Rabu, 29 Januari 2014

HUKUM ACARA PERDATA


HUKUM ACARA PERDATA

A.    Pengertian Hukum Acara Perdata
Prof. Dr. Sudikno mertokusumo, SH
Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang mengatur bagaimana cara ditaatinya Hukum perdata materiil dengan peraturan hakim. Lebih kongkrit dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutuskan, dan pelaksanaan daripada putusannya.

B.     Sejarah Terbentuknya Hukum Acara Perdata
Tanggal 5 Desember 1846 Gubernur Jendral Ijan Jacob Rochussen member tugas kerua MA dan MA Tentara untuk membuat sebuah Reglemen bagi golongan Indonesia.
Tanggal 6 Agustus 1847 Jhr. Mr. H.L Wichers/ Ketua MA dan MA Tentara telah selesai dengan rancangannya serta peraturan penjelasannya.
Tanggal 5 April 1848, Stbl. 1848 No. 16 Rancangan Wichers diterima dan di umumkan oleh Gubernur Jendral dengan diberi nama “Het Inlands reglement” I.R. dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.

C.     Azas-asas Hukum Acara Perdata
Pengertian
Paul Scholten mendefinisikan asas Hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang dapat didalam dan dibelakang system Hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenan denganya, ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai jabarannya.
Harjono memberikan pengertian atas Hukum yang mempunyai fungsi sebagai normal pemberi nilai.Jadi dengan singkat system Hukum dibagin (secara substantive/ atas dasar nilai-nilai yang dikandung dalam asas Hukum.
Sudikno Mertokusumo Hukum Acara Perdata  menyebut ada 7 asas yaitu :
1.      Hakim Bersifat Menunggu. Pasal 118 HIR  dan Pasal 142 RBg.
Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepeuhnya kepada yang bersangkutan. Jadi apakah aka nada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak semua diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, sedangkan Hakim bersifat menunggu datagnya tuntutan hak diajukan kepadanya.
Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa Hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 16 UU No. 4/2004). Larangan untuk menolak memeriksa perkara sebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya ( ius curi novit ), kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan Hukum tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No. 4/2004).

2.      Hakim Pasif. Pasal 178 (3) HIR dan Pasal 154 RBg.
Ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim.Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya Peradilan (Pasal 28 UU No. 4/2004).
Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalane persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tetapi dalam memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap Tut wuri, hakim terikat pada peritiwa yang diajukan oleh para pihak.
Para pihak dapar secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan, sedangkan hakim tidak dapat menghalaginya.Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan (Pasal 130 HIR, 154 RBg).
Hakim wajib mengadili semua gugatan dan larangan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak di tuntut, atau mengabulkan lebih dari yang di tuntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg.) apakah yang bersangkutan mengajukan banding atau tidak itupun bukan kepentingan Hakim (Pasal 6 UU No. 20/1047, Pasal 199 RBg).

3.      Sifat Terbuka Persidangan. Pasal 19 (1) dan Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004.
Bahwa setiap orang dibolehkan hadir, mendengar, dan menyaksikan pemeriksaan persidangan (kecuali di tuntut lain oleh UU). Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan dengan pertanggungjawaban pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adik kepada masyarakat, (Pasal 19 ayat 1 UU No. 4/2004).
Namun ada juga persidangan yang sifatnya tertutup, misalnya perkara perceraian, akan tetapi sidang pembacaan putusan harus terbuka, jika tidak dinyatakan terbuka untuk umum keputusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukuk serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut Hukum.

4.      Mendengan Kedua Belah Pihak.  Pasal 5 (1) UU No. 4/2004 dan Pasal 132a, 121 (2) HIR dan Pasal 145 (2), 157 RBg serta Pasal 47 RV.
Bahwa kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa Pengadilanmengadili menurut Hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5 UU No. 4/2004).
Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar dan diberi kesempatan  untuk mengeluarkan pendapatnya, hal itu berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132a, 121 Yt 2 HIR, Pasal 145 ayat 2, 157 RBg dan Pasal 47 Rv).

5.      Putusan Harus Disertai Alasan-alasan. Pasal 25 UU No. 1/2004 Pasal 184 (1), 319 HIR dan Pasal 195, 618 RBg.
Semua putusan hakim harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 ayat 1 UU No.4/2004, Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, Pasal 195, 618RBg).
Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.

6.      Beracara dikenakan Biaya, Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004. Pasal 121 (4), 182, 183 HIR, Pasal 145 (4), 192 RBg, kecuali Pasal 237 HIR, Pasal 273 RBg. Untuk berperkara pada asanya dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2,5 ayat 2 UU No. 4/2004).
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk penggalian pemberitahuan para pihak serta biaya materai.Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara maka harus pula dikeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo) dengan mendapatkan ijin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Polisi (Pasal 237 HIR, 237 RBg). Akan tetapi dalam praktek surat keterangan tidak mampu dibuat oleh Camat daerah tempat tinggal yang berkepentingan.

7.      Tidak ada keharusan mewakilkan. Pasal 123 HIR, 147 RBg.
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakili kapada orang lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 RBg).

Setiawan menyebutkan ada 8 asas yaitu :
1.      Asas kesederhanaan. Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004
2.      Pengadilanmengadili menurut Hukum dengan tidak membedakan orang, Pasal 5 (1) UU No. 4/2004.
3.      Hakim aktif memimpin proses. Pasal 132 HIR, Pasal 156 RBg.
4.      Memberikan perlakuan yang sama  kepada para pihak yang berperkara.
5.      Para pihak memiliki kedudukan yang sama.
6.      Suatu putusan Pengadilanharus diberi suatu pertimbangan yang cukup.
7.      Penyelesaian perkara dalam waktu yang pantas.
8.      Hukum acara itu sendiri bukan tujuan.
9.       
D.    Sumber Hukum Acara Perdata
1.      Pengertian Sumber Hukum Acara Perdata
Secara sederhana Sumber Hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan dan tepat ditemukannya aturan-aturan Hukum.
2.      Macam-macam Sumber Hukum Acara Perdata
a.       Peraturan Perundang-undangan
o   HIR : Het Herzein Indonesisch Reglement Stb. 1848 No. 16 Jonto Stb, 1941 No. 44 berlaku untuk daerah jawa dan Madura.
o   RBg : Rechtsreglement Buitengewesten Stb. 1927 No. 227 Untuk luar jawa dan Madura.
o   BW Buku ke IV : Burgelijke  Wetboek Voor Indonesisch
o   RV : Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering Stb. 1847 No. 52 Jo. Stb. 1849 No. 63 Hukum Acara Perdata untuk golongan eropa.
o   UU No. 20/1947, UU tentang Peradilan Ulangandi Jawa dan Madura.
o   UU No. 04/2004, UU tentang Kekuasaan Kehakiman.
o   UU No. 14/1985 Jo, UU No. 5/2004.
o   UU No. 2/1986 Jo, UU No. 8/2004 UU tentang Lingkungan Peradilan Umum.
o   UU No. 7/1989 UU tentang Peradilan Agama.
o   UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975
o   PERMA dan SEMA.
b.      Yurisprudensi
c.       Adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan Pemeriksaan Perkara Perdata.
d.      Doktrin
e.       Perjanjian International
f.       Perjanjian kerjasama di bidang peradilan antara RI dan Kerajaan Thailand.

E.     BADAN PERADILAN UMUM DAN KHUSUS
1.      Susunan Badan Peradilan Umum dan Khusus.
Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan :
a.       Mahkaman Agung dan Badan Peradilan yang ada dibawahnya : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer.
b.      Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
o   Menguji UU terhadap UUD
o   Memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan UUD
o   Memutus pembubaran Partai Politik
o   Memutus sengketa hasil Pemilu.

(Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 ; Pasal 10 UU No. 4/2004; Pasal 12 UU No.4/2004; Pasal 2 UU NO.4/2004).

Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4/2004
Pasal 1            : Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka.
Pasal 4            : Peradilan dilakukan “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pasal 8            : “Asas Praduga tak bersalah”
Pasal 10          : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan Peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah MK.
Pasal 12          : MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : 
o   Menguji UU terhadap UUD 1945.
o   Memutus Sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara RI 1945.
o   Memutus pembubaran Parpol dan
o   Memutus Perselisihan tentang hasil Pemilu.
Pasal 16          : Pengadilantidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa Hukum tidak atau kurang jela, melainkan wajib untuk memeriksa dan  mengadilinya.
Pasal 11          : MA Berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah ayat 2.b UU terhadap UU.
Pasal 19          : Sidang Pemeriksaan Pengadilanadalah terbuka untuk umum, kecuali UU menentukan lain.
Pasal 28          : Hakim wajib Menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai Hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 20   :  Semua peraturan Peradilan hanya sah dan mempunyai kekuatan Hukum apabila di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 37   :  Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan Hukum.

F.      Kekuasan Peradilan Umum dan Khusus.
1.      Kekuasan Peradilan Umum (UU No.2/1986 & UU No. 8/2004
o   Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh PengadilanTinggi (Pasal 3 UU No. 2/1986).
o   PengadilanNegeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama (Pasal 50 UU No. 2/1986).
o   PengadilanTinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perfata di tingkat banding (Pasal 51 (1) dan mengadili tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili  antara PN dan daerah hukumannya (Pasal 51 (2) UU No.2/1986).
2.      Kekuasaan PengadilanAgama (UU No. 7/1989 Jo, UU No.3/2006)
Pasal 49 UU No.3/2006 :
PengadilanAgama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
a.       Perkawinan :
Perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang Perkawinan yang berlaku dan dilakukan menurut syari’ah (Penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49).
b.      Kewarisan :
Waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan Pengadilanatas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
c.       Wasiat :
Wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga badan Hukum, yang berlaku setelah yang member tersebut meningal dunia.
d.      Hibah :
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan Hukum kepada orang lain atas badan Hukum untuk dimiliki.
e.       Wakaf :
Wakaf adalah perbuatan seorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
f.       Zakat :
Zakat adalahharta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan Hukum yang memiliki oleh orang islam sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
g.      Infaq :
Infaq adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan risky (karuania) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dank arena Allah S.W.T
h.      Shodagoh dan
i.        Ekonomi Syari’ah.

G.    Kekuasaan PengadilanTUN (UU No. 5/1986 & UU No. 9/2004)
o   Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 47 UU no. 5/1986 Sengketa TUN.
o   Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 51 UU no. 5/1986

H.    Kekuasaan Peradilan Militer.
o   UU No. 31 Tahun 1997

I.       Kekuasaan MA (UU No. 14/1985 Jo. UU No.5/2004)
MA Bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
1.      Permohonan Kasasi.
2.      Sengketa tetang kewenangan mengadili.
3.      Permohonan meninjauh kembali putusan Pengadilanyang yelah memperoleh kekuatan Hukum tetap (Pasal 28 UU No.14/1985)

J.       Kompetensi/ Kewenangan Mengadil
Hukum Acara Perdata mengenal dua macam kewenangan yaitu :
1.      Kewenangan Mutlak/ Absolut.
2.      Kewenangan Relative/ NISBI Pasal 133 HIR, Pasal 159 RBg, Pasasl 136 HIR ataun 162 RBg, menyangkut pembagian kekuasaan mengadili antar Pengadilanyang serupa tergantung dari tempat tinggal tergugat, azasnya adalah yang berwenang adalah PengadilanNegeri tempat tinggal tergugat, azas ini dengan bahasa latin dikenal “Actor Sequitoir Forum Rei”.

K.    SURAT KUASA KHUSUS
1.      Kuasa Pada Umumnya
a.       Pengertian Kuasa Secara Umum.
Pasal 1792 KUH Perdata sebagai berikut :
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan

Dalam perjanjian kuasa terdapat dua pihak, yaitu :
     ü   Pemberi Kuasa/ Latsgever/ instrucilon/ mandate.
     ü   Penerima Kuasa/ Kuasa/ yang diberi perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
2.      Sifat Perjanjian Kuasa.
Pasal 1792 dan 1793 (1) BW terdapat beberapa sifat pokok, yaitu :
a.       Penerima kuasa langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa.
b.      Pemberi kuasa bersifay konsensual.
c.       Berkarakter garansi – kontrak Pasal 1806 BW.



3.      Berakhirnya Kuasa – Pasal 1813 BW.
a.       Pemberi kuasa mnarik kembali secara sepihak (diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 BW dan 1819 BW).
b.      Salah satu pihak meninggal dunia Pasal 1813 BW.
c.       Penerima kuasa terlepas kuasa.

4.      Macam-macam Surat Kuasa
a.       Kuasa umum diatur Pasal 1795 BW, menurut Pasal ini, kuasa umum bertujuan memberikan kuasa kepada seorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuas
b.      Kuasa Istimewa
Pasal 1796 BH mengatur perihal pemberi kuasa istimewa, selanjutnya ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR dan Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut Hukum sebagai kuasa Hukum  istimewa.
c.       Kuasa Perantara.
Pasal 1792 BW dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen perdagangan atau makelar, disebut juga broker atau perwakilan dagang
d.      Kuasa Khusus (Pasal 123 HIR & Pasal 147 RBg serta SEMA No.01/1971).
Pasal 123 HIR atau Pasal 147 RBg dan SEMA No.01/1971, mengatur berbagai hal yang terkait dengan Surat Kuasa Khusus tersebut misalnya :
     ü   Surat kuasa khusus dapat dibuat secara dibawah tangan atau secara otentik.
     ü   Surat kuasa khusus harus menyebutkan identitas pemberi dan penerima kuasa.
     ü   Harus menyebutkan nomer perkara, bila sudah ada.
     ü   Pengadilan mana dan dimana.
     ü   Perihal apa dan untuk apa surat kuasa diberikan.
     ü   Bila ada rekonvensi dalam surat kuasa harus sudah menyebut dengan tegas.
     ü   Harus menyebut subyek dan obyek.
     ü   Harus bermaterai secukupnya.
     ü   Dll.


L.     GUGATAN DAN PERMOHONAN
1.      Gugatan Kontentiosa/ Gugatan Perdata/ Gugatan/ Gugat.
a.       Pengertian
Gugatan Kontentiosa adalah gugatan perdata yang mengandung sengketa diatara pihak yang berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan kepada pengadilan dengan posisi para pihak :
     ü   Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat.
     ü   Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian disebut dan berkedudukan sebagai tergugat.
     ü   Permasalahan Hukum yang diajukan ke Pengadilan mengandung sengketa.
     ü   Sengketa terjadi diantara para pihak.
     ü   Berarti gugatan perdata bersifat partai.
b.      Bentuk Gugatan.
Bentuk lisan (Pasal 120 HIR/ Pasal RBg).
Syarat formil gugatan lisan : bila penggugat tidak bisa membaca dan menulisan.
Cara pengajuan gugatan lisan :
     ü   Diajukan dengan lisan
     ü   Kepada Ketua PN dan
     ü   Menjelaskan dan menerangkan isi dan maksud gugatan.

Fungsi Ketua PN
  ü   Ketua PN wajib memberikan layanan.
  ü   Pelayanan yang harus diberikan Ketua PN.
  ü   Mencatat dan menyuruh catatan gugatan yang disampaikan penggugat.
  ü   Merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai dengan yang diterangkan oleh penggugat.
Sehubungan dengan ini Ketua PN pperlu diperhatikan putusan MA tentang ini yang menegaskan “adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud dengan opeh Penggugat.

c.       Bentuk Tulisan.
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalan bentuk tertulis. (Pasal 118 ayat 1 HIR, Pasal 142 RBg dan yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah :
     ü   Penggugat sendiri (Pasal 118 ayat 1 HIR)
     ü   Kuasa/ wakil (Pasal 123 ayat 1 HIR)

2.      Formulasi Surat Gugatan
a.       Ditujukan kepada Ketua PN sesuai dengan kopetensi relative.
b.      Diberi tanggal
c.       Ditandatangani oleh penggugat atau kuasa.
d.      Identitas para pihak.
     ü   Nama lengkap.
     ü   Alamat/ tempat tinggal
     ü   Penyebutan identitas lain tidak imperative.
e.       Alamat/ tempat tinggal.
Mengenai perumusan Posita gugatan muncul 2 teori yaitu :
Petitum Gugatan : hal-hal yang diminta agar diputuskan oleh hakim.

3.      Pencabutan Gugatan (Pasal 271-272 RV)
a.       HIR dan RBg. Tidak mengatur pencabutan gugatan.
b.      Pencabutan gugatan merupakan hak penggugat
     ü   Pencabutan mutlak hak penggugat selama pemeriksaan belum berlangsung.
     ü   Atas persetujuan tergugat apabila pemeriksaan telah berlangsung.
4.      Cara pencabutan
a.       Yang berhak melakukan pencabutan adalah penggugat sendiri secara pribadi atau kuasanya.
b.      Pencabutan gugatan yang belum diperiksa dilakukan dengan surat.
c.       Pencabutan gugatan yang sudah diperiksa dilakukan dalam sidang.

5.      Komulasi Gugatan/ Penggabungan Gugatan.
a.       Pengertian
Kumulasi gugatan adalah penggabungan lebih dari satu tuntutan hukuk kedalam satu gugatan.
b.      Tujuan penggabungan Gugatan.
     ü   Mewujudkan peradilan sederhana.
     ü   Menghindari putusan yang saling bertentangan.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.