BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Korupsi merupakan suatu permsalahan seluruh bangsa
di dunia, di Indonesia korupsi menjadi suatu permasalahan yang banyak ditemukan
baik itu di lingkungan swasta, pemerintah ataupun birokrasi, ironinya korupsi
bahkan terjadi dilingkungan lembaga peradilan. Tindak pidana korupsi tidak
hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui dunia hukum di Indonesia
tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari sejumlah lapisan masyarakat, baik
dari dalam negeri maupun luar negeri, dari sekian banyak bidang hukum, dapat
dikatakan bahwa pidana menempati peringkat teratas yang bukan saja mendapat
sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dalam masyarakat. Hal ini juga tak
dapat dilepasakan dari pelaksanaanya yang tentunya dilaksanakan oleh para
penegak hukum.Para penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi bahkan
banyak yang terjerat kasus korupsi.
Dalam makalah ini, kami akan membahas kemampuan dan
efektivitas penegak hukum dalam membasmi tindak pidana korupsi di Indonesia,
karena sangat banyak persoalan dan permasalahan yang terjadi dalam membasmi
korupsi di Indonesia ini.
B.
Rumusan
masalah
1. Apa
itu tindak pidana korupsi dan penegakan hukum ?
2. Bagaimana
pemberantasan korupsi di Indonesia ?
3. Apa
problematika kemampuan penegak hukum dalam memberantas korupsi di Indonesia ?
C.
Tujuan
masalah
1. Untuk
mengetahui tentang tindak pidana korupsi dan penegakan hukum.
2. Untuk
mengetahui pemberantasan korupsi di
Indonesia.
3. Untuk
mengetahui problematika kemempuan penegak hukum dalam menanggulangi korupsi di
Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Tindak pidana korupsi dan
penegakkan hukum
1. Pengertian
korupsi
Dalam ensiklopedia
Indonesia disebut korupsi (dari bahasa latin : corruption = penyuapan,
corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta
ketidakberesan lainnya.
Secara
harfiah korupsi adalah Kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, Tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian.Menurut perspektif hukum, definisi korupsi di
jelaskan dalam 13 pasal ( UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 )
Merumuskan 30 bentuk / Jenis tindak pidana korupsi, yang di kelompokan SBB :
a. Kerugian
uang Negara
b. Suap
menyuap
c. Penggelapan
dalam jabatan
d. Pemerasan
e. Perbuatan
curang
f. Benturan
kepentingan dalam pengadaan
g. gratifikasi
2. Unsur
tindak pidana korupsi
a. Melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
b. Perbuatan
melawan hukum
c. Merugikan
keungan Negara atau perekonomian
d. Menyalahgunakan
kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan
kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri akibat sendiri dan orang lain
3. Factor
penyebab korupsi
a. Lemahnya
pendidikan agama dan etika
b. Kurangnya
pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia
dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi,
terpelajar dan terpandang sehibgga alasan ini dapat dikatakn kurang tepat.
c. Tidak
adanya sanksi keras
d. Kelangkaan
lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi
e. Struktur
pemerintahan
f. Keserakaan
akan harta kekayaan.
g. Keadaan
masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat
secara keseluruhan.
4. Korupsi
dan penegakan hukum
Korupsi
merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan
keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan social ekonomi dan juga politik,
serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun
perbuatan ini sekana menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap
cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. Sulitnya menanggulangi tindak
pidana korupsi terlihat dari banyak diputus bebasnya terdakwa kasus korupsi
atau minimnya pidana yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak seimbang dengan
apa yang dilakukannya. Hal ini sangat merugikan Negara dan menghambat
pembangunan bangsa. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah
krisis multidimensional serta ancaman nyata yang terjadi, yaitu dampak dari
kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan
nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui kesimbangan
langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada
di dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.
Korupsi
tambah merajalela, kendati telah banyak perangkat hukum yang mengaturnya hal
ini menunjukan tidak berfungsinya dimensi politik kriminal dari perangkat hukum
pidana yang ada, khususnya penegak hukum yang mengatur korupsi. System penegakkan
hukum yang tidak kondusif di dalam demokrasi saat ini diperparah dengan adanya
lembaga pengampunan bagi konglomerat korup hanya dengan pertimbangan selera,
bukan dengan pertimbangan hukum.
Pembangunan
penegak hukum yang akuntabel harus dimulai dari standarisasi pendidikan yang
terdapat dalam perguruan tinggi dalam hal ini pendidikan hukum karena selama
ini pola pendidikan masih cenderung bersifat dogmatis ataupun cenderung sangat
berpatok terhadap hukum positif. Pendidikan hukum dituntut untuk memenuhi
standar kebutuhan yang menyangkut knowledge dan skill yang
memadai dengan komposisi proporsional lebih khusus lagi bagi pendidikan penegak
hukum yang selalu menghadapi godaan dan tantangan yang menuntut muatan moral
dan integritasnya dalam melaksanakan tugas sebagai pengadil.
Faktor lain
yang yang perlu diperlihatkan dalam upaya pembangunan penegakan hukum yang
akuntabel adalah proses rekrutmen personel penegak hukum yang dalam hal ini
adalah hakim. Penegakan hukum yang akuntabel juga menyangkut thescientific
investigation of legal problem, maka dari itu diperlukan penegak hukum yang
memiliki insting yuridis yang tajam dalam segala kebutuhan masalah hukum dan
menyelesaikannya secara cepat, tepat, adil dalam rangka mewujudkan peradilan
yang murah, cepat dan tentunya adil.
B. Pemberantasan korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia sudah menjadi masalah yang sangat
serius. Karena itu, kita tak bisa hanya mengandalakan peran komisi
pemberantasan korupsi (KPK) untuk membebaskan Negara ini dari cengkeraman
gurita korupsi. Kepolisian republik Indonesia (polri) dan kejaksaan agung
(kejagung) seharusnya turut mengambil peran serius untuk tugas membasmi
korupsi. Sejumlah kasusu dugaan korupsi yang cukup besar berhasil ditangkap dan
dibongkar. Mulai dari kasus korupsi mantan korlantas polri irjen Djoko susilo
hingga penangkapan mantana ketuan mahkamah konstitusi Akil muchtar yang telah
menggegerkan dunia penegakan hukum di tanah air.
Betapa seriusnya kejahatan korupsi, khususnya di
Indonesia berbagai komisi antis korupsi sudah dibentuk sejak tahun 60-an sampai
dengan 90-an. Tetapi semuanya kandas karena tida dapat dukungan dari pemerintah
dan lemabaga-lambaga penegak hukum itu sendiri terlibat dalam keadilan. Dukungan
dari lembaga-lembaga penegak hukum baru dapat diperoleh kalau ada kemauan dari
pemerintah untuk memberantas korupsi.
Pemerintah
mempunyai peran aktif dalam menyelenggarakan negara untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat, khususnya terhadap problematika yang dihadapi
Indonesia, pemerintah harus mampu mengatasi dan memberikan penyelesaian atau
solusi sehingga dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi. Korupsi merupakan
salah satu tugas wajib pemerintah untuk menyelesaikan dan mengatasi agar
orientasi memperkaya diri yang dilakukan oleh aparatur negara dapat
diminimalisir bahkan di hilangkan.
Kepolisian,
Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pengadilan merupakan lembaga
yang berwenang dalam menangani pemberantasan kasus korupsi. Dari ke empat
lembaga ini KPK memiliki peran khusus dalam memberantas kasus korupsi, KPK
harus lebih memiliki nilai dan integritas yang tinggi sehingga wewenang yang
telah diberikan berdasarkan ketentuannya dapat dijalankan dan diimplementasikan
dengan baik. Dari keempat lembaga tersebut dapat juga dimungkinkan adanya
pihak-pihak tertentu akan terlibat dalam kasus korupsi, karena perlu kita
ketahui bahwa korupsi itu bukan personal tetapi corporation atau
kelompok, kecil kemungkinan bahwa korupsi hanya di lakukan oleh seorang saja,
pasti ada pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus korupsi untuk memperlancar
urusan yang menyimpang dari ketentuan.
Cara
penanganan korupsi harus dengan cara yang luar biasa. Untuk itulah dibentuk KPK
yang mempunyai wewenang luar biasa, sehingga kalangan hukum menyebutnya sebagai
suatu lembaga super (super body).Untuk mencegah dan mengatasi keberadaan
mafia hukum, pemerintah yang mana antara kepolisian, kejaksaan, KPK dan
Pengadilan harus memperkuat koordinasi dan sinkronisasi agar kepastian hukum
dapat terjamin dan kecilnya kemungkinan terjadi penyimpangan berkelanjutan.
Perlu kita ketahui disetiap instansi terdapat peluang dimungkinkan terjadinya
korupsi oleh aparatur negara tersebut. Karena mafia hukum itu adalah
orang-orang yang memiliki kekuatan destruktif terhadap ketahanan negara dan
kewibawaan pemerintah termasuk lembaga penegak hukumnya.
Dalam
menangani kasus KPK diberi kewenangan memperpendek jalur birokrasi dan proses
dalam penuntutan. Jadi KPK mengambil sekaligus dua peranan yaitu tugas
Kepolisian dan Kejaksaan yang selama ini dilihat tidak berdaya dalam memerangi
korupsi. Disamping itu dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002, KPK diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau
penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang yang berkaitan
dengan pemberantasan korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan
public.
C. Problematika kemampuan penegak
hukum dalam memberantas korupsi di Indonesia
Indonesia sektor yang dinilai masih lemah dalam
penegakan hukum tindak pidana korupsi adalah penegak hukum itu sendiri.
Diperlukan aparatur penegak hukum yang terlatih, jujur, berintegritas dan
profersional. Agar aparat-aparat penegak hukum tersebut dapat membongkar
perkara-perkara korupsi dan berani menindak siapa saja yang salah. Tidak
seperti terjadi saat ini dimana para penegak hukum tidak dapat menggunakan sengatnya (kewenangan)
ketika berhadapan dengan tindak pidana yang di aktori oleh petinggi-petinggi
atau para pejabat begara. Oleh sebab faktor penegak hukum ini menjadi PR besar
negara yang harus dibenahi untuk terciptanya penegakan
hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.
Ketika
sektor penegak hukum sudah dibenahi dan bisa menjalankan tugas dan kewajibannya
diharapkan aparat penegak hukum dapat membongkar kasus-kasus korupsi.
diharapkan agenda pemberantasan korupsi akan bergulir dan didukung oleh
masyarakat yang memang sudah lama mengharapkan adanya
tindakan tegas dari para penegak hukum.
1. Faktor-faktor
yang menyebabkan tidak efektifnya penanggulangan tindak pdana korupsi, adalah :
a. Factor
struktur
Factor struktur penegak
hukum yang tidak tanggap dan sigap dalam melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi, hal tersebut dibuktikan dengan ringannya hukuman yang
dijatuhkan terhadap pelaku, rendahnya manajemen perkara, lemahnya integritas
dan moralitas hakim, rendahnya profesionalitas hakim, lemahnya
pengawasan internal kehakiman.
b. Factor
kultur
Adapun kultur masyarakat dalam
penegakan korupsi sangat rendah, hal tersebut dilihat dengan kurangnya
partisipasi masyarakat, serta sikap masyarakat yang
beranggapan bahwa segala permasalahn diserahkan terhadap hukum.
c. Factor
substansi
Banyaknya tindak pidana korupsi yang
terjadi juga diakibatkan dari lemahnya sanksi dari kebijakan pemberantasan
tindak pidana korupsi, adapun dalam hal ini terdapat
ketidak sinkronan antar pasal dan juga sulit diterapkan hukuman pidana mati.
2. Permasalahan
kemampuan penegak hukum dalam menanggulangi korupsi
a. Tidak
adanya kemauan dan kesungguhan untuk memberantas korupsi telah menyebabkan
upaya pemberantasan korupsi limpuh ditengah jalan. Para penegak hukum yang
seharusnya mempelopori agenda pemeberantasan korupsi , justru terjebak dalam
praktek korupsi sendiri.
b. Kurangnya
kredibilitas penegak hukum
Hal ini terlihat dari
terbukanya kasus-kasus korupsi yang melibatkan para penegak hukum yang
seharusnya mereka memberantas korupsi, malah mereka sendiri yang terkena kasusu
korupsi itu. Oleh karena itu publikpun bertanya apakah benar para penegak hukum
serius dalam memberantas korupsi.
c. Hakim
dan advokat sebagai penegak hukum banyak yang menerima pemberian atau janji
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan padanya untuk diadili atau
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
d. Keterbatasan
sumber daya manusia yang ada di KPK
menjadi kendala utama lembaga ini. Belum lagi betapa dahsyatnya perlawanan para
pelaku korupsi dalam upaya melumpuhkan KPK.
e. Para
penegak hukum masih pandang bulu dan tidak tegas dalam memberantas korupsi yang
terjadi di Indonesia saat ini. Ini terlihat saat KPK menangani kasus hukum yang
dekat dengan kekuasaan.Banyak
produk hukum yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi permasalahan korupsi,
namun produk hukum tersebut belum mampu untuk ditegakkan secara adil kepada
semua pihak tanpa memandang jabatannya. Pemberantasan korupsi yang ada terkesan
dilakukan dengan sistem “tebang pilih”. Jadi hanya kasus-kasus korupsi yang
nilainya kecil saja yang diberantas oleh para penegak hukum. Menginjak wilayah
kasus-kasus korupsi “kelas kakap”, para penegak hukum seperti kehilangan
kekuasaannya. Kekuasaan para penegak hukum untuk dapat mengungkapkan kasus
korupsi dengan nilai yang tinggi, hilang karena dapat dibeli dengan uang.
f. Para
penegak hukum terkesan lambat dan bertele-tele dalam menangani kasus-kasus
korupsi yang melibatkan penguasa pemerintahan.
g. Penegak
hukum tidak bisa berkerja sendirian, harus ada yang menyeimbanginya, contohnya
KPK harus diseimbangkan dengan para aparat penegak hukum lainnya seperti polri
dan kejagung.jika
sungguh-sungguh, Polri dan Kejagung pasti mampu mengimbangi KPK dalam
kinerjanya. Apalagi, sebagian besar penyidik KPK berasal dari anggota Polri dan
Kejagung. Mereka mampu membuktikan itu saat bergabung dengan KPK. Alumni
penyidik KPK yang kembali kesatuannnya diharapkan menularkan semangat
antikorupsi yang dimiliknya.
h. Lemahnya pengawasan internal,
rendahnya kredebilitas hakim, rendahnya integritas dan profersional para
penegak hukum korupsi, khususnya hakim di pengadilan.
i.
Belum
adanya kerja sama inbternasional secara maksimal dalm memberantas kasus korupsi
dalam masalah pengambilan hasil tindak pidana korupsi.
Diratifikasinya United Nations Convention Against
Corruption 2003 (UNCAC 2003) dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 ini memiliki arti
yang sangat strategis buat proses penegakan hukum tindak pidana, khususnya
korupsi di Indonesia, karena kerja sama Internasional ini meliputi hal untuk
meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan,
menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang
ditempatkan di luar negeri.
j.
Masih
memberikan hukuman yang ringan terhadap pelaku korupsi. Hal ini tak terlepas
dari aparat penegak hukum yang bisa dibayar, sehingga hukuman yang
dijatuhkanpun sangat ringan dan tidak menimbulkan efek jera. Dan tentunya
hukuma yang keras tidak ditegakkan oleh penegak hukum, seperti hukuman mati,
seumur hidup dll.
k. Tidak efektifnya penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya. Contohnya saja masih banyak para pelaku koruptor yang
keluar masuk penjara dengan sangat bebas, dengan mendapatkan fasilitas yang
semestinya tidak ada. Kepolisian, kejaksaan dan pengadilan keadaannya tidak
jauh berbeda dalam pemberantasan korupsi, seakan-akan tidak berdaya dan tidak
mampu menghadapi tekanan suap yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terjerat
kasus korupsi, sehingga proses peradilannya pun tidak efektif dan tersangka
koruptor dapat divonis bebas. KPK tidak akan bisa melaksanakan perannya secara
optimal bilamana tidak didukung oleh keinginan dan tindakan nyata pemerintah
dalam penegakan hukum, terutama perang terhadap korupsi.
3. Re-organisasi aparat penegak hukum
Dalam hal pemberantasan korupsi,
aparat penegak hukum dihadapkan pada dirinya sendiri, karena lingkungan korup
juga melanda institusi penegak hukum itu sendiri,
Fakta dilapangan saat ini terkait
potret aparat penegak hukum di Indonesia adalah maraknya praktek Mafia Hukum.
Praktek-praktek mafia hukum paling sering menggerogoti sendi-sendi CriminalJustice
System atau sistem peradilan Pidana di Indonesia, ini dimulai sejak proses
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemutusan, eksekusi dan pemasyarakatan.
Hal-hal utama yang menyebabkan praktek-praktek ini terjadi antara lain:
1.
Lemahnya
pengawasan dan tingkat disiplin aparat penegak hukum
2. Kelemahan manajemen sumber daya
manusia. Kelemahan ini terkait dengan sistem rekrutmen yang masih penuh dengan
aroma KKN
3. Kelemahan dalam praktek penanganan
perkara, sistem penanganan perkara itu membuka peluang terjadinya praktik mafia
hukum karena tidak ada check and balance.
4. Minimnya gaji, tunjangan dan
anggaran operasional institusi-institusi penegak hukum.
4. Sarana dan prasarana pemberantasan
korupsi
Sarana dan
prasarana dalam pemberantasan korupsi tentunya sangat penting dalam mendukung
penanggulangan korupsi yang ada di Indonesia, karena kalau tidak didukung
dengan saran dan prasarana yang baik, tentunya dalam pemberantasannyapun akan
kurang baik.
Berbicara
mengenai Sarana dan Prasarana dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi, tentu kita akan membahas masalah lembaga peradilan sebagai Instrumen
utama dari sistem penegakan hukum tindak pidana korupsi. Masih banyaknya
kelemahan yang sangat fundamental yang masih terjadi dalam kelembagaan
peradilan tindak pidana korupsi baik itu didalam melakukan tugas, fungsi,
wewenang maupun tanggung jawabnya.
Kalau kita
perhatikan masalah kelembagaan yang berhubungan dengan penindakan tindak pidana
korupsi. Saat ini seperti dilaksanakan dengan dua cara yang berbeda, ada jalur
umum adapula jalur Khusus, artinya dalam penindakan tindak pidana korupsi
kelembagaan peradilan yang digunakan ada yang menggunakan jalur peradilan umum
dalam hal ini Pengadilan Negeri, dan ada pula jalur khusus yaitu menggunakan
Pengadilan Tindak Pidana Tipikor. Dimana dalam peradilan umum pelaksanaan
fungsi penyelidikan dan penyidikan dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan,
sedangkan dalam Pengadilan Tindak Pidana Tipikor baik penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan dilakukan oleh KPK
Perbandingan
yang mencolok antara dua jalur peradilan yang bersifat umum dan bersifat khusus
adalah kewenangan, fasilitas, pendanaan maupun kinerja masing-masing jalur
peradilan ini, karena hasil dalam bentuk putusan atau vonis pun berbeda-beda
diantara keduanya. Contohnya, di pengadilan khusus tindak pidana korupsi sangat
jarang atau bahkan tidak pernah lolosnya perkara korupsi yang mereka sidangkan,
artinya hampir mustahil ada putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan bila
tindak pidana korupsi disidangkan di pengadilan jalur khusus atau yang lebih
kita kenal dengan pengadilan tindak pidana korupsi. Berbanding terbalik dengan
vonis-vonis yang di ketuk dipengadilan-pengadilan negeri yang berlabel jalur
umum, begitu banyak vonis bebas dan lepas dari segala tuntutan yang diputuskan
atas perkara-perkara tindak pidana korupsi disana.
Hal diatas
menunjukan adanya perbedaan perlakuan antara dua jalur peradilan tindak pidana
korupsi tersebut. Sehingga kesan kasus “tebang pilih” menjadi kentara bila
mengkaji hasil-hasil dua putusan di dua jalur peradilan ini. Hal ini membuat
para koruptor seakan menjadi korban dari suatu sistem peradilan yang tidak
adil.
5. Semakin panjang daftar penegak hukum
terjerat kasus korupsi
Kondisi
ini semakin menyulitkan pemberantasan korupsi di tanah air, karena sejumlah
pelakunya justru berasal dari aparat penegak hukum sendiri. Alih-alih
membenahi korupsi kejaksaan, ternyata seorang jaksa kembali ditangkap KPK dalam
dugaan kasus suap sengketa tanah di praya Lombok Tengah.Di negeri ini, terdapat
sejumlah lembaga dan jabatan penegak hukum, seperti Jaksa, Hakim dan Polisi.Namun
ternyata, semua unsur penegakan hukum tersebut tidak bersih murni. Ada
saja oknum mereka yang terlibat kasus korupsi. Hal yang lebih memprihatinkan
adalah oknum pada instansi tersebut berada pada posisi jabatan yang cukup
tinggi.Selain Jaksa di Lombok dengan inisial S yang memiliki posisi tinggi pada
satuan kerjanya, sebelum ini Urip Tri Gunawan juga memiliki posisi penting di
Kejaksaan Agung.Di Bandung, salah satu pimpinan pengadilan negeri bandung,
hakim setyabudhi, juga terjerat kasus suap perkara bantuan sosial pekot
Bandung.Pada unsur polisi, pelakuya adalah Djoko Susilo dengan jabatan
koorlantas Mabes Polri saat kasusnya tejadi.Sedangkan Pada mahkamah konstitusi,
tidak tanggung-tanggung, pelaku korupsinya adalah ketua mahkamah konstitusi
ketika itu, AKil Mochtar.Hampir seluruh instansi penegakan hukum, ternyata
memiliki sejumlah oknum yang terlibat korupsi.Kondisi ini jelas semakin
memprihatinkan dalam proses pemberantasan korupsi di tanah air, sebab
pelakuknya berasal dari oknum lembaga penegakan hukum itu sendiri.Sapu kotor pasti
tidak akan dapat membersihkan lantai yang juga kotor. Inilah problematika
pemberantasan korupsi di Indonesia. Usul, gagasan, ide, peraturan, sudah
dikeluarkan, akan tetapi oknum penegak hukum korup tetap saja ada.
Dari
berbagai problematika kemampuan penegak hukum dalam menanggulangi korupsi yang
terjadi di Indonesia ini menyebabkan terjadinya penurunan
kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap para
penegak hukum yang menangani kasus-kasus korupsi. Kewibawaan
kekuasaan kehakiman menuntut adanya kredibilitas personal dan integritas moral
kelembagaan. Untuk itu sangat diperlukan adanya kualifikasi standar kemampuan
intelektual, inovasi, ketangguhan mental, tidak ketinggalan tentang kejujuran
yang berkaitan dengan sikap terbuka atau transparansi dalam pelayanan public.
Selain itu para penagak hukum harus memiliki
beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu pertama, kualitas hal
tersebut dapat diimplementasikan pada kualitas seorang penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya yaitu dengan suatu tindakan yang berani yang dalam hal
ini suatu putusan yang memperhatikan berbagai macam aspek bagi hakim dan suatu
tuntutan dan dengan pengetahuan bukti-bukti yang cukup untuk melaksanakan
terwujudnya penegakan hukum; kedua, moralitas juga dibutuhkan dalam
melaksanakan tugas sebagai penegak hukum yaitu dengan moralitas yang baik
sehingga dengan peraturan yang tidak begitu baik namun dengan semangat dan
moralitas penegak hukum yang baik niscaya hukum akan dijalankan sesuai dengan
sebagaimana mestinya; ketiga, integritas juga menjadi indikator
keberhasilan suatu penegakan hukum yaitu kejujuran dan ketulusan aparat penagak
hukum dalam melaksanakan tugasnya; adapun hal keempat yang tak kalah
penting adalah faktor loyalitas pada suatu jabatan dan hukum yang diembannya
karena hal tersebut sangat riskan terbukti dengan banyaknya kasus suap yang
melibatkan institusi penegak hukum baru-baru ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penegakan hukum atas tindak pidana
korupsi akan terwujud apabila pemerintah mempunyai keinginan untuk
memberantasnya, tanpa adanya diskriminasi hukum terhadap upper power level
(pejabat tinggi) maupun upper economic level (konglomerat). Selain itu
kapasitas para penegak hukum yang berintegritas tinggi dan berkualitas dengan
menjunjung tinggi sikap jujur dan moralitas.
Merosotnya integritas dari institusi
penegak hukum, baik polisi maupun jaksa, dapat diselesaikan dengan cara
menyerahkan segala kewenangan permasalahan korupsi pada suatu institusi
independen seperti KPK yang lepas dari segala intervensi badan eksekutif,
legislatif dan yudikatif. KPK dapat bernaung dalam pengawasan langsung MPR
sebagai institusi tertinggi negara sehingga tidak menimbulkan kesan sebagai
subordinasi dari dan yang dapat diintervensi melalui kekuasaan eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Namun yang terpenting adalah perekrutan terhadap
personalitas KPK ini wajib memiliki integritas dan moralitas yang tinggi
dalam upaya mangggulangi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Oleh
karena itu problematika yang ada dalam penegakan hukum dalam menanggulangi
korupsi ini harus segera untuk di perbaiki, supaya terwujudnya keadilan yang
merata dan tentunya menghilangkan korupsi di Indonesia ini, yaitu melalui
penegk hukum.
B.
Saran
a. Bagi
aparat penegak hukum didakannya reformasi hukum dan kelembagaan yitu dengan
meningkatkan kualitas, partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas para
penegak hukum .
b. Semua
problematika penegak hukum dalam menangani kasus korupsi harus segera
diselesaikan dengan cepat.
c. Bagi
pembaca makalah ini agar terus menghindari, memberantas korupsi yang ada di
sekitar kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Evi
Hartanti, S.H, Tindak pidana korupsi.
Jakarta , 2009. Sinar Grafika
Darwan
Prinst, S.H. pemberantasan tindak pidana korupsi. 2002. PT. citra aditya bakri
Hadi
Supeno. Korupsi di daerah (kesaksian,
pengalaman dan pengakuan).Yogyakarta, 2009. Total media
Prof.
Dr. Baharudin lopa S.H. Kejahatan korupsi
dan penegakan hukum.Jakarta, 2001. Buku kompas
Prof.
DR. Romli Atmasasmita, S,H.,LL.M. Sekitar
masalah korupsi (aspek nasional dan internasional).Bandung, 2004. Mandar
maju
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.