Jumaat, 15 Februari 2013

kaidah fiqhiyah



القواعـــد الفقهيــــة

Oleh:
Hamdani Hakim
11421021

القواعـــد الفقهيــــة

AL-QAWA’ID AL-KHAMSAH AL-FIQHIYAH

  1. Al-qawa’id al-khamsah al-fiqhiyah
1.  الأمور بمقاصدها
“ setiap perkara tergantung pada  niatnya
Maksudnya :
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang , apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah karena Allah SWT dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang dusunnahkan atau yang dibolehkan oleh agamaataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat  ibadah kepada  Allah, tetapi semata-mata  kerana kebiasaan saja.
Apabila seseorang melakukan kejahatan misalnya, pembunuhan, apakah dia berniay melakukan ataukah dia tidak berniat melakukannya. Untuk kasus pertama disebut pembunuhan sengaja karena dia berniat melakukannya, sedangkan untuk kasus kedua disebut pembunuhan karena kesalahan sebab dia tidak berniat melakukannya. Ternyata disini bahwa  kualitas perbuatan seseorang juga ikut ditentujan oleh niatnya. Demikian pula halnya antara  ibadah yang fardhu dan ibadah yang sunnah. Dalam hal ini perlu dibedakan antar niat dan motif (ba’is). Tentang niat sudah dijelaskan di atas, sedangkan motif adalah dorongan jiwa untuk melakukan perbuatan yang mucul sebelum adanya  niat. Dalam melakukan perbuatan manusia melalui tahap-tahap tertentu. Tahap pertama adalah tahap pemikiran yaitu memikirka untuk melakukan sesuatu perbuatan atau tidak. Tahap kedua adalah tahap persiapan , yaitu persiapan untuk pelaksanaan yaitu melaksanakan pekerjaan yang sudah dipikirkandan dipersiapkan tadi.
Di kalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah adalah tidak sah, tanpa disertai denga n niat, kecuali untuk beberapa hal saja, yang termasuk kekecualian dari kaidah-kaidah tersebut diatas.
            Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa  fungsi niat adalah :
a.       Untuk membedakan antara  ibadah dan adat kebiasaan.
b.      Untuk membedakan kualitas perbuatan ,baik kebaikan ataupun kejahatan.
c.       Untuk menetukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.
Secara lebih mendalam lagi, para  fuqaha merinci masalah niat ini baik dalam bidang ibadah mahdlah, seperti : thaharah, wudlu, tayamum, mandi junub, sholat, qasar, jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, puasa, ataupun di dalam muamalah /ibadah ghairu mahdlah, seperti : pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa menyewa, perwakilan, dan lain-lain.
Rupanya yang paling penting dalam masalah niat ini bukan soal kuantitas masalah fiqih yang ribuan atau bahkan puluhan ribu yang tersebar dalam kitab-kitab fikih, akan tetapi kualitas kaidah inimemang mendasar dan tidak banyak masalah –masalah fikih yang di luar kaidah tersebut. Diantara kekecualian kaidah di atas antara lain :
a.       Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga  tidak bercampur dengan yang lain. Dalah hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, makrifat, khauf, raja’, ikamah, azan, zikir dan membaca al-qur’an kecuali apabila dalam rangka membacanya karena nazar.
b.      Tidak perlu niat di dalam meninggalkan perbuatan, seperti, maninggalkan perbuatan zina dan pebuatan lainnya yang dilarang (haram) karena dengan tidak melakukan perbuatan tersebut, maksudnya sudah tercapai. Memang perlu niat apabila mengharapkan pahala dengan meninggalkan yang dilarang.
c.       Keluar dari sholat tidak diperlukan niat , karena niat diperlukan dalam melakukan suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
Contoh :
-          Seseorang niat sholat dzuhur, kemudian setelah satu rekaat dia berpindah kepada niat sholat tahiyatu al masjid , maka batal sholat zuhurnya.
-          Dalam sholat tidak diisyaratkan niat menyebut jumlah rakaat, maka bila seorang muslim berniat melaksanakan sholat maghrib 4 rakaat, tetapi ia tetap dalam melaksanakantiga rekaat, maka sholatlah tetap sah.
-          Seorang bersumpah tidak akan berbicara dengan seseorang, dan maksdunnya dengan ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada ahmad saja.
2.   اليقين لا يزال بالشك
“ keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan “
Maksdunya :
Yang dimaksud yakin adalah sesuatu yang menjadi tetap karena pengelihatan pacaindera atau dengan adanya dalil. Sedangkan shak adalah suatu pertentangan antara kepastian dengan ktidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah satunya.
Kaidah ini sama dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent ) dalam hukum barat. Selain itu secara moral , sesorang muslim harus memiliki husnu zhan (berperasangka baik) sebelum ada bukti yang menyakinkan bahwa dia tidak baik.
Adapun yang mengartikan yakin dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi.
Ada kekecualian dari kaidah tersebut di atas, misalnya , wanita yang sedang menstruasi yang meragukan, apakah sudah berhenti atau belum. Maka ia wajib mandi besar untuk sholat.  Contoh lain : apabila orang ragu, apakah yang keluar itu mani atau madzi, maka ia wajib mandi besar. Padahal ia ragu, yang keluar itu mani yang mewajibkan mandi atau madzi yang tidak mewajibkan mandi.
Contoh :
-          Apabila seseorang sedang melakukan sholat ashar, kemudian dia ragu apakah sudah empat rekaat atau baru tiga rekaat maka ambilah yang lebih yakin. Yaitu tiga rekaat. Namun, sebelum salam disunahkan sujud sahwi.
-          Seorang musafir yang membaca takbiratul ihram (bermakmun) di belakang orang yang tidak diketahui apakah dia seorang musafir atau bukan, maka qasharnya tidak memenuhi syarat.
-          Seorang yang dalam perjalanan , kemudian ragu apakah sudah di negerinya atau belum, maka ia tidak boleh mengambil rukhsah.

3.   المشقة تجلب التيسر
“ kesulitan mendatangkan kemudahan “
Maksudnya :
Makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksdunya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Dalam ilmu fiqih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh macam, yaitu :
a.       Sedang dalam perjalanan (al-safar) . misalnya, boleh qasar sholat.
b.      Keadaan sakit. Misalnya , boleh tayamum ketika sulit memakai air.
c.       Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Misalnya setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai.
d.      Lupa (al-nisyan). Misalnya , seseorang  lupa makan dan minum pada waktu puasa.
e.       Ketidaktahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi.
f.        Umum al-balwa. Misalnya, kebolehan bai al-salam (uangnya dahulu, barangnya belum ada).
g.       Kekurangmampuan bertindak hukum (al-nasqh). Misalnya , anak kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk.
Adapun pengecualian dari kaidah ini antara lain :
a.       Kesulitan kesulitan yang diklasifikasikan pada mashaqqah yang ringan, seperti pening yang ringan saat sujud.
b.      Kseulitan-kesulitan yang muncul, memang satu resiko dalam suatu perbuatan, seperti lapar yang biasa saat puasa.
Dikalangan mazhab syafi’i menyebutkan bahwa keringana itu bisa beberapa  macam hukumnya :
a.       Wajib mengambil keringanan tersebut, yakni ketika pada posisi mashaqqah azimah.
b.      Sunnah mengambil yang ringan.
c.       Boleh mengambil yang ringan.
Contoh :
-          Dibolehkan tidak ada ijab kabul dalam jual beli barang yang tidak berharga.
-          Tidak ada kelonggaran untuk melaksanakan maksiat apapun alasannya, tetapi diharuskan untuk menghindarinya.






4.   الضرر يزال
“ kemudaratan harus dihilangkan “
Maksudnya :
Tujuan syari’ah adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolah kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka maslahat membawa manfaat sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan.
Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya. Oleh karena itu , tidaklah mengherankan apabila ahmad al-nadwi menyebutkan bahwa penerapan kaidah di atas meliputi lapangan yang luas di dalam fikih bahkan bisa jadi meliputi seluruh dari materi fikih yang ada. Dengan kata lain kaidah ini menunjukan bahwa berbuat kerusakan itu  tidak diperbolehkan dalam agama islam. Adapun yang berkaitan dengan ketentuan Allah, sehingga kerusakan itu menimpa seseorang, kedudukannya menjadi lain, bahkan bisa dianggap sebagai bagian dari keimanan terhadap qadha dan qadarnya Allah SWT.
Dalam permasalahan darurat ini perlu kita ketahui bahwa kebutuhan manusia itu terbagi menjadi lima tingkatan, yaitu :
a.       Tingkat darurat
b.      Tingkat hajat
c.       Tingkat manfaat
d.      Tingkat zinah
e.       Tingkat fudui
Adapun dalam keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a.       Dalam kondisi darurat yang dapat mengancam jiwa dan anggota badan.
b.      Dalam keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dan tidak melampaui batas.
c.       Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukanyang dilarang.
Kekecualian dari kaidah di atas pada prinsipnya adalah :
a.       Apabila menghilangkan kemudaratan mengakibatkan datangnya kemudaratan yang lain yang sama tingkatannya.
b.      Apabila menghilangkan kemudaratan menimbulkan kemudaratan lain yang lebih besar atau lebih tinggi tingkatannya.
c.       Apabila menghilangkan kemudaratan dengan cara melampaui batas dan bukan merupakan jalan satu-satunya yang harus dilakukan ( ada alternatif lain selain hal haram yang menjadi pilihan ).
Perbedaan antara hajjah dan darurat adalah :
a.       Hajjah mempunyai efek kesulitan atau kesukaran dalam melakukan hukum dan yang dilanggat adalah hukum haram highairihi.
b.      Darurat mempunyai efek bahaya yang muncul jika melakukan atau melaksankan hukum dan yang dilanggar adalah haram hidhaitihi.
Contoh :
-          Dibolehkan memakan daging babi ketika kelaparan.
-          Ketika memakan makanan yang dibolehkan karena madarat, tidak boleh sampai kenyang, tetapi sekedarnya saja.
-          Tidak boleh membunuh anaknya karena alasan  kesulitan ekonomi dan lain-lain.
-          Boleh memenjarahkan orang ang menolak memberikan nafkah kepada orang-orang yang wajib dinafkahi.
-          Menjual barang-barang timbunan dengan cara paksa untuk kepentingan umum.

5.   العادة محكمة
adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum “
Maksdunya :
Al-‘adah Maksdunya adalah sesuatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterimah akal dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus.  Sedangkan al-‘urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari pekataan , perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan.
Tampaknya lebih tepat apabila al-‘adah  atau al-‘urf ini didefenisikan dengan “ apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-ammah) yang dilakukan berulang-ulangsehingga menjadi kebiasaan.  Dalam memutuskan suatu perkara setidaknya ada dua macam pertimbnagan yang harus diperhatiakan. Pertama, pertimbangan keadaan kasusnya itu sendiri, seperti apa kasusnya , dimana  dan kapan terjadinya, bagaiman proses kejadiannya, mengapa terjadi dan siapa pelaukunya. Kedua, pertimbangan hukum. Dalam pertimbangan hukum inilah terutama  untuk hukum-hukum yang tidak tegas disebutkan dalam al-qur’an dan al-hadits , adat kebiasaan harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan perkara.
Pengecualian dari kaidah ini adalah :
a.       Al-‘adah bertentangan dengan nash baik al-qur’an maupun al-hadis. Seperti puasa terus terusanatau puasa empat puluh hari atau tujuh hari siang malam.
b.      Al-‘adah tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan kemaslahatan termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau kesukaran . seperti, membororskan harta, hura-hura dalam acara perayaan.
c.       Al-‘adah berlaku pada umumnya di kaum muslimin , dalam arti bukan hanya biasa dilakukanoleh bebrapa orang saja. Bila dilakukan beberpa orang saja maka tidak dianggap adat.
Segala sesuatu kebiasaan yang dianggap baik oelh masyarakat  terkadang ia dan terkadang bukan huku shar’i yang diatur secara rinci dan belum ada batasannya yang jelas tetapi berhubungan kuat dengan hukum shar’i serta terkadang bukan merupakan salah satu dari kedua bentuk tersebut.
Contoh :
-          Mereka yang mengajarkan al-qur’an boleh menerima gaji, hal itu antara lain agar al-qur’an tetap eksis dikalangan umat islam.
-          Menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan (adat) maka ulam membolehkannya.

  1. Perbedaan kaidah fiqhiyah dengan kaidah ushul
Dalam kajian keislaman, fiqh merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri, sebagaimana ushul fiqh yang merupakan disiplin ilmu tersendiri. Kedua displin ilmu ini mempunyai kaidah-kaidah tersendiri yang satu sama lain berbeda.
Menurut Ali al-Nadawi, imam Syihab al-Din al-Qarafi merupakan ulama yang pertama kali membedakan antara kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyyah. Al-Qarafi menegaskan bahwa syariah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketinggian melalui ushul dan furu’. Adapun ushul dari syariah tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqh. Ushul fiqh memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa Arab itu kaidah tentang nasakh, tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib dan kehendak lafal nahi untuk menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al-qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum). Jumlah kaidah tersebut cukup banyak dan lapangannya luas yang mengandung rahasia-rahasia dan hikmah syariat. Setiap kaidah diambil dari furu’ yang terdapat dalam syariah yang tidak terbatas jumlahnya. Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh, meskipun secara umum mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara perinciannya.
            Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid fiqhiyyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyyah membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.

Perbedaan al-qawaid fiqhiyyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini.
1.      Al-qawaid al-ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara al-qawaid fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2.      Al-qawaid al-ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sementara al-qawaid al-fiqhiyyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian al-qawaid al-fiqhiyyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3.       Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyyah. Sementara ¬al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4.      Al-qawaid al-ushuliyyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, al-qawaid al-ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh). Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
5.      Dari satu sisi al-qawaid al-fiqhiyyah memiliki persamaan dengan al-qawaid al-ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang berada di bawahnya. Sementara perbedaannya, al-qawaid al-ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan

berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.