 G (2)
dan 28 I (1), demikian pula soal hak beragama (pasal 28E ayat 1 dan pasal 28I
ayat 1) dan hak hidup (pasal 28A dan pasal 28I ayat (1).
c. Rumusan –
rumusan HAM itu juga tidak sesuai dengan Deklarasi Umum HAM atau International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), masih rancu, menimbulkan
ketidakjelasan dan persoalan/kontroversi baru, hal ini dapat dilihat dari
rumusan-rumusan Rumusan pasal 28D (2) yang berbunyi “setiap orang berhak
untuk bekerja…” rumusan semacam itu ada pemikiran berusaha untuk
menghilangkan/ menyembunyikan tanggungjawab negara. Berbeda esensinya dengan
rumusan yang berbunyi “setiap orang berhak atas pekerjaan…”, seperti
yang tertuang dalam pasal 23 ayat 1 DUHAM.Demikian pula dalam rumusan pasal
lainnya seperti berhak untuk mendapat pendidikan (pasal 28 C ayat 1) berhak
untuk memperoleh informasi (pasal 28 F). Seharusnya adalah kewajiban negara
untuk melindungi apa-apa yang telah diakui sebagai hak asasi seseorang bukan
malah menyembunyikannya.
d. Pasal 28I (3)
yang berbunyi “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Rumusan ini mengundang
pertanyaan apa yang dimaksud dengan “dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban itu”? Penggunaan kata ‘tradisional’ lebih mengarah kepada
pengertian yang sempit, yang hanya berkaitan dengan identitas budaya tidak
menerjemahkan secara lebih luas mencakup hak ekonomi, sosial, budaya dan
politik.
e. Dalam perumusan
pasal 28 I (1) dimasukkan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut (prinsip non retroaktif) yang lengkapnya berbunyi “hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun”. Adanya penegasan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut karena belum ada aturan ketentuan sebelumnya atau dikenal dengan
asas nonretroaktif telah mengadposi secara mentah Konvensi Hak Sipil dan
Politik tanpa mengetahui prinsip dasarnya. Prinsip itu memang merupakan prinsip
hukum pidana modern yang oleh sistem hukum internasional ditempatkan sebagai
hak yang bersifat sekunder ketika berhadapan dengan asas keadilan dan adanya
kejahatan HAM berat, sebagaimana dimaksud Konvensi Geneva 1949.
Rumusan itu telah memutlakkan prinsip non retroaktif dan
tidak membuka peluang bagi digunakannya prinsip-prinsip hukum
internasionalseperti yang tertuang dalampasal 11(2) DUHAM dan pasal 15 (1-2)
ICCPR (Konvensi Hak Sipil dan Politik). Berarti, rumusan itu tidak menyerap
seluruh aspirasi dalam DUHAM dan ICCPR yang mengakui adanya kewenangan untuk
mengadili para pelanggaran HAM masa lalu, yang dianggap sebagai kejahatan
menurut hukum nasional maupun internasional. Meskipun ada klausul lain dalam
pasal 28 J (2) yang menyatakan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang, hal ini bisa berdampak serius mengingat bahwa penempatan
pasal ini ada dalam konstitusi yang merupakan hukum tertinggi yang tidak
mungkin dikalahkan peraturan perundangan dibawahnya. Oleh karena itu keberadaan
pasal itu bukan untuk melindungi para pelanggar HAM melainkan untuk tempat
persembunyian para pelaku pelanggaran HAM.
Perumusan pasal ini juga dipandang
sangat lemah, dan menjadi dilematis apabila diterapkan. Artinya, dengan
memasukkan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun (non derogable) kedalam UUD, jika dikaitkan dengan ketentuan
hak fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana pula dicantumkan dalam UUD
akan berakibat pada masalah pelanggaran hak asasi manusia. Sementara di pihak
lain, keterbatasan dana pemerintah yang selalu menjadi alasan untuk memelihara
fakir miskin dan anak-anak terlantar dapat diterima masyarakat. Maka dari itu
perlu dipertimbangkan secara serius apakah asas non derogable tetap akan
dipertahankan dalam UUD atau dihilangkan, apalagi bila mengingat bahwa PBB
sendiri hanya meletakkan non derogable rights dalam kovenan, yang statusnya
sama dengan undang-undang. Karena sepertinya kita mengikat tangan sendiri,
suatu hal yang kurang disadari oleh para anggota MPR
2.
System Pemerintahan
Yang akan dicermati soal sistem
pemerintahan ini adalah rumusan
perubahan yang berkenaan dengan
pemberian kewenangan/kekuasaan kepada Legeslatif (DPR) dan pengurangan
kewenangan presiden serta pembatasan masa jabatannya.
a.
Terhadap pemberian kewenangan/kekuasaan
kepada DPR dapat terlihat dalam rumusan-rumusan perubahan pertama UUD 1945.
Yakni dalam soal presiden mengangkat duta/konsul dan penerimaan/penempatan duta
negara lain (pasal 13), presiden memberi amnesti dan abolisi (pasal 14 ayat 2),
presiden membentuk departemen (pasal 17 ayat 4), harus dilakukan dengan
memperhatikan pertimbangan DPR. Sedangkan dalam perubahan yang kedua kekuasaan
DPR ini ditambah dengan memiliki hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan
pendapat untuk menjalankan fungsinya (pasal 20A ayat 2).
Perubahan-perubahan
tersebut menunjukkan adanya upaya pemberdayaan dan meningkatkan peran DPR, yang
secara tidak langsung pula menandakan pembatasan kewenangan presiden yang
besar, termasuk dalam hal ini ketika presiden memberikan grasi dan rehabilitasi
harus dengan pertimbangan MA (pasal 14 ayat 1) dan dalam memberikan gelar serta
tanda jasa yang harus diatur dengan undang-undang (pasal 15).
Perubahan-perubahan itu menjadikan lembaga DPR “setara” dengan presiden sebagai
balance sekaligus kontrol terhadap peranan presiden.
Namun
konsekwensinya yang terjadi kemudian adalah terhambatnya proses-proses
pemulihan yang harus dilakukan oleh presiden karena kesemuanya harus melalui
mekanisme atau prosedur DPR. Sebagai contoh, hal ini dapat dilihat dari
tertundanya pembebasan Sdr. Budiman Sujatmiko karena harus menunggu proses dari
DPR dan pembubaran Departemen Sosial dan Penerangan yang menimbulkan konflik
antara Presiden dan DPR. Hal ini menjadi dilematis, satu sisi pemberian
kekuasaan itu membuat DPR menjadi “kuat” dan disisi lain membuat presiden
menjadi “lemah” tidak berdaya. Kontruksi semacam ini nampaknya juga tidak
menguntungkan juga bagi jalannya demokrasi.
Perubahan
dengan semangat “parlementarian” itu, telah menempatkan DPR pada posisi yang
kurang proporsional karena tidak berangkat dari kebutuhan yang paling urgen
yang sekarang dibutuhkan. Sama seperti halnya perubahan pada pasal 7 yang telah
membatasi masa jabatan presiden dan wapres hanya untuk dua periode. Artinya,
meskipun masa jabatan dan kekuasaan presiden tidak dibatasi seperti yang
tertuang diatas, diyakini dalam masa transisi tidak akan terjadi lagi
penyalahgunaan kekuasaan lagi oleh presiden. Kebebasan berekspresi,
berorganisasi dan pers yang telah dijamin dapat menjadi kontrol yang efektif
kepada kekuasaan presiden.
b.
Perubahan lainnya yang terjadi adalah
dalam soal pengajuan dan pengesahan undang-undang. Berdasarkan perubahan
pertama pasal 5 UUD 1945, presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada DPR, sedangkan dalam perubahan pasal 20 (1) DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang. Kekuasaan ini tidak hanya DPR secara institusional
namun juga secara personal anggota DPR mempunyai hak mengajukan usul rancangan
undang-undang (pasal 21). Perubahan ini menempatkan DPR pada posisi sebagai
pemegang kekuasaan pembuat undang-undang yang sebelumnya dipegang oleh
presiden.
Namun ada ketentuan lainnya yg mengatur bahwa dalam
pembahasan rancangan undang-undang dibahas oleh DPR bersama presiden untuk
mendapat persetujuan bersama. (pasal 20 ayat 2). Dan dalam pasal 20 (5)
disebutkan “Dalam hal rancangan UU yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU
tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan”. Dua ketentuan ini membikin
rancu dan mengundang kontroversi karena menempatkan secara bersama kewenangan
presiden dan DPR dapat mengesahkan undang-undang, disatu sisi. Disisi lainnya
dari ketentuan ini menimbulkan adanya abuse of power terhadap kewenangan
DPR untuk mengusulkan rancangan undang-undang sekaligus untuk memaksa Presiden
agar mensahkan RUU yang diajukan DPR tersebut. Karena dari usulan rancangan UU
yang diajukan DPR kepada Presiden itu, pada akhirnya Presiden tidak mempunyai
hak apakah akan menyetujui ataukah menolak RUU yang diusulkan DPR itu. Selain
itu ketentuan ini juga menimbulkan kendala lain apakah memang ketentuan ini
berlaku surut terhadap RUU yang belum disahkan Presiden sebelum adanya
amandemen kedua UUD. Misalnya dalam kasus RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya
(RUU PKB) dan RUU Serikat Pekerja, yang hingga kini menggantung tidak jelas
nasib penentuannya.
Rupanya pula pengertian pemegang
kekuasaan membentuk undang-undang ini tidak dicermati secara benar, karena
dalam amandemen pasal 20 (4) menyatakan bahwa Presiden mengesahkan Rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden untuk menjadi
undang-undang. Dalam kekuasaan membuat undang-undang, ada 3 hal pokok yang
terkandung, yaitu persetujuan yang dilakukan oleh DPR dan Presiden, pernyataan mengesahkan
RUU untuk menjadi UU, dan kewenangan mengundang UU. Dalam hal ini, perihal
pernyataan mengesahkan RUU oleh Presiden menimbulkan pertanyaan, dan itu
termasuk bagian dari kekuasaan proses penerapan kekuasaan membentuk
undang-undang. Seharusnya, jika mau konsisten prosedur itu menjadi kewenangan
DPR sesuai dengan bunyi pasal 20 (1) Amandemen UUD 1945. Dengan kata lain DPR
lah yang harus mengesahkan RUU menjadi UU berdasarkan asas kedaulatan rakyat.
c.
Perubahan-perubahan dalam konteks
sistem pemerintahan itu nampaknya cenderung memberi penguatan – terutama fungsi
kontrolnya -- kepada DPR dengan melakukan pemangkasan terhadap peran dan
kewenanangan presiden. Perubahan itu ditambah lagi dengan adanya Ketetapan MPR
No. VII/MPR/2000 yang mengaharuskan adanya persetujuan DPR jika Presiden
mengangkat Panglima TNI dan Kapolri, yang sebelumnya merupakan hak prerogatif
presiden sebagaimana diatur dalam pasal 10 UUD 1945. Rumusan –rumusan ini dapat
dikatakan masih menggunakan sebagian sistem presidensiil dan sebagian sistem
parlementer, yang amat rentan menimbulkan konflik antara Presiden dan DPR.
d.
Terhadap perubahan yang menyatakan
bahwa “presiden ialah warga negara Indonesia asli” (pasal 6) apa yang menjadi
ukuran “asli” itu tidaklah jelas. Rumusan ini dapat menimbulkan penafsiran
diskriminatif terhadap hak warga negara untuk menduduki jabatan di pemerintahan
(presiden).
e.
Terhadap penambahan pasal 9 yang
menyatakan “jika MPR/DPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan
Wapres bersumpah /berjanji dihadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh
pimpinan MA”. Rumusan ini nampaknya mengadopsi dari Ketetapan MPR
No.VII/MPR/1973 yang dipakai sebagai landasan yuridis pengunduran diri Soeharto
sebagai presiden. Rumusan semacam ini dapat menimbulkan penafsiran yang
beragam, terutama bagi faktor kepentingan politis baik yang dilakukan untuk
kepentingan presiden sendiri maupun fraksi-fraksi politik di MPR. Dikarenakan
masih belum jelasnya apa yang dimaksud dengan tidak dapat mengadakan sidang,
apa syarat-syaratnya atau dalam kondisi yang bagaimana MPR/DPR itu dikatakan
tidak dapat mengadakan sidang.
3.
Pemerintahan Daerah
a.
Secara umum perumusan yang terkandung
dalam pasal 18 ini tidak mensistematisir apa yang sesungguhnya harus diatur
dalam UUD perihal otonomi daerah. Hampir semua obyek yang merupakan proporsi
undang-undang diatur dalam pasal ini. Seperti soal, pembagian wilayah (ps 18
ayat 1), pemilihan kepala daerah dan DPRD (ps 18 ayat 3&4), sampai soal
pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (ps. 18B ayat 2). Kalaupun itu mau
diatur dalam UUD, persoalan kemudian adalah bias apa yang hendak ditekankan
karena harus diatur (atribusi) lagi dalam undang-undang, dan apa yang
hendak dikonsepsikan dalam konstitusi ini perihal pemerintahan daerah (otonomi
daerah). Hal ini berkenaan dengan adanya beragam format pengaturan
perundang-undangan tentang pemerintahan daerah/otonomi daerah, yakni di
Amandemen Kedua UUD 1945, TAP MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan
Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
b.
Penggunaan kata “dibagi” dalam
perumusan “Negara kesatuan RI dibagi atas daerah provinsi-provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota….” dapat menimbulkan kontradiksi.
Karena pengertian “dibagi” ini tergantung dari interprestasi pemerintah pusat
yang tidak didasari realitas dan aspirasi masing-masing daerah. Dan seharusnya
digunakan kata terdiri yang lebih menunjukan prinsip independensi dan
egalitarian dalam mewujudkan otonomi daerah. Dalam kasus lain, meskipun prinsip
pemerintahan daerah dengan otonomi daerah itu merupakan hakikat dalam konteks
negara kesatuan, namun disisi lain pada kenyataan adanya tuntutan untuk
membebaskan daerah (merdeka) seperti Aceh dan Papua, serta kehendak untuk
merubah bentuk negara kesatuan menjadi federalisme tidak bisa dinafikkan begitu
saja. Sehingga penempatan konsep pemerintahan daerah ini dalam konstitusi masih
manjadi kendala, karena bisa jadi itu bukan merupakan rumusan yang final
berdasarkan kehendak politis seluruh rakyat Indonesia.
c.
Konsepsi otonomi daerah dalam rumusan
pasal 18 (5) yang berbunyi “ Pemerintah Daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya,…” berbeda maknanya dengan apa yang sebelumnya dirumuskan dalam
UU No. 22 tahun 1999 yakni Otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
Dampak dari perbedaan ini disamping menimbulkan kotradiksi hukum, juga akan
menimbulkan interpretasi yang beragam dalam pelaksanaannya.
4.
Wilayah Negara
a.
Masalah wilayah negara dirumuskan dalam
Bab IX A pasal 25 E yang menyatakan bahwa “Negara Kesatuan RI adalah sebuah
negara kesatuan yang berciri Nusantara dengan wilayah dan hak-haknya ditetapkan
dengan UU”. Disini ada ketidakjelasan apa yang dimaksud dengan “yang berciri
Nusantara” itu? apa yang kemudian menjadi tolak ukurnya? Bagaimana
penentuannya yang meskipun akan diatur kembali lewat UU, namun tetap seharusnya
dari penentuan wilayah ini, dengan mengacu hukum internasional, untuk mencegah
terulangnya kembali “ekspansi” dalam kasus Timur-Timor.
5.
Warga Negara dan Penduduk
Dalam pasal 27 (3) bab tentang warga
negara disebutkan bahwa, setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara. Seharusnya hal mengenai pembelaan negara ini cukup
menjadi hak dan bukan menjadi kewajiban warga negara. Dengan kewajiban itu
akan memudahkan siapapun yang mempunyai kewenangan (dalam hal ini alat negara
yang bernama TNI) untuk melakukan mobilisasi secara paksa terhadap warga
negara. Upaya ini amat rentan terhadap kemungkinan terjadinya konflik horizontal
yang dapat menimbulkan kerusuhan-kekerasan dalam skala yang luas.
6.
Pertahanan dan Keamanan
Dalam pasal 35
ayat 1 amandemen II UUD 1945 disebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak
dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan negara.” Dalam hal usaha
pertahanan negara ini seharusnya bukan menjadi kewajiban tetapi menjadi hak dan
kehormatan bagi warga negara. Bila hal ini menjadi suatu kewajiban bagi
warga negara, maka terlihat adanya paksaan dari negara kepada warga negaranya
untuk ikut serta dalam usaha pertahanan negara.
Ketentuan pasal
35 amandemen II UUD 1945 (tentang Pertahanan dan Keamanan Negara) ini
memperbaharui ketentuan dari pasal 30 UUD 1945 (tentang Pertahanan Negara).
Dalam ketentuan pasal 35 Amandemen UUD 1945 ini dipisahkan antara kekuatan
pertahanan dan keamanan negara yang semula berada dalam satu sistem (Sistem
HANKAMARATA), dimana sistem Pertahanan dipegang oleh kekuatan TNI dan sistem
keamanan yang dipegang oleh POLRI. Dari pemisahan kedua sistem ini, yang perlu
dicermati kemudian adalah siapa yang berwenang untuk menengahi apabila suatu
saat terjadi persinggungan antara kekuatan pertahanan dan keamanan. Dengan
adanya ketentuan pasal 35 ini berarti pula harus pula diperhatikan ketentuan
peraturan-peraturan dibawah UUD yang berkaitan dengan TNI dan POLRI, (misalnya
RUU Kepolisian) agar antara peraturan satu dengan lainnya tidak saling
bertentangan.
Dari UUD 1945,
masih ada ketentuan pasal yang menimbulkan kendala. Misalnya dari ketentuan
pasal 7 UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi
atas AD, AL, dan AU. Dengan demikian kewenangan untuk mengangkat Panglima AD,
AL, dan AU pun berada di tangan Presiden. Sehingga kedudukan Panglima TNI
sejajar atau bahkan diatas kedudukan menteri, bila mengingat pula Ketetapan MPR
No. VII/MPR/2000 bahwa untuk penentuan Panglima TNI/Kapolri harus melalui
persetujuan DPR.. kebijakan itu amat bertentangan dengan kehendak tuntutan
dicabutnya dwifungsi TNI dan penempatan kontrol militer dibawah sipil.
Nampaknya masih ada upaya konsolidasi militer dan menarik-narik kembali militer
kekancah politik. Jadi hanya tinggal dua negara didunia ini yang Panglima TNI
berada tidak di bawah Menhankam, yaitu Indonesia dan Myanmar.
D.
Pandangan Penolakan Terhadap Amandemen
UUD 1945
Adanya pro dan
kontra amandemen UUD 1945 dilihat dari perspektif konstitusionalisme adalah
karena belum jelasnya konsep kenegaraan (staatsidee) yang kita anut, apakah
paham kenegaraan integralistik atau demokrasi konstitusional.
Secara umum
perumusan amandemen UUD 1945 ada beberapa kelemahan mendasar, yaitu :
Pertama,
terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain
ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui
serangkaian amandemen itu.
Kedua,
menyangkut masalah teknik yuridis, yakni lemahnya kemampuan legal drafting
dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika
yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil
amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir.
Namun, adanya kelemahan tersebut tidak berarti kita harus kembali kepada UUD
1945.
Adapun beberapa alasan penolakan atas amandemen UUD 1945
yang telah dilakukan sebagai berikut :
a.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai
belum transformatif. Konstitusi ini masih bersifat parsial, lebih terfokus pada
aspek restriktif negara dan aspek protektif individu dalam hak asasi manusia
aspek restriktif ini merupakan koreksi langsung terhadap, misalnya, tiadanya
pembatasan masa jabatan presiden di masa Presiden Soeharto. Demikian pula
peningkatan otonomi daerah yang membatasi kekuasaan pusat. Selain sifatnya
restriktif, amandemen UUD 1945 juga memiliki aspek integratif yang tercermin
dari pembentukan DPD, yang diharapkan dapat membantu penyampaian aspirasi
daerah. Amandemen UUD 1945 memiliki pula aspek protektif dengan dicantumkannya
10 pasal (28A sampai 28J) tentang HAM, proteksi bahasa daerah, dan masyarakat
adat.
b.
dibuat Majelis Permusyawaratan Rakyat,
bukan oleh komisi independen.
c.
Amandemen UUD 1945 ini juga tak
memiliki content draft yang utuh, penjelasan mengenai pasal-pasal yang
diamandemen pun minim. Selain itu, partisipasi publik rendah. Publik tidak
diberi peluang menilai perubahan yang dilakukan.
d.
amandemen yang telah dilakukan masih
meninggalkan tiga hal yang penting dilihat dari segi kedaulatan :
·
tiadanya kemampuan rakyat pemilih
menarik kedaulatan mereka
·
tidak dicantumkan supremasi otoritas
sipil terhadap militer
·
tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh
dan Papua maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat
mengurangi arti kekhususan otonomi.
tampak amandemen belum bersifat
membatasi (restriktif) kekuasaan legislatif terhadap pemilih, militer terhadap
sipil, dan pemerintah pusat terhadap daerah otonomi khusus.
a.
Hilangnya Kemampuan rakyat sebagai
pemegang kedaulatan. "Salah satu contoh terjadinya perombakan itu pada
pasal 1 ayat 2 UUD 45 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sekarang dirombak menjadi kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, perombakan itu membawa implikasi
perubahan hukum yaitu hilangnya eksistensi konstitusional MPR dan tidak lagi
penyelenggara negara yang tertinggi. Hal ini akan menimbulkan kontroversi.
b.
kurangnya kemampuan rakyat sebagai
pemegang kedaulatan melakukan koreksi atas pihak yang dititipi kedaulatan,
yakni DPR.Rakyat pemilih tidak dapat melakukan impeachment pada wakil rakyat
yang tidak menjalankan aspirasi mereka. Sebaliknya, pola pemecatan pejabat
eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga legislatif
BAB III
KESIMPULAN
Melihat dengan adanya pembahasan yang telah
diuraikan dalam bab sebelumnya. Maka penyusun dapat memberikan kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Permasalahan pokok yang
mengakibatkan terjadinya perdebatan adalah perumusan amandemen UUD 1945 yang
multitafsir., yakni lemahnya kemampuan legal drafting dalam merumuskan dan
menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika yang rancu maupun
bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang
tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir
- Perbedaan perdapat yang terjadi pula terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu.
- keempat amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting dilihat dari segi kedaulatan. Pertama, tiadanya kemampuan rakyat pemilih menarik kedaulatan mereka. Kedua, tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil terhadap militer. Ketiga, tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan otonomi.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.