Hukum
pidana berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang telah
dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dan aturan-aturannya telah disusun dalam
satu kitab undang-undang (wetboek), yang dinamakan kitab
undang-undang hukum pidana, menurut suatu system tertentu. Aturan-aturan pidana
yang diluar wetboek ini, seperti dalam peraturan lalu lintas
(wegverkeersordonantie dan wegverkeersverordening), dalam peraturan Devizen,
dalam peraturan pemilihan anggota konstituente dan DPR (undang-undang tahun
1952- No. 7), dan masih banyak peraturan-peraturan lain. Semuanya tunduk kepada
system yang dipakai dalam kitab undang-undang hukum pidana, hal mana ternyata
dan pasal 103 KUHP, yang berbunyi : “ketentuan-ketentuan dalam Bab I s. d Bab
VIII dan buku ke-1 (aturan-aturan umum), juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan
yang oleh aturan-aturan dalam perundangan lain diancam dengan pidana, kecuali
kalau ditentukan lain oleh undang-undang.[1]
Selain
daripada hukum pidana kita yang telah dikodifikasi maka bagian hukum ini juga telah
diunifikasi, yaitu berlaku bagi semua golongan rakyat, sehingga tidak ada
dualisme lagi seperti dalam hukum perdata, dimana bagi golongan rakyat
bumiputera berlaku hukum yang lain daripada yang berlaku bagi golongan eropa.[2]
A.
Berlakunya
Hukum Pidana
Telah dikatakan bahwa dasar yang pokok dalam
menjatuhi pidana orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang
tidak tertulis : tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah
mengenai pertanggung jawabannya seseorang atas perbuatan yang telah
dilakukannya. Jadi, mengenai criminal
responsibility atau criminal
liability. Tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu
perbuatan, yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, mengenai criminal act, juga ada dasar yang pokok,
yaitu : asas legalitas (principle of
legality), asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan. Biasanya itu dikenal dengan bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine
praevia lege (tidak ada delik, tidak
ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu).
Ucapan Nullum
delictum nulla poena sine praevia legeini
berasak dari van Feuerbach, sarjana hukum pidana jerman (1775-1833). Dialah
yang merumuskan dalam pepatah latin tadi dalam bukunya : lehbuch des peinlichen recht (1801).[3]
Diantara
crimina extra ordinaria yang sangat
terkenal adalah criminal stellionatus,
yang letterlijk, artinya : perbuatab
jahat, durjana. Jadi tidak ada ditentukan perbuatan berupa apa yang dimaksud
disitu.[4]
Perumusana asas legalitas dan von
feurbach dalam bahasa lati itu dikemukakan berhubungan dengan teorinya ynag
dikenal dengan nama teori “vom
psychlogischen zwang”, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam perauran bukan saja tentang macamnya
perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya
pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang akan
melakukan perbuatan yang dilarang tadi terlebih dahulu telah diketahui pidana
apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakuan.
Biasanya
asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian, yaitu :
1. Tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam dautau undang-undang.
2. Untuk
menentukan adanya perbuatan pidana tidak digunakan analogi (kiah)
3. Aturan-aturan
hukum pidana tidak berlaku surut.[5]
B.
Perubahan
Berlakunya Hukum Pidana
Sekarang yang menajdi soal ialah : bagaimanakah jika
setelah perbuatan dilakukan, akan tetapi sebelum perkara diadili, ada perubahan
dalam aturan hukum ? pasal 1 ayat 2 KUHP menentukan : “jika ada perubahan dalam
perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya (terdakwa)”. Dengan ketentuan
ini maka, pada lex temporis delicti
di atas diadakan pembatasan, dalam arti bahwa asas itu tidak berlaku jika ada
perubahan dalam perundang-undangansesudah perbuata dilakukan dan sebelum perkara
diadili. Dalam hal demikian, yang dipakai untuk mengadili adalah aturan yang
paling ringan bagi terdakwa.
Contoh : menurut aturan yang belraku pencurian
diancam pidana penjara maksimum 5 tahun. Orang mencuri pada tanggal 17
september 1955. Pada waktu ia masih dalam pemeriksaan pemulaan, pada tanggal 17
oktober 1955 aturan tersebut diubah, yaitu maksimum 5 tahun berhubung usaha
untuk lebih menegakkan keamanan, dinaikan menjadi 8 tahun. Ia diadili pada
tanggal 17 november 1955. Aturan apakah yang harus dipakai oleh hakim ?. yang
paling ringan bagi terdakwa , yaitu aturan lama. Sebaliknya, jika perubahan
pada tanggal 17 oktober 1955 itu membawa penurunan ancaman pidana, misalnya
menjadi 5 tahun , maka aturan barulah yang harus dipakai.
Dari
contoh diatas, kiranya tidak ada kesulitan. Jika ancaman pidana diubah,
teranglah disitu aturan yang berat dan yang ringan bagi terdakwa.[6]
Jika perubahan timbul karena sifat sementara aturan, jadi waktu berlakunya
aturan sudah habis, maka itu bukan perubahan dalam arti pasal 1 ayat 2.[7]
Dalam praktikpun aturan yang paling
ringan itu menibulkan soal-soal yang sulit dan juga dapat menimbulkan perasaan
yang tidak adil, antara lain, jika ada beberapa orang yang bersama-sama
melakukan kejahatan dan sebagian telah diadili menurut aturan yang ada,
sedangkan yang lain karena belum tertangkap ketika itu, harus diadili
belakangan. Jika sementara itu ada perubahanperundang-undangan yang
mnguntungkan terdakwa, maka yang diadili belakangan ini, harus dikenakan aturan
tersebut, tetapi yang lain tidak.[8]
C.
Batas-batas
berlakunya Hukum Pidana
Dalam pasal 1 ayat 2 KUHP, diadakan aturan-aturan
mengenai batasa-batas berlakunya
perundang-undangan hukum pidana menurut waktu atau saat terjadinya perbuatan.
Dalam pasal 2 sampai 9 KUHP sebaliknya diadaka aturan-aturan mengenai
batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat
terjadinya perbuatan.
Ditinjau dari sudut Negara , ada dua kemungkinan
pendirin tersebut, yaitu :
1. Perundangn-undangan
hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah
Negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang asing
(asas territorial).
2. Perundang-undangan
hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga
Negara, dimana saja, juga diluar wilayah Negara (asas personal). Juga dinamakan
prinsip nasional yang aktif.
Dalam
asas pertama, titim berat diletakkan pada terjadinya perbuatan di dalam wilayah
Negara. Siapa yang melakukannya. Warga Negara atau orang asing, tidak menjadi
soal.[9]
Dalam asas kedua, titik berat diletakkan pada orang yang melakukan perbuatan
pidana , tempat terjadinya delik adalah tidka penting. Asas yang pertmalah yang
pada masa ini lazim dipakai oleh kebanyakan Negara, juga Indonesia. Dan itu
sudah sewajarnya. Asas yang kedua tidka mungkin lagi digunakan sepenuhnya
apabila warga Negara berada di wilayah Negara lain yang kedudukannya gecooordineerd, artinya yang sama-sama
berdaulat, karena bertentangan dengan kadaulatan Negara ini, apabila ada orang
asing di dalam wilayahnya , tidak diadili menurut Negara itu.[10]
Sekarang
marilah kita tinjau pasal 2-9 KUHP satu persatu :
Pasal
2 KUHP : ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
bagi setiap orang yang dalam wilayah Indonesia bersalah melakukan perbuatan
pidana. Disini dengan tegas dinyatakan asas territorial.
Dalam
pasal 2 UUDS dahulu mengenai wilayah atau territorial dikatakan : Republik
Indonesia meliputi seluruh daerah Indonesia. Dan dalam penjelasan atas
rancangan undang-undang dasar ini tersebut, bahwa yang dimaksud dengan daerah
Indonesia itu, ialah daerah Hindia Belanda dulu, termasuk Irian Barat.[11]
Pasal
3 KUHP : ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Indonesia
melakukan delik di dalam perahu atau pesawat udara Indonesia.[12]
Pasal
4 KUHP : aturan-aturan pidana dalam perundang-undnagna Indonesia berlaku bag
setiap orang yang diluar wilayah Negara bersalah :
Ke-
1, melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 104, 106, 107,
108, 111 bis ke- 1, 127 dan 131.
Ke-
2, melakukan suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang
dikelaurakn oleh Negara atas bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan
atau merek yang dugunakan oleh pemerintah Indonesia.
Ke-
3, memalsukan surat-surat atau
sertifikat utang atas tanggungna Indonesia, atas tanggungan suatu daerag atau
suatu bagian daerah Indonesia, termasuk pula memalsukan talon-talon,
tanda-tanda dividen atau tanda-tanda bunga yang megikuti surat-surat atau
sertifikat di atas dan tanda-tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti
surat-surat itu atau dengan sengaja menggunakan surat-surat di atas yang palsi
atau yang dipalsukanseolah-olah asli dan tidak dipalsukan.
Ke-
4, melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal [13]
438, 444, 446 yang mengenai perampokan dari yang tersebut dalam pasal 447 yang
mengenai memasukan perahu ke dalam kekuasaan bajak laut.[14]
Pasal
5 KUHP : aturan-aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
warga Negara yang diluar wilayah Negara bersalah :
Ke-
1, melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dalam bab I dan II buku ke-II
dan dalam pasal-pasal 160, 240, 278, 450 dan 451.
Ke-
2, melakukan salah satu perbuiatab yang oleh undang-undang hukum pidana
Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut undang-undang Negara
di mana perbuatan itu dilakukan, diancam dengan pidana.[15]
Pasal
7 KUHP : ketentuan-ketentuan pidana dalam perundangan-undnagan Indonesia
berlaku bagi penjabat Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia bersalah
melakukan yang tersebut dalam Bab XXVIII buku kedua.[16]
Pasal
8 KUHP : ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-udangan Indonesia berlaku
bagi nahkoda-nahkoda dan penumpang-penumpang perahu Indonesia yang di luar
wilayah Indonesia, juga pada waktu mereka diluar perahu, bersalah melakukan
perbuatan pidana yang tersebut dalam Bab XXIX buku ke- II dan Bab IX buku
ke-III kejahatan dan pelanggrakan 9pelayaran), begitu pula yang tersebut dalam
perundang-undangan umum mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia dan
dalam ordonantie kapal 1927.[17]
Pasal
9 KUHP : pasal-pasal 2, 5, 7 dan 8 dibatasi oleh kecualian-kecualian yang
diakui oleh hukum internasional.
D.
Masalah
Ekstradisi
Beberapa
ketentuan-ketentuan yang penting dari aturan penyerahan adalah :
Pasal
1 : penyerahan orang asing hanya mungkin
jika memenuhi syarat-syarat tersebut dalam peraturan ini.
Pasal
2 : penentuan macam-=macamnya perbauatan
pidana memungkinkan penyerahan.
Pasal
4 : poenyerahan tidak dilakukan , selama
orang asing itu sedang dituntut perkaranya, atau sesudahnya diadili[18]
dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan.
Pasal
8 : penyerahan dimintakan dengan melalui
jalan diplomatic.
Prof.
pompe (hlm 478) menyatakan, bahwa pasal 5 ke-2 adalah imbangan dari hasrat
pemerintah agar warga Negara di negeri asing mendapat perlindungan. Jadi untuk
kepentingan nasional. Artinya, jika mengingini bahwa warga Negara kita di
negeri asing mendapat perlindungan, maka sebaliknya kita jangan melindungi
warga Negara yang sesudah melakukan perbuatan pidana di negeri asing. Lalu
melarikan diri pulan ke tanah air kita. Kita harus menuntut dan memidana mereka
atas perbuatan di luar negeri tadi, menurut hukum pidana kita. [19]
[1]
Prof. moeljatno, S. H. asas-asas hukum
pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2008. Hal 17
[2]
Ibid, Hal 18
[3]
Ibid, Hal 25
[4]
Ibid, Hal 26
[5]
Ibid, Hal 27-28
[6]
Ibid, Hal 34-35
[7]
Ibid, Hal 37
[8]
Ibid, Hal 39
[9]
Ibid, Hal 42
[10]
Ibid, Hal 43
[11]
Ibid, Hal 45
[12]
Ibid, Hal 46
[13]
Ibid, Hal 47
[14]
Ibid, Hal 48
[15]
Ibid, Hal 49
[16]
Ibid, Hal 53
[17]
Ibid, Hal 54
[18]
Ibid,
[19]
Ibid, Hal 52
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.