Menyoroti Peruntukan Dana Dekonsentrasi
Mencermati
pemberitaan di media massa pertengahan Oktober silam, terkait peruntukan dana
dekonsentrasi yang menurut anggota DPRD Sultra, Abd. Hasid Pedansa tidak
efektif dan tidak menyentuh substansi permasalahan menarik untuk dikaji.
Anggaran sebesar Rp. 600 M di tahun anggaran 2009 yang melekat pada Dinas
Pendidikan Sultra, seharusnya mampu menjawab permasalahan pendidikan di Sultra
minimal mengatasi 22 ribu anak putus sekolah yang menurut Kadis Diknas Sultra membutuhkan
biaya sebesar Rp. 150 M (Kendari Pos, 19 Oktober 2009).
Patut
kiranya masyarakat mengetahui, mengapa dana yang katanya dana dekonsentrasi
yang jumlahnya cukup fantastis untuk membiayai program kegiatan, tidak mampu
menyelesaikan substansi permasalahan yang hampir merata disetiap daerah.
Desentralisasi Fiskal
Kebijakan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun
2001 adalah dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Seiring dengan perubahan dinamika sosial politik, pemerintah telah melakukan
revisi beberapa materi dalam paket undang-undang otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal dengan ditetapkannya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah.
Instrumen
utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan transfer dana ke
daerah, yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Adapun Dana
Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan
Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari sumber-sumber
pendapatan APBD.
Selain
itu, pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan
yang menjadi kewenangan pemerintah di daerah, yaitu dana dekonsentrasi, dana
tugas pembantuan, dan dana untuk melaksanakan program dan kegiatan instansi
vertikal di daerah. Walaupun dana-dana tersebut tidak masuk dalam APBD, namun
secara nyata dana tersebut dibelanjakan di daerah, baik dalam bentuk belanja
fisik maupun nonfisik, dengan jumlah yang tak kalah besarnya.
Pasal
4 UU No. 33/2004 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka
pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dari pemerintah kepada
pemerintah daerah didanai APBN. Namun, dekonsentrasi yang dimaksudkan dalam
ketentuan tersebut, adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil
pemerintah di daerah.
Sedangkan
tugas pembantuan yang dimaksudkan adalah urusan pemerintahan yang ada di daerah
yang menjadi kewenangan (kewajiban dan tanggung jawab) pemerintah dalam
penanganannya yang ditugaspembantuankan kepada pemerintah daerah atau
pemerintah desa. Dan urusan pemerintahan dimaksud seperti halnya peningkatan
dan pemeliharaan jalan negara yang ada di daerah atau urusan yang melekat pada
UPT Departemen (ADPEL, BANDARA, KANPEL, Balai POM, PTN dsbnya).
Pembentukan
UU No. 33/2004, secara sosiologis filosofis selain dimaksudkan untuk mengurangi
ketimpangan dan kesenjangan sumber pendanaan antara pemerintah dengan
pemerintah daerah, juga untuk mendukung sumber pendanaan atas penyerahan urusan
pemerintah kepada daerah sebagaimana diamanatkan Pasal 12 UU No. 32/2004, yakni
bahwa penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah disertai dengan penyerahan
sumber pendanaan, sarana dan prasarana, serta personil sesuai dengan urusan
pemerintahan yang didesentralisasikan.
Dengan
demikian, sumber pendanaan yang melekat pada setiap urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah/APBD, sesuai dengan
prinsip money follow function - pendanaan mengikuti fungsi - , yang
menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkatan pemerintahan,
sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 4, Pasal 6 dan Pasal 10 UU No. 33/2004.
Peruntukan Dana Dekonsentrasi
Peruntukan
dana dekonsentrasi menurut PP No. 7/2008 adalah untuk kegiatan yang bersifat
non-fisik seperti koordinasi perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian. Dalam kegiatan non-fisik tersebut termasuk juga
kegiatan masukan (input) berupa pengadaan barang/jasa sebagai penunjang
kegiatan non-fisik.
Namun
disayangkan, Pemerintah masih memperagakan kebijakan pengalokasian anggaran
yang mengabaikan ketentuan yang diamanatkan undang-undang otonomi daerah. Dan
kenyataan ini tercermin dengan adanya sumber pendanaan yang berasal dari APBN
pada setiap tahun anggaran yang dialokasikan di daerah dalam rangka pendanaan
program kegiatan yang melekat pada SKPD yang diistilahkan/diberi label sebagai
“dana dekonsentrasi, dana pembantuan, dana stimulus, dana BOS, dana PNPM,
GERHAN, BLT “ yang jumlahnya sangat signifikan melebihi APBD.
Kegiatan-kegiatan
ini sedianya didesentralisasikan kepada pemerintah daerah, sehingga menjadi
urusan pemerintahan daerah, bukan urusan pemerintah yang dilimpahkan ke
gubernur.
Sebagai
kesimpulan, dapat saya katakan pemerintah telah mendanai urusan yang
sesungguhnya menjadi urusan pemerintah daerah. Dana-dana itu sedianya menjadi
sumber-sumber pendapatan APBD (dalam bentuk DAK, misal), sehingga perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan setiap program kegiatan menjadi fokus bersama
pemerintah daerah dan DPRD.
Tidak
seperti praktek yang selama ini berlangsung, program kegiatan yang menelan
anggaran sangat besar itu, tidak berjalan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan,
dan prioritas daerah. Daerah seolah hanya ditempati kegiatan yang tidak terukur
dan tidak berada dalam kerangka perencanaan pembangunan daerah. Akibatnya,
fakta empirik mengatakan Dinas Pendidikan Sultra tidak mampu menuntaskan
permasalahan pendidikan di Sultra, karena Rp. 600 M peruntukannya bukan
berdasarkan aspiriasi dan kebutuhan pendidikan di Sultra, melainkan program pemerintah
yang inkonstitusional.
Tulisan
lama namun masih substantif. Pernah di publis di kendari pos
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.