Rabu, 29 Januari 2014

Pemerintahan Daerah : Desentralisasi dan Dekonsentrasi


Pemerintahan Daerah : Desentralisasi dan Dekonsentrasi
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, kita mengenal adanya pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah.Pemerintahan baik di pusat maupun di daerah memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya masing-masing.Terkhusus pada sistem pemerintahan di daerah, ada banyak keistimewaan yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Pemerintahan daerah tidak terlepas dari apa yang disebut sebagai otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urrusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Lalu, apakah yang dimaksud dengan daerah otonom? Di dalam Pasal 1 ayat 6 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom(daerah) adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian,, maka pemerintahan daerah adalah pemerintahan yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di dalam pelaksanaan otonomi daerah, di Indonesia kita mengenal adanya desentralisasi dan dekonsentrasi.Desentralisasi dan dekonsentrasi adalah keistimewaan yang ada dalam otonomi daerah.Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Untuk merinci perbedaaan diantara desentralisasi dan dekonsentrasi, kita dapat melakukan komparasi terhadap undang-undang yang mengatur mengenai hal itu.Pengaturannya ada dalam UU No.5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan UU No.22 Tahun 2004. Untuk itu mari kita bahas lebih lanjut.

Pemaknaan:
A.    Menurut UU No. 5 Tahun 1974
1.      Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya.
2.      Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah.
B.     Menurut UU No. 22 Tahun 1999
1.      Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.      Dekonsentrasi adalah penyerahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah atau perangkat pusat di daerah.
C.     Menurut  UU No. 32 Tahun 2004
1.      Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.      Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Terdapat perbedaan, dimana ada kata “pelimpahan” dan “penyerahan”.Penyerahan yang dimaksudkan adalah tindakan menyerahkan secara sepenuhnya segala urusan pemerintahan di daerah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah itu sendiri sebagai urusan rumah tangganya.adalah Pelimpahan adalah pemindahan dalam hal hak atau kewenangan. Jadi, jelas perbedaannya bahwa penyerahan adalah sepenuhnya menyerahkan, dimana pertanggungjawaban secara utuh menjadi milik pemerintah daerah itu sendiri.Sementara dalam hal pelimpahan, segala urusan di wilayah itu tetap menjadi tanggungjawab pemerintah pusat.Artinya dekonsentrasi hanyalah dalam hal teknis dan pelaksanaan pemerintahan.Sementara desentralisasi adalah bahwa suatu daerah itu menjadi sepenuhnya dibawah kekuasaan pemerintah daerah.Dari semua definisi yang ada, secara garis besar ada dua definisi tentang desentralisasi, yaitu definisi dari segi perspektif administratif dan defenisi perspektif politik. Disini desentralisasi sesunggguhnya kata lain dari dekosentrasi. Dekosentrasi adalah pengalihan beberapa kewenangan atas tanggung jawab administrasi dalam suatu kementrian atau jawatan.Disini tidak ada transfer kewenangan yang nyata, bawahan hanya menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan bertanggung jawab kepada atasannya.

Pemberlakuan Azas desentralisasi dan dekonsentrasi
A.    Menurut UU No. 5 Tahun 1974
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak.  Desentralisasi dan Dekonsentrasi dilaksanakan bersamaan dalam pemerintahan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), dan kewajiban seperti:
a.       mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945;
b.      menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.       bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan
d.      memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.


B.     Menurut UU No. 22 Tahun 1999
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom.Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.Kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.

C.     Menurut UU No. 32 Tahun 2004
Dalam era reformasi, pemerintah telah mengeluarkan dua kebijakan tentang otonomi daerah. Pertama adalah UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kedua adalah UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. UU yang merupakan revisi atas UU yang disebut pertama.
Dalam perkembangannya, kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 tahun 1999 dinilai, baik dari segi kebijakan maupun segi implementasinya, terdapat sejumlah kelemahan Oleh karena itulah kebijakan tersebut mengalami revisi yang akhirnya menghasilkan UU No.32 tahun 2004.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004, bahwa asas desentralisasi dan dekonsentrasi bukan lagi menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak akan kita lihat lagi pemerintahan propinsi dengan otonominya yang terbatas dan daerah Kabupaten/Kota dengan otonomi penuh yang mengatur urusan rumah tangganya hanya berdasarkan asas desentralisasi saja.
Dibawah payung UU No.32 Tahun 2004 Pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sesungguhnya tidak lagi otonom sebagaimana layaknya dibawah UU No.22 Tahun 1999, melainkan “otonomi terkontrol”. Ini terutama dikarenakan penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah daerah propvinsi, Kabupaten dan Kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan.
Pandangan kita terhadap kebijakan otonomi daerah yang diambil para pengambil kebijakan di tingkat pusat yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 bukanlah suatu sinisme, melainkan kita memang melihat kebijakan otonomi daerah yang protektif dan juga sebagai reaksi yang berlebihan atas otonomi daerah yang berlangsung di bawah UU No.22 tahun 1999.

D.    Pola Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
Daerah otonom yang merupakan suatu daerah dengan kesatuan masyarakat hukum  yang mempunyai batas-batas wilayah, berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Kewenangan ini tidak serta merta ada dan diberikan pada daerah otonom, melainkan telah diatur sebelumnya oleh UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU tersebut disebutkan urusan-urusan pemerintah pusat dan daerah. Sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum, tentunya mereka akan menaati dan menjalankan Undang-undang. Berbicara mengenai otonomi maka berbicara pula mengenai sejauh mana kemandirian daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
Tiap-tiap daerah memiliki tingkat kemandirian yang berbeda-beda. Bagi daerah otonom yang baru terbentuk, akan banyak sekali memerlukan campur tangan pemerintah pusat untuk mengembangkan atau menghidupkan daerah itu. Kemandirian daerah otonom sepenuhnya tidak seratus persen, dikarenakan ada beberapa urusan yang tidak dapat diurus oleh daerah (baik daerah otonom yang lama terbentuk ataupun baru terbentuk). Tidak dapat dipungkiri bahwa daerah pun masih memerlukan bantuan/ campur tangan pemerintah pusat, biasanya terkendala pada keuangan daerah yang pendapatan asli daerahnya (PAD) rendah, hanya mengandalkan pajak saja dirasa tidak akan cukup mandiri bagi suatu daerah. Campur tangan pemerintah pusat terhadap daerah otonom merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan karena UU No. 32 tahun 2004 secara eksplisit mengikat kedua hal ini seperti dalam hal tugas pembantuan, hubungan pengawasan, keuangan, kewenangan dsb. Jadi selain faktor nyata bahwa daerah memerlukan bantuan pemerintah pusat, UU No. 32 tahun 2004 pun mengikat secara eksplisit kedua hal ini yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

E.     Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Bidang Pengawasan
Pada dasarnya kegiatan pengawasan ditujukan sebagai proses pemantauan terhadap pelaksanaan kerja, pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan, dan pemantauan terhadap hasil kerja bahkan dapat juga mendeteksi sejauhmana telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan kerja tersebut. Selain itu fungsi pengawasan pun lebih ditujukan untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. Dalam kaitannya dengan keuangan, pengawasan ditujukan untuk menghindari terjadinya korupsi, penyelewengan, dan pemborosan anggaran.
Ditinjau dari hubungan pusat dan daerah dalam kerangka otonomi, pengawasan merupakan “pengikat” kesatuan agar kebebasan otonomi tidak bergerak jauh dengan kata lain untuk kontrol kebebasan berotonomi. Bentuk pengawasan dapat berupa pengawasan represif dan preventif. Pengawasan tersebut dalam kronologi perundang-undangan ada yang secara tegas mengatur ada pula yang belum mengaturnya. Dalam UU terdahulu yaitu UU No.1 tahun 1945 tidak (belum) mengatur pengawasan, baik represif maupun preventif. UU No.22 Tahun 1948 menentukan wewenang pengawasan represif ada pada presiden. UU No. 5 Tahun 1974 tidak mengatur dengan tegas organ pemerintahan yang berwenang melakukan pengawasan represif.
Pengawasan dalam bentuknya yang represif dan preventif tidak secara tegas dijelaskan dalam UU No. 32 tahun 2004, hanya saja ditemukan/disebutkan dalam pasal 218 bahwasanya pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut ketentuan pasal 218 UU No. 32 tahun 2004, dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
a.       Pengawasan atas pelaksanaan-urusan pemerintahan di daerah;
b.      Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Untuk pengawasan penyelenggaraan pemerintahan secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah  untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota. Bupati dan walikota dalam pembinaan dan pengawasan  dapat melimpahkan kepada camat.
F.      Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Bidang Keuangan
Di dalam kerangka otonomi, kemampuan suatu daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tidak terlepas dari pandangan bahwa daerah harus sanggup/mampu untuk membiayai daerahnya sendiri. Kemampuan untuk membiayai/mendanai daerah sendiri merupakan tantangan yang harus dihadapi suatu daerah dalam penyelenggaraan otonomi. Dalam hal ini mendanai daerah sendiri untuk anggaran pembelanjaan daerah, menunjukkan bahwa daerah harus mempunyai sumber-sumber pendapatan sendiri. Sumber pendapatan daerah salah satunya dapat diperoleh dari pajak atau retribusi, namun sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya, bahwa pajak atau retribusi saja dirasa tidak akan cukup mandiri bagi suatu daerah. Sumber-sumber lain pun harus didapat dari suatu daerah melalui pendapatan asli daerah (PAD) berupa perusahaan di daerah ataupun hasil yang didapat dari pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki daerah. Dalam hal suatu daerah dengan PAD rendah, tentunya akan sangat membutuhkan bantuan pemerintah pusat. Hubungan ini memang tidak dapat dipisahkan, namun dengan begitu tidak berarti daerah selalu ketergantungan dengan pemerintah pusat. Sejauhmana bantuan akan mempengaruhi kemandirian daerah, tergantung pada pola dan tujuan dari bantuan itu sendiri. Dalam hubungan ini, bantuan keuangan dari pusat kepada daerah dapat digolongkan dalam tiga ketegori utama yaitu:
a.       Bantuan bebas, maksudnya bantuan dari pusat hanya ditentukan jumlahnya, untuk selebihnya daerah bebas dalam hal peruntukan dan tata cara penggunaannya. Dalam kategori bantuan ini, sama sekali tidak mempengaruhi kemandirian daerah, namun kelemahannya, tidak ada arahan dalam penggunaan dana bantuan, sehingga terbuka lebar kemungkinan penyalahgunaan dana.
b.      Bantuan dengan pembatasan tertentu, maksudnya bantuan ditentukan peruntukannya secara umum oleh Pusat, untuk kemudian peruntukan secara khusus dan tata cara pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya pada daerah. Dalam kategori bantuan ini, kebebasan suatu daerah sedikit dibatasi, namun dengan begitu segi positifnya pun dapat diterima karena peruntukan secara umum telah ditentukan oleh pusat sebagai arahan agar bantuan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu secara efektif dan efisien guna menjamin kegiatan daerah berjalan seirama dengan kebijaksanaan umum pemerintah pusat.
c.       Bantuan terikat, maksudnya bantuan telah ditentukan secara rinci peruntukan dan tata cara pemanfaatannya, sehingga dalam ketegori bantuan ini, tertutup kemungkinan kebebasan bagi daerah.Disamping bantuan pemerintah pusat terhadap daerah, hubungan keuangan pusat dan daerah pun pada hakikatnya mencakup pembagian sumber pembiayaan antara pemerintah pusat dengan daerah. Berdasarkan asas desentralisasi semua urusan pemerintahan daerah dibiayai dari APBD, subsidi, bagi hasil dari pusat, berdasarkan asas dekonsentrasi dibiayai dari APBN dan berdasarkan asas tugas pembantuan dibiayai oleh pihak yang menugaskannya (APBN). Pasal 15 ayat (1) UU. No. 32 Tahun 2004, menyebutkan bahwa Hubungan  dalam   bidang  keuangan antara  Pemerintah   dan  pemerintahan daerah meliputi: 
·         Pemberian sumber-sumber keuangan  untuk   menyelenggarakan urusan  pemerintahan  yang  menjadi  kewenangan  pemerintahan daerah;
·         Pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah;  dan 
·         Pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan  Pemerintahan Daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah. Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa : kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. 
G.    Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Bidang Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa hubungan dalam bidang  pemanfaatan sumber   daya   alam  dan sumber daya lainnya antara Pemerintah pusat dan pemerintahan daerah meliputi: 
a.       Kewenangan, tanggung jawab,  pemanfaatan,  pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;
b.      Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
c.       Penyerasian lingkungan dari tata ruang serta  rehabilitasi lahan. 
Dari yang telah disebutkan diatas, nampak jelas bahwa daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam, dalam hal kewenangan, tanggung jawab,  pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian melibatkan pula pemerintah pusat. Dan juga daerah mendapatkan Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya bersama dengan pemerintah pusat karena kedua pemerintah ini ikut andil dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam. Pemanfaatan sumber daya alam dapat diambil, contoh: pada Provinsi Bengkulu yang memiliki kekayaan SDA berupa Timah, hasil pemanfaatan timah ini akan juga menjadi pendapatan bagi daerah (Provinsi Bengkulu). Penulis mengkritisi kegagalan pemerintah pusat dalam hal pelestarian hutan di Kalimantan yang sudah parah sekali, dan sama sekali pemerintah pusat tidak berperan mengatasinya. Dalam hal ini menurut penulis tidak ada pola hubungan pusat dan daerah bidang pemanfaatan SDA bilamana pelestarian SDA saja tidak dilakukan pemerintah pusat.
H.    Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Bidang Pelayanan Umum
Bidang pelayanan umum menjadikan sorotan yang cukup penting dalam kajian otonomi. Daerah otonom dengan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya, terkadang masih ditemukan bahwa pelayanan umum dalam daerah tertentu tidak memenuhi standar minimal pelayanan. Hal ini entah dikarenakan daerah yang tidak perduli ataukah tidak mampu (keterbatasan kemampuan) dalam menyediakan pelayanan umum yang maksimal. Bila diambil contoh yaitu dalam penyediaan pelayanan umum berupa rumah sakit, dimana terdapat fasilitas rumah sakit yang berbeda-beda, ada rumah sakit dengan fasilitas minim (dibawah standar), adapula yang lengkap. Selain bidang kesehatan, pelayanan umum bidang transportasi juga perlu diperhatikan seperti penyediaan halte, penyediaan akses jalan alternative agar memudahkan seseorang menuju daerah itu. Seharusnya pemerintah pusat memperhatikan hal-hal ini dan memfasilitasi serta turut mendanai penyelenggaraan pelayanan umum di daerah-daerah yang memerlukan penyediaan pelayanan umum agar lebih maksimal, efektif, dan menjamin kenyamanan masyarakat yang menikmatinya. Hubungan pemerintah pusat dan daerah di bidang pelayanan umum telah diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 16  ayat (1) yaitu meliputi:
a.       Kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
b.      Pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah
c.       Fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum.
d.       
I.       Pola Hubungan Legislatif dan Eksekutif di Daerah
1.      Dalam Hal Pemilihan Kepala Daerah
Perubahan mendasar dalam semangat dan sistem ketatanegaraan kita terkait dengan cara dan sistem pemilihan kepala daerah kemudian ditindaklanjuti tingkat regulasi yang lebih rendah. Pasca reformasi undang-undang yang mengatur mengenai otonomi daerah khususnya berkenaan dengan pemilihan kepala daerah yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun  1999 yang kemudian diganti oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kepala daerah dipilih oleh DPRD sedangkan menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Apabila dicermati secara seksama terdapat dua problematika yang saling berhimpitan yakni terkait dengan aspek kapasitas dan akseptabilitas dari kepala daerah dari hasil pemilihan. Dalam berbagai dokumen ditegaskan bahwa pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya dimaksudkan untuk menyelesaikan problematika tersebut. Sebab kepala daerah hasil pemilihan oleh DPRD seringkali memiliki masalah dalam kaitan akseptabilitas. Terkesan ada jarak yang antara kepala daerah dengan masyarakat karena faktor cara memilihnya. Timbul stigma bahwa kepala daerah hanya mengurus anggota DPRD dan agak mengesampingkan masyarakat. Dalam perjalanan sistem pemerintahan daerah terkini, dapat diidentifikasi bahwa apa yang dirancang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup. Problematika seputar pemilihan kepala daerah tidak hanya terkait dengan masalah akseptabilitas dan kapabilitas. Masih ada problematika-problematika lain yang sifatnya lebih kompleks karena menyangkut sistem dari pemerintahan daerah itu sendiri. Problematika tersebut adalah, pertama, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memiliki kekurangan mendasar dalam daerah menempatkan otonom provinsi dengan daerah otonom kabupaten/kota yang pada akhirnya akan berujung pada bagaimana mengkonstruksikan posisi gubernur dan cara memilihnya. Untuk mencermati problematika ini kita perlu menelaah pengaturan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa :
a.       Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan.
  1. Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden.
Pengaturan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana tersebut di atas secara jelas menyatakan bahwa dengan menempatkan gubernur sebagai wakil Pemerintah di provinsi maka secara otomatis posisi provinsi juga bukan hanya berstatus sebagai daerah otonom saja tetapi juga merupakan wilayah kerja gubernur sebagai wakil pemerintah.
Dari uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa tentunya harus ada perbedaan cara pemilihan antara gubernur dengan bupati/walikotaterkait tingkat elektorasi masing-masing. Dari perspektif lokal dan teoritis, wajarapabila bupati/walikota dipilih secara langsung mengingat karakteristikkabupaten/kota sebagai Unit Dasar yang merupakan jenjang pemerintahanyang paling dekat dengan masyarakat. Kedekatan ini, pada gilirannya, akanmenjadikan pemerintahan daerah tersebut diharapkan untuk paling akuntabel,paling responsif, paling efisien dan paling efektif dalam memberikan pelayanankepada masyarakat, melaksanakan pembangunan daerah, dan menjaminkesinambungan efektivitas pemerintahan nasional. Adapun gubernur perludipilih dengan metode yang berbeda dengan bupati/walikota selain karenamemang tingkat elektorasi yang berbeda, juga secara substansi karena posisiprovinsi sebagai unit antara sebagaimana diulas pada bagian sebelumnya.
Problematika kedua dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah terkait dengan diskursus posisi wakil kepala daerah. Selain terkait dengan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah, ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 ini juga membawa sebuah diskursus baru mengenai posisi wakil kepala daerah, apakah merupakan posisi political appointee yang merupakan satu paket dengan kepala daerah atau jabatan administrativeappointee sebagai jabatan karir. Secara eksplisit bunyi pengaturan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa yang dipilih secara demokratis adalah gubernur, bupati, dan walikota. Dalam kaitan ini muncul diskusi menarik, apakah jabatan gubernur, bupati, dan walikota itu adalah satu jabatan tunggal atau satu paket meliputi dengan wakilnya. Apabila kita gunakan pendekatan formalistik pada apa yang tertulis dalam Pasal 18 (ayat) 4 UUD 1945, jelas ayat dimaksud memberi pesan bahwa konstitusi hanya mengamanatkan pemilihan kepala daerah saja tanpa menyebut jabatan wakil kepala daerah. Ini artinya Gubernur, Bupati dan Walikota adalah nama jabatan tunggal untuk kepala daerah baik untuk tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
UUD 1945 pada dasarnya bersifat litterlijk sehingga apa yang tertulis itulah yang merupakan norma. Penafsiran ini sesuai dengan kenyataan bahwa UUD 1945 selalu menyatakan secara eksplisit posisi jabatan-jabatan yang ada dalam pemerintahan. Sebagai contoh jabatan Wakil Presiden itu dinyatakan secara tegas, kemudian Menteri , Duta Besar , dan lainnya. Dengan demikian, pembentuk undang-undang memiliki keleluasaan untuk mengatur jabatan wakil kepala daerah. Artinya, bisa saja Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih dan memegang jabatan tanpa didampingi wakil, atau pengaturan mengenai pemilihan wakil kepala daerah dalam undang-undang dapat saja dilakukan berbeda dengan mekanisme pemilihan kepala daerah. Tidak tepat apabila diskursus mengenai posisi wakil kepala daerah ini hanya berkutat pada penafsiran pengaturan tertulis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Tentunya selain karena alasan yang lebih mengarah pada pendekatan semantik, juga terdapat alasan lain yang lebih filosofis untuk melakukan reposisi terhadap wakil kepala daerah. Sebelumnya telah diulas bahwa dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, posisi provinsi merupakan sebuah unit antara pemerintahan sebagai wilayah kerja Gubernur selaku wakil Pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gubernur merupakan alter ego Presiden yang ada di daerah tanpa ada lagi pembagian kewenangan kepada subyek lain. Ini selaras dengan pengalaman di beberapa negara yang memiliki unit antara dalam susunan dan bentuk pemerintahan daerah, tidak dikenal lagi posisi wakil wakilnya Pemerintah . Gubernur, sebagai wakil Pemerintah, dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat guna melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Dengan demikian pendekatan ini dapat menjadi bahan pemikiran mengenai posisi Wakil Gubernur sebagai administrative appointee karena merupakan salah satu unit dari perangkat gubernur dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.

A.    Menurut UU No. 5 Tahun 1974
Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pemerintah daerah, Kepala Daerah menurut hirarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pemerintah daerah, Kepala Daerah berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam diri Kepala Daerah terdapat dua fungsi, yaitu fungsi sebagai Kepala Daerah Otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah dan fungsi sebagai Kepala Wilayah yang memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah.
Sejalan dengan konstruksi yang demikian, maka undang-undang ini menetapkan bahwa Kepala daerah menurut hirarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.Hal ini adalag sesuai dengan kedudukan Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan diseluruh wilayah negara. Dan ditinjau dari segi prinsip-prinsip organisasi dan ketatalaksanaan, adalah tepat sekali jika Kepala Daerah hanya mengenal satu garis pertanggungjawaban, oleh karena itu Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun demikian, Kepala Daerah berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang pelaksanaan pemerintahan daerah yang dipimpinnya, agar supaya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai salah satu unsur pemerintah daerah dapat selalu mengikuti dan mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Dalam memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut Kepala Daerah perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang, dimana dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat memberikan tanggapannya sesuai dengan hak-hak nya sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1974. Kepala Daerah menurut hirarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.Istilah “melalui” disini bukanlah berarti abhwa Menteri Dalam Negeri hanya meneruskan bahan-bahan pertanggungjawaban Kepala Daerah, mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan wewenangnya dan melaporkan kepada Presiden mengenai hal-hal yang prinsipil dan penting.

B.    Menurut UU No. 22 Tahun 1999
Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur (kepala daerah Provinsi) bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi.Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Gubernur bagi Kepala Daerah Kabupaten dan Kepala Daerah Kota, sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun, atau jika dipandang perlu oleh Kepala Daerah atau apabila diminta oleh Presiden. Kepala Daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD pada tiap akhir tahun anggaran.Kepala Daerah wajib memberikan pertanggungjawaban kepada DPRD untuk hal tertentu atas permintaan DPRD, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999.

C.   Menurut UU No. 32 Tahun 2004
Kepala daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 mempunyai kewajiban sebagaimana yang diatur dalam ayat 1 Pasal 27.Kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah sebagaimana yang dimaksud di atas, disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1(satu) kali dalam 1(satu) tahun.
2.      Dalam Hal Pemberhentian Kepala Daerah.
A.    Menurut UU No. 5 Tahun 1974
Kepala Daerah berhenti atau dibernentikan oleh pejabat yang berhak mengangkat,    karena :
a.       meninggal dunia
  1. atas permintaan sendiri
  2. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik Kepala Daerah yang baru
  3. melanggar sumpah/janji yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) undang-undang ini;
  4. melanggar ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 20 Undang-Undang ini.
  5. Melakukan hal-hal yang dilarang, yaitu :
1.      dengan sengaja melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan kepentingan Negara, Pemerintah, dan atau Rakyat.
2.      turut serta dalam suatu perusahaan
3.      melakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang memberikan keuntungan baginya dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan daerah yang bersangkutan
4.      menjadi advokat atau kuasa dalam perkara di muka pengadilan.
Pengangkatan Kepala Daerah dilakukan oleh:
a.       Presiden bagi Kepala Daerah Tingkat I
b.      Menteri Dalam Negeri bagi Kepala Daerah Tingkat II

Maka, dengan demikian pejabat yang berhak mengangkat seperti yang dimaksudkan di atas adalah Presiden dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan kewenangannya.
B.     Menurut UU No. 22 Tahun 1999
Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan, karena :
  1. Meninggal dunia
  2. Mengajukan berhenti atas permintaan sendiri
  3. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru
  4. Tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 UU No. 22 Tahun 1999, yakni :
·         bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
·         setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah yang sah;
·         tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Negara KesatuanRepublik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-UndangDasar 1945 yang dinyatakan dengan surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri;
·         berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan/atau sederajat;
·         berumur sekurang-kurangnya tiga puluh tahun;
·         sehat jasmani dan rohani;
·         nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya
·         tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana;
·         tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri;
·         mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
·         menyerahkan daftar kekayaan pribadi; dan
·         bersedia dicalonkan menjadi Kepala Daerah.
·         Melanggar sumpah/janji sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) UU No. 22 tahun 1999
·         Melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 48 UU No. 22 Tahun 1999. Ketentuan tersebut adalah:
ü  turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik Negara/Daerah, atau dalam yayasan bidang apa pun juga;
ü  membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi dirinya, anggota keluarganya, kroninya, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang secara nyata merugikan kepentingan umum atau mendiskriminasi-kan warga negara dan golongan masyarakat lain;
ü  melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan Daerah yang bersangkutan;
ü  menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang patut dapat diduga akan mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; dan
ü  menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan, selain dalam tugasnya mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa untuk mewakilinya.
ü  Mengalami kriisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang luas, kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh DPRD.
    1. Pemberhentian Kepala daerah karena alasan-alasan tersebut di atas ditetapkan dengan keputusan DPRD dan disahkan oleh Presiden.
    2. Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui keputusan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih, atau diancam dengan hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
ü  kejahatan yang diancam hukuman 5 tahun atau lebih dalam KUHP.
Kepala Daerah yang diduga melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI diberhentikan untuk sementara dari jabatannya oleh Presiden tanpa melalui Keputusan DPRD.
Kepala Daerah yang terbukti melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah NKRI yang dinyatakan dengan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden, tanpa persetujuan DPRD.
Kepala Daerah yang setelah melalui proses peradilan ternyata tidak terbukti melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah NKRI, diaktifkan kembali dan direhabilitasi selaku Kepala Daerah sampai akhir masa jabatannya

  1. Menurut UU No. 32 Tahun 2004
Dalam Pasal 29 ayat (1), Kepala Daerah dan/atau Wakilnya berhenti, karena :
  1. meninggal dunia
  2. permintaan sendiri
  3. diberhentikan
  4. Sementara menurut Pasal 29 ayat (2), kepala daerah dan/atau wakilnya diberhentikan, karena :
  5. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru
  6. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan
  7. tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
  8. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan
  9. tidak melaksanakan kewajiban
  10. melanggar larangan yang ditetapkan

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.