HUKUM ACARA PERDATA
A. Pengertian
Hukum Acara Perdata
Prof. Dr. Sudikno mertokusumo, SH
Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang mengatur
bagaimana cara ditaatinya Hukum perdata materiil dengan peraturan hakim. Lebih
kongkrit dikatakan bahwa Hukum Acara
Perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak,
memeriksa, memutuskan, dan pelaksanaan daripada putusannya.
B. Sejarah
Terbentuknya Hukum Acara Perdata
Tanggal 5 Desember 1846 Gubernur Jendral Ijan Jacob Rochussen member tugas
kerua MA dan MA Tentara untuk membuat sebuah Reglemen bagi golongan Indonesia.
Tanggal 6 Agustus 1847 Jhr. Mr. H.L Wichers/ Ketua MA dan MA Tentara telah selesai dengan
rancangannya serta peraturan penjelasannya.
Tanggal 5 April 1848, Stbl. 1848 No. 16 Rancangan Wichers diterima dan di umumkan oleh Gubernur Jendral dengan
diberi nama “Het Inlands reglement” I.R. dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.
C.
Azas-asas Hukum Acara Perdata
Pengertian
Paul Scholten mendefinisikan asas Hukum sebagai
pikiran-pikiran dasar yang dapat didalam dan dibelakang system Hukum
masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim yang berkenan denganya, ketentuan-ketentuan dan
keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai jabarannya.
Harjono memberikan pengertian atas Hukum
yang mempunyai fungsi sebagai normal pemberi nilai.Jadi dengan singkat system
Hukum dibagin (secara substantive/ atas dasar nilai-nilai yang dikandung dalam
asas Hukum.
Sudikno
Mertokusumo Hukum Acara Perdata menyebut ada 7 asas yaitu :
1.
Hakim
Bersifat Menunggu. Pasal 118 HIR
dan Pasal 142 RBg.
Inisiatif untuk mengajukan tuntutan
hak diserahkan sepeuhnya kepada yang bersangkutan. Jadi apakah aka nada proses
atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak
semua diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, sedangkan Hakim bersifat
menunggu datagnya tuntutan hak diajukan kepadanya.
Akan tetapi sekali perkara diajukan
kepadanya, Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun
dengan dalih bahwa Hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 16 UU No. 4/2004).
Larangan untuk menolak memeriksa perkara sebabkan anggapan bahwa hakim tahu
akan hukumnya ( ius curi novit ),
kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan Hukum tertulis, maka ia wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum yang hidup dalam masyarakat
(Pasal 28 UU No. 4/2004).
2.
Hakim
Pasif. Pasal 178 (3) HIR dan Pasal 154
RBg.
Ruang lingkup atau luas pokok
sengketa yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan
oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim.Hakim hanya membantu para
pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya Peradilan (Pasal 28 UU No. 4/2004).
Hakim harus aktif memimpin sidang,
melancarkan jalane persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari
kebenaran, tetapi dalam memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap Tut
wuri, hakim terikat pada peritiwa yang diajukan oleh para pihak.
Para pihak dapar secara bebas
mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan,
sedangkan hakim tidak dapat menghalaginya.Hal ini dapat berupa perdamaian atau
pencabutan gugatan (Pasal 130 HIR, 154 RBg).
Hakim wajib mengadili semua gugatan
dan larangan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak di tuntut, atau
mengabulkan lebih dari yang di tuntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Pasal 189
ayat 2 dan 3 RBg.) apakah yang bersangkutan mengajukan banding atau tidak
itupun bukan kepentingan Hakim (Pasal 6 UU No. 20/1047, Pasal 199 RBg).
3.
Sifat
Terbuka Persidangan. Pasal 19 (1) dan
Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004.
Bahwa setiap orang dibolehkan hadir,
mendengar, dan menyaksikan pemeriksaan persidangan (kecuali di tuntut lain oleh
UU). Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam
bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan dengan
pertanggungjawaban pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adik
kepada masyarakat, (Pasal 19 ayat 1 UU No. 4/2004).
Namun ada juga persidangan yang sifatnya tertutup, misalnya
perkara perceraian, akan tetapi sidang pembacaan putusan harus terbuka, jika
tidak dinyatakan terbuka untuk umum keputusan itu tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukuk serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut Hukum.
4.
Mendengan
Kedua Belah Pihak. Pasal 5 (1) UU
No. 4/2004 dan Pasal 132a, 121 (2) HIR dan Pasal 145 (2), 157 RBg serta Pasal
47 RV.
Bahwa kedua belah pihak haruslah
diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa
Pengadilanmengadili menurut Hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5
UU No. 4/2004).
Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu
pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar dan diberi
kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, hal itu berarti juga bahwa
pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua
belah pihak (Pasal 132a, 121 Yt 2 HIR, Pasal 145 ayat 2, 157 RBg dan Pasal 47
Rv).
5.
Putusan
Harus Disertai Alasan-alasan. Pasal 25
UU No. 1/2004 Pasal 184 (1), 319 HIR dan Pasal 195, 618 RBg.
Semua putusan hakim harus memuat
alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 ayat 1 UU
No.4/2004, Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, Pasal 195, 618RBg).
Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat
kita lihat dari beberapa putusan MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak
lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi dan
harus dibatalkan.
6.
Beracara
dikenakan Biaya, Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004. Pasal 121 (4), 182, 183 HIR,
Pasal 145 (4), 192 RBg, kecuali Pasal 237 HIR, Pasal 273 RBg. Untuk berperkara
pada asanya dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2,5 ayat 2 UU No. 4/2004).
Biaya perkara ini meliputi biaya
kepaniteraan dan biaya untuk penggalian pemberitahuan para pihak serta biaya
materai.Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara maka harus pula
dikeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara,
dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo) dengan mendapatkan ijin
untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat
keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Polisi (Pasal 237 HIR, 237 RBg).
Akan tetapi dalam praktek surat keterangan tidak mampu dibuat oleh Camat daerah
tempat tinggal yang berkepentingan.
7.
Tidak
ada keharusan mewakilkan. Pasal 123 HIR, 147 RBg.
HIR tidak mewajibkan para pihak
untuk mewakili kapada orang lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi
secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi
para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya
(Pasal 123 HIR, 147 RBg).
Setiawan menyebutkan ada 8 asas yaitu :
1. Asas kesederhanaan. Pasal 4 (2), 5
(2) UU No. 4/2004
2. Pengadilanmengadili menurut Hukum
dengan tidak membedakan orang, Pasal 5 (1) UU No. 4/2004.
3. Hakim aktif memimpin proses. Pasal
132 HIR, Pasal 156 RBg.
4. Memberikan perlakuan yang sama
kepada para pihak yang berperkara.
5. Para pihak memiliki kedudukan yang
sama.
6. Suatu putusan Pengadilanharus diberi
suatu pertimbangan yang cukup.
7. Penyelesaian perkara dalam waktu
yang pantas.
8. Hukum acara itu sendiri bukan
tujuan.
9.
D. Sumber
Hukum Acara Perdata
1. Pengertian
Sumber Hukum Acara Perdata
Secara
sederhana Sumber Hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan dan
tepat ditemukannya aturan-aturan Hukum.
2. Macam-macam
Sumber Hukum Acara Perdata
a. Peraturan
Perundang-undangan
o
HIR
: Het Herzein Indonesisch Reglement Stb. 1848 No. 16 Jonto Stb, 1941 No. 44
berlaku untuk daerah jawa dan Madura.
o
RBg
: Rechtsreglement Buitengewesten Stb. 1927 No. 227 Untuk luar jawa dan Madura.
o
BW
Buku ke IV : Burgelijke Wetboek Voor Indonesisch
o
RV
: Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering Stb. 1847 No. 52 Jo. Stb. 1849 No.
63 Hukum Acara Perdata untuk golongan eropa.
o
UU
No. 20/1947, UU tentang Peradilan Ulangandi Jawa dan Madura.
o
UU
No. 04/2004, UU tentang Kekuasaan Kehakiman.
o
UU
No. 14/1985 Jo, UU No. 5/2004.
o
UU
No. 2/1986 Jo, UU No. 8/2004 UU tentang Lingkungan Peradilan Umum.
o
UU
No. 7/1989 UU tentang Peradilan Agama.
o
UU
No. 1/1974 dan PP No. 9/1975
o
PERMA
dan SEMA.
b. Yurisprudensi
c. Adat kebiasaan yang dianut oleh para
hakim dalam melakukan Pemeriksaan Perkara Perdata.
d. Doktrin
e. Perjanjian
International
f. Perjanjian kerjasama di bidang
peradilan antara RI dan Kerajaan Thailand.
E. BADAN
PERADILAN UMUM DAN KHUSUS
1. Susunan
Badan Peradilan Umum dan Khusus.
Kekuasaan
Kehakiman dilaksanakan :
a.
Mahkaman
Agung dan Badan Peradilan yang ada dibawahnya : Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer.
b.
Mahkamah
Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk :
o
Menguji
UU terhadap UUD
o
Memutuskan
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan UUD
o
Memutus
pembubaran Partai Politik
o
Memutus
sengketa hasil Pemilu.
(Pasal
24 ayat 2 UUD 1945 ; Pasal 10 UU No. 4/2004; Pasal 12 UU No.4/2004; Pasal 2 UU
NO.4/2004).
Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4/2004
Pasal 1 : Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan Negara yang merdeka.
Pasal 4
: Peradilan dilakukan “Demi
keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pasal 8
: “Asas Praduga tak bersalah”
Pasal 10 : Kekuasaan Kehakiman dilakukan
oleh sebuah MA dan badan Peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah MK.
Pasal 12
: MK berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
o
Menguji
UU terhadap UUD 1945.
o
Memutus
Sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara
RI 1945.
o
Memutus
pembubaran Parpol dan
o
Memutus
Perselisihan tentang hasil Pemilu.
Pasal 16
: Pengadilantidak boleh
menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa Hukum tidak atau kurang jela, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
Pasal 11 : MA Berwenang menguji Peraturan
Perundang-undangan di bawah ayat 2.b UU terhadap UU.
Pasal 19 : Sidang Pemeriksaan
Pengadilanadalah terbuka untuk umum, kecuali UU menentukan lain.
Pasal 28
: Hakim wajib
Menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai Hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
Pasal 20
: Semua peraturan Peradilan hanya sah dan mempunyai kekuatan Hukum
apabila di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 37
: Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
Hukum.
F. Kekuasan
Peradilan Umum dan Khusus.
1. Kekuasan
Peradilan Umum (UU No.2/1986 & UU No. 8/2004
o
Kekuasaan
Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh PengadilanTinggi
(Pasal 3 UU No. 2/1986).
o
PengadilanNegeri
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan
perdata di tingkat pertama (Pasal 50 UU No. 2/1986).
o
PengadilanTinggi
bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perfata di tingkat banding
(Pasal 51 (1) dan mengadili tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan
mengadili antara PN dan daerah hukumannya (Pasal 51 (2) UU No.2/1986).
2. Kekuasaan
PengadilanAgama (UU No. 7/1989 Jo, UU No.3/2006)
Pasal
49 UU No.3/2006 :
PengadilanAgama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara
ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
a. Perkawinan
:
Perkawinan
adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang Perkawinan yang
berlaku dan dilakukan menurut syari’ah (Penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49).
b. Kewarisan :
Waris
adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan Pengadilanatas permohonan
seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian
masing-masing ahli waris.
c. Wasiat :
Wasiat
adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang
lain atau lembaga badan Hukum, yang berlaku setelah yang member tersebut
meningal dunia.
d. Hibah :
Hibah
adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
atau badan Hukum kepada orang lain atas badan Hukum untuk dimiliki.
e. Wakaf :
Wakaf
adalah perbuatan seorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan
atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
f. Zakat :
Zakat
adalahharta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan Hukum yang
memiliki oleh orang islam sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan
kepada orang yang berhak menerimanya.
g. Infaq :
Infaq
adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi
kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan risky
(karuania) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas,
dank arena Allah S.W.T
h.
Shodagoh dan
i.
Ekonomi Syari’ah.
G. Kekuasaan
PengadilanTUN (UU No. 5/1986 & UU No. 9/2004)
o
Kewenangan
PTUN diatur dalam Pasal 47 UU no. 5/1986 Sengketa TUN.
o
Kewenangan
PTUN diatur dalam Pasal 51 UU no. 5/1986
H.
Kekuasaan Peradilan Militer.
o
UU
No. 31 Tahun 1997
I. Kekuasaan
MA (UU No. 14/1985 Jo. UU No.5/2004)
MA Bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
1. Permohonan Kasasi.
2. Sengketa tetang kewenangan
mengadili.
3. Permohonan meninjauh kembali putusan
Pengadilanyang yelah memperoleh kekuatan Hukum tetap (Pasal 28 UU No.14/1985)
J. Kompetensi/
Kewenangan Mengadil
Hukum Acara Perdata mengenal dua macam kewenangan yaitu :
1. Kewenangan Mutlak/ Absolut.
2. Kewenangan Relative/ NISBI Pasal 133
HIR, Pasal 159 RBg, Pasasl 136 HIR ataun 162 RBg, menyangkut pembagian
kekuasaan mengadili antar Pengadilanyang serupa tergantung dari tempat tinggal
tergugat, azasnya adalah yang berwenang adalah PengadilanNegeri tempat tinggal
tergugat, azas ini dengan bahasa latin dikenal “Actor Sequitoir Forum Rei”.
K. SURAT
KUASA KHUSUS
1. Kuasa Pada
Umumnya
a. Pengertian
Kuasa Secara Umum.
Pasal 1792 KUH Perdata sebagai berikut :
Pemberian
kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada
seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu
urusan
Dalam
perjanjian kuasa terdapat dua pihak, yaitu :
ü Pemberi Kuasa/ Latsgever/ instrucilon/ mandate.
ü Penerima Kuasa/ Kuasa/ yang diberi
perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
2. Sifat
Perjanjian Kuasa.
Pasal 1792 dan 1793 (1) BW terdapat beberapa sifat pokok, yaitu
:
a. Penerima kuasa langsung berkapasitas
sebagai wakil pemberi kuasa.
b. Pemberi kuasa bersifay konsensual.
c. Berkarakter garansi – kontrak Pasal 1806 BW.
3. Berakhirnya
Kuasa – Pasal 1813 BW.
a. Pemberi kuasa mnarik kembali secara
sepihak (diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 BW dan 1819 BW).
b. Salah satu pihak meninggal dunia
Pasal 1813 BW.
c. Penerima kuasa terlepas kuasa.
4. Macam-macam
Surat Kuasa
a. Kuasa umum diatur Pasal 1795 BW,
menurut Pasal ini, kuasa umum bertujuan memberikan kuasa kepada seorang untuk
mengurus kepentingan pemberi kuas
b. Kuasa Istimewa
Pasal
1796 BH mengatur perihal pemberi kuasa istimewa, selanjutnya ketentuan
pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR dan
Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai diperlukan beberapa
syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut Hukum sebagai kuasa
Hukum istimewa.
c. Kuasa Perantara.
Pasal
1792 BW dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen perdagangan atau makelar,
disebut juga broker atau perwakilan dagang
d. Kuasa Khusus (Pasal 123 HIR &
Pasal 147 RBg serta SEMA No.01/1971).
Pasal
123 HIR atau Pasal 147 RBg dan SEMA No.01/1971, mengatur berbagai hal yang
terkait dengan Surat Kuasa Khusus tersebut misalnya :
ü Surat kuasa khusus dapat dibuat
secara dibawah tangan atau secara otentik.
ü Surat kuasa khusus harus menyebutkan
identitas pemberi dan penerima kuasa.
ü Harus menyebutkan nomer perkara,
bila sudah ada.
ü Pengadilan mana dan dimana.
ü Perihal apa dan untuk apa surat
kuasa diberikan.
ü Bila ada rekonvensi dalam surat
kuasa harus sudah menyebut dengan tegas.
ü Harus menyebut subyek dan obyek.
ü Harus bermaterai secukupnya.
ü Dll.
L. GUGATAN
DAN PERMOHONAN
1. Gugatan
Kontentiosa/ Gugatan Perdata/ Gugatan/ Gugat.
a. Pengertian
Gugatan
Kontentiosa adalah gugatan perdata yang mengandung sengketa diatara pihak yang
berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan kepada pengadilan dengan
posisi para pihak :
ü Yang mengajukan penyelesaian
sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat.
ü Sedangkan yang ditarik sebagai pihak
lawan dalam penyelesaian disebut dan berkedudukan sebagai tergugat.
ü Permasalahan Hukum yang diajukan ke
Pengadilan mengandung sengketa.
ü Sengketa terjadi diantara para
pihak.
ü Berarti gugatan perdata bersifat partai.
b. Bentuk
Gugatan.
Bentuk
lisan (Pasal 120 HIR/ Pasal RBg).
Syarat
formil gugatan lisan : bila penggugat tidak bisa membaca dan menulisan.
Cara
pengajuan gugatan lisan :
ü Diajukan dengan lisan
ü Kepada Ketua PN dan
ü Menjelaskan dan menerangkan isi dan maksud
gugatan.
Fungsi
Ketua PN
ü
Ketua
PN wajib memberikan layanan.
ü
Pelayanan
yang harus diberikan Ketua PN.
ü
Mencatat
dan menyuruh catatan gugatan yang disampaikan penggugat.
ü
Merumuskan
sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai dengan yang diterangkan
oleh penggugat.
Sehubungan
dengan ini Ketua PN pperlu diperhatikan putusan MA tentang ini yang menegaskan
“adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan
tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa
sebetulnya yang dimaksud dengan opeh Penggugat.
c. Bentuk Tulisan.
Gugatan
yang paling diutamakan adalah gugatan dalan bentuk tertulis. (Pasal 118 ayat 1
HIR, Pasal 142 RBg dan yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan
perdata adalah :
ü Penggugat sendiri (Pasal 118 ayat 1
HIR)
ü Kuasa/ wakil (Pasal 123 ayat 1 HIR)
2. Formulasi
Surat Gugatan
a. Ditujukan kepada Ketua PN sesuai
dengan kopetensi relative.
b. Diberi tanggal
c. Ditandatangani oleh penggugat atau
kuasa.
d. Identitas para pihak.
ü Nama lengkap.
ü Alamat/ tempat tinggal
ü Penyebutan identitas lain tidak
imperative.
e. Alamat/ tempat tinggal.
Mengenai
perumusan Posita gugatan muncul 2 teori yaitu :
Petitum
Gugatan : hal-hal yang diminta agar diputuskan oleh hakim.
3. Pencabutan
Gugatan (Pasal 271-272 RV)
a. HIR dan RBg. Tidak mengatur
pencabutan gugatan.
b. Pencabutan gugatan merupakan hak
penggugat
ü Pencabutan mutlak hak penggugat
selama pemeriksaan belum berlangsung.
ü Atas persetujuan tergugat apabila
pemeriksaan telah berlangsung.
4. Cara pencabutan
a. Yang berhak melakukan pencabutan
adalah penggugat sendiri secara pribadi atau kuasanya.
b. Pencabutan gugatan yang belum
diperiksa dilakukan dengan surat.
c. Pencabutan gugatan yang sudah
diperiksa dilakukan dalam sidang.
5. Komulasi
Gugatan/ Penggabungan Gugatan.
a. Pengertian
Kumulasi
gugatan adalah penggabungan lebih dari satu tuntutan hukuk kedalam satu
gugatan.
b. Tujuan penggabungan Gugatan.
ü Mewujudkan peradilan sederhana.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.