Rabu, 22 Januari 2014

berlakunya hukum pidana


Hukum pidana berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dan aturan-aturannya telah disusun dalam satu kitab undang-undang (wetboek), yang dinamakan kitab undang-undang hukum pidana, menurut suatu system tertentu. Aturan-aturan pidana yang diluar wetboek ini, seperti dalam peraturan lalu lintas (wegverkeersordonantie dan wegverkeersverordening), dalam peraturan Devizen, dalam peraturan pemilihan anggota konstituente dan DPR (undang-undang tahun 1952- No. 7), dan masih banyak peraturan-peraturan lain. Semuanya tunduk kepada system yang dipakai dalam kitab undang-undang hukum pidana, hal mana ternyata dan pasal 103 KUHP, yang berbunyi : “ketentuan-ketentuan dalam Bab I s. d Bab VIII dan buku ke-1 (aturan-aturan umum), juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh aturan-aturan dalam perundangan lain diancam dengan pidana, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang.[1]
Selain daripada hukum pidana kita yang telah dikodifikasi maka bagian hukum ini juga telah diunifikasi, yaitu berlaku bagi semua golongan rakyat, sehingga tidak ada dualisme lagi seperti dalam hukum perdata, dimana bagi golongan rakyat bumiputera berlaku hukum yang lain daripada yang berlaku bagi golongan eropa.[2]
A.    Berlakunya Hukum Pidana
Telah dikatakan bahwa dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis : tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai pertanggung jawabannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Jadi, mengenai criminal responsibility atau criminal liability. Tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, mengenai criminal act, juga ada dasar yang pokok, yaitu : asas legalitas (principle of legality), asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya itu dikenal dengan bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia  lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu).
Ucapan Nullum delictum nulla poena sine praevia  legeini berasak dari van Feuerbach, sarjana hukum pidana jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskan dalam pepatah latin tadi dalam bukunya : lehbuch des peinlichen recht (1801).[3]
Diantara crimina extra ordinaria yang sangat terkenal adalah criminal stellionatus, yang letterlijk, artinya : perbuatab jahat, durjana. Jadi tidak ada ditentukan perbuatan berupa apa yang dimaksud disitu.[4]
            Perumusana asas legalitas dan von feurbach dalam bahasa lati itu dikemukakan berhubungan dengan teorinya ynag dikenal dengan nama teori “vom psychlogischen zwang”, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam perauran bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi terlebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakuan.
Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian, yaitu :
1.      Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam dautau undang-undang.
2.      Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak digunakan analogi (kiah)
3.      Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[5]

B.     Perubahan Berlakunya Hukum Pidana
Sekarang yang menajdi soal ialah : bagaimanakah jika setelah perbuatan dilakukan, akan tetapi sebelum perkara diadili, ada perubahan dalam aturan hukum ? pasal 1 ayat 2 KUHP menentukan : “jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya (terdakwa)”. Dengan ketentuan ini maka, pada lex temporis delicti di atas diadakan pembatasan, dalam arti bahwa asas itu tidak berlaku jika ada perubahan dalam perundang-undangansesudah perbuata dilakukan dan sebelum perkara diadili. Dalam hal demikian, yang dipakai untuk mengadili adalah aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Contoh : menurut aturan yang belraku pencurian diancam pidana penjara maksimum 5 tahun. Orang mencuri pada tanggal 17 september 1955. Pada waktu ia masih dalam pemeriksaan pemulaan, pada tanggal 17 oktober 1955 aturan tersebut diubah, yaitu maksimum 5 tahun berhubung usaha untuk lebih menegakkan keamanan, dinaikan menjadi 8 tahun. Ia diadili pada tanggal 17 november 1955. Aturan apakah yang harus dipakai oleh hakim ?. yang paling ringan bagi terdakwa , yaitu aturan lama. Sebaliknya, jika perubahan pada tanggal 17 oktober 1955 itu membawa penurunan ancaman pidana, misalnya menjadi 5 tahun , maka aturan barulah yang harus dipakai.
Dari contoh diatas, kiranya tidak ada kesulitan. Jika ancaman pidana diubah, teranglah disitu aturan yang berat dan yang ringan bagi terdakwa.[6] Jika perubahan timbul karena sifat sementara aturan, jadi waktu berlakunya aturan sudah habis, maka itu bukan perubahan dalam arti pasal 1 ayat 2.[7]
            Dalam praktikpun aturan yang paling ringan itu menibulkan soal-soal yang sulit dan juga dapat menimbulkan perasaan yang tidak adil, antara lain, jika ada beberapa orang yang bersama-sama melakukan kejahatan dan sebagian telah diadili menurut aturan yang ada, sedangkan yang lain karena belum tertangkap ketika itu, harus diadili belakangan. Jika sementara itu ada perubahanperundang-undangan yang mnguntungkan terdakwa, maka yang diadili belakangan ini, harus dikenakan aturan tersebut, tetapi yang lain tidak.[8]

C.    Batas-batas berlakunya Hukum Pidana
Dalam pasal 1 ayat 2 KUHP, diadakan aturan-aturan mengenai batasa-batas  berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut waktu atau saat terjadinya perbuatan. Dalam pasal 2 sampai 9 KUHP sebaliknya diadaka aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat terjadinya perbuatan.
Ditinjau dari sudut Negara , ada dua kemungkinan pendirin tersebut, yaitu :
1.      Perundangn-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah Negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang asing (asas territorial).
2.      Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga diluar wilayah Negara (asas personal). Juga dinamakan prinsip nasional yang aktif.
Dalam asas pertama, titim berat diletakkan pada terjadinya perbuatan di dalam wilayah Negara. Siapa yang melakukannya. Warga Negara atau orang asing, tidak menjadi soal.[9] Dalam asas kedua, titik berat diletakkan pada orang yang melakukan perbuatan pidana , tempat terjadinya delik adalah tidka penting. Asas yang pertmalah yang pada masa ini lazim dipakai oleh kebanyakan Negara, juga Indonesia. Dan itu sudah sewajarnya. Asas yang kedua tidka mungkin lagi digunakan sepenuhnya apabila warga Negara berada di wilayah Negara lain yang kedudukannya gecooordineerd, artinya yang sama-sama berdaulat, karena bertentangan dengan kadaulatan Negara ini, apabila ada orang asing di dalam wilayahnya , tidak diadili menurut Negara itu.[10]
Sekarang marilah kita tinjau pasal 2-9 KUHP satu persatu :
Pasal 2 KUHP : ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam wilayah Indonesia bersalah melakukan perbuatan pidana. Disini dengan tegas dinyatakan asas territorial.
Dalam pasal 2 UUDS dahulu mengenai wilayah atau territorial dikatakan : Republik Indonesia meliputi seluruh daerah Indonesia. Dan dalam penjelasan atas rancangan undang-undang dasar ini tersebut, bahwa yang dimaksud dengan daerah Indonesia itu, ialah daerah Hindia Belanda dulu, termasuk Irian Barat.[11]
Pasal 3 KUHP : ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku  bagi setiap orang di luar wilayah Indonesia melakukan delik di dalam perahu atau pesawat udara Indonesia.[12]
Pasal 4 KUHP : aturan-aturan pidana dalam perundang-undnagna Indonesia berlaku bag setiap orang yang diluar wilayah Negara bersalah :
Ke- 1, melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 111 bis ke- 1, 127 dan 131.
Ke- 2, melakukan suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikelaurakn oleh Negara atas bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan atau merek yang dugunakan oleh pemerintah Indonesia.
Ke- 3, memalsukan surat-surat  atau sertifikat utang atas tanggungna Indonesia, atas tanggungan suatu daerag atau suatu bagian daerah Indonesia, termasuk pula memalsukan talon-talon, tanda-tanda dividen atau tanda-tanda bunga yang megikuti surat-surat atau sertifikat di atas dan tanda-tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu atau dengan sengaja menggunakan surat-surat di atas yang palsi atau yang dipalsukanseolah-olah asli dan tidak dipalsukan.
Ke- 4, melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal [13] 438, 444, 446 yang mengenai perampokan dari yang tersebut dalam pasal 447 yang mengenai memasukan perahu ke dalam kekuasaan bajak laut.[14]
Pasal 5 KUHP : aturan-aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga Negara yang diluar wilayah Negara bersalah :
Ke- 1, melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dalam bab I dan II buku ke-II dan dalam pasal-pasal 160, 240, 278, 450 dan 451.
Ke- 2, melakukan salah satu perbuiatab yang oleh undang-undang hukum pidana Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut undang-undang Negara di mana perbuatan itu dilakukan, diancam dengan pidana.[15]
Pasal 7 KUHP : ketentuan-ketentuan pidana dalam perundangan-undnagan Indonesia berlaku bagi penjabat Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia bersalah melakukan yang tersebut dalam Bab XXVIII buku kedua.[16]
Pasal 8 KUHP : ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-udangan Indonesia berlaku bagi nahkoda-nahkoda dan penumpang-penumpang perahu Indonesia yang di luar wilayah Indonesia, juga pada waktu mereka diluar perahu, bersalah melakukan perbuatan pidana yang tersebut dalam Bab XXIX buku ke- II dan Bab IX buku ke-III kejahatan dan pelanggrakan 9pelayaran), begitu pula yang tersebut dalam perundang-undangan umum mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia dan dalam ordonantie kapal 1927.[17]
Pasal 9 KUHP : pasal-pasal 2, 5, 7 dan 8 dibatasi oleh kecualian-kecualian yang diakui oleh hukum internasional.
D.    Masalah Ekstradisi
Beberapa ketentuan-ketentuan yang penting dari aturan penyerahan adalah :
Pasal 1 : penyerahan orang asing hanya mungkin jika memenuhi syarat-syarat tersebut dalam peraturan ini.
Pasal 2 : penentuan macam-=macamnya perbauatan pidana memungkinkan penyerahan.
Pasal 4 : poenyerahan tidak dilakukan , selama orang asing itu sedang dituntut perkaranya, atau sesudahnya diadili[18] dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan.
Pasal 8 : penyerahan dimintakan dengan melalui jalan diplomatic.
Prof. pompe (hlm 478) menyatakan, bahwa pasal 5 ke-2 adalah imbangan dari hasrat pemerintah agar warga Negara di negeri asing mendapat perlindungan. Jadi untuk kepentingan nasional. Artinya, jika mengingini bahwa warga Negara kita di negeri asing mendapat perlindungan, maka sebaliknya kita jangan melindungi warga Negara yang sesudah melakukan perbuatan pidana di negeri asing. Lalu melarikan diri pulan ke tanah air kita. Kita harus menuntut dan memidana mereka atas perbuatan di luar negeri tadi, menurut hukum pidana kita. [19]


[1] Prof. moeljatno, S. H. asas-asas hukum pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2008. Hal 17
[2] Ibid, Hal 18
[3] Ibid, Hal 25
[4] Ibid, Hal 26
[5] Ibid, Hal 27-28
[6] Ibid, Hal 34-35
[7] Ibid, Hal 37
[8] Ibid, Hal 39
[9] Ibid, Hal 42
[10] Ibid, Hal 43
[11] Ibid, Hal 45
[12] Ibid, Hal 46
[13] Ibid, Hal 47
[14] Ibid, Hal 48
[15] Ibid, Hal 49
[16] Ibid, Hal 53
[17] Ibid, Hal 54
[18] Ibid,
[19] Ibid, Hal 52

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.