Jumaat, 15 Februari 2013



“MAHKUM BIH”


1.  Pendahuluan
                Obyek kajian Ushul Fiqh di antaranya adalah pembahasan tentang hukum syara’[1] (hukum yang pada hakekatnya dibuat oleh Allah yang diperintahkan kepada seluruh mukallaf), baik yang berkait dengan hukum taklifi (seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), maupun yang terkait dengan hukum wad’i (seperti: sebab, syarat, halangan, sah, batal, fazid, azimah dan rukhsah). Dalam pembahasan hukum syara’ juga dibahas tentang pembuat hukum (hakim), ketetapan hukum dan syarat-syaratnya (al-hukm), perbuatan mukallaf yang dikenai hukum (mahkum fih), orang yang dibebani hukum (mahkum ‘alaih).
                Untuk menyebut istilah objek hukum, dalam ushul fiqih disebut mahkum fih/mahkum bih[2], karena di dalam peristiwa itu ada hukum (seperti hukum wajib dan hukum haram). Lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum bih.
                Pengertian mahkum bih yaitu:
المحكوم به هو فعل المكلف الذى تعلق به حكم الشارع إقتضاء أوتخييرا أووضعا
 “Mahkum bih yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’, untuk tuntutan mengerjakan, memilih perbuatan, atau menetapkan”[3]. 

                Abdul Wahab Khallaf (2005)[4], mengartikan mahkum fih sebagai perbuatan mukallaf yang bersangkut dengan hukum syar’i. Sementara Muhammad Zakaria al-Bardisi (tt) yang dinukil Nasrun Haroen (2001), mengartikan mahkum fih sebagai obyek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan suatau pekerjaan; memilih suatu pekerjaan; dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, ‘azimah, rukhsah, sah serta batal[5].       
Dari beberapa pengertian itu dapat diambil kata kunci: (1) perbuatan mukallaf, (2) terkait hukum syara’, (3) tuntutan pengerjaan, pilihan perbuatan, melakukan atau meninggalkan, (4) terkait adanya syarat, sebab, halangan, ‘azimah, rukhsah, sah serta batal.
Dalam kehidupan sehari-hari, antara teori hukum syara’ dengan prakteknya banyak terjadi ketimpangan, kesenjangan, ketidaktahuan kaum Muslim ketika menjalankan ibadah. Artinya banyak kaum Muslim menjalankan ibadah tanpa tahu keilmuannya. Ibadah dijalankan hanya mengikuti syarat rukunnya, tetapi masalah betul atau belum jarang diperhatikan. Hal demikian bisa menimbulkan masalah, karena untuk melakukan ibadah secara baik harus diikuti keilmuan yang baik pula.
  
2.  Rumusan Masalah
                Untuk dapat menjalankan ibadah dengan baik dan betul, sesuai dengan konteks perbuatan mukallaf sebagai obyek hukum (mahkum bih), maka permasalahan yang harus dikuasai: 
(1) jenis perintah apa saja yang bisa dipahami dari sumber teks dan sumber lain,
(2) apa syarat-syarat perbuatan mukallaf itu bisa dikenai hukum,
(3) apa macam-macam perbuatan mukallaf yang dikenai hukum, dan
(4) bagaimana aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

3.  Tujuan penulisan
                Tujuan dari pembelajaran tentang mahkum bih ini adalah:
(1)    bisa mendeskripsikan jenis perintah yang bisa dipahami dari sumber teks penting (al-Qur`an dan as-Sunnah) dan sumber hukum lainnya,
(2)    mengetahui syarat-syarat mahkum fih,
(3)    jenis perbuatan mukallaf yang bisa dikenai hukum, dan
(4) memiliki pengetahuan mengaplikan keilmuan dalam kehidupan sehari-hari.



PEMBAHASAN

1.  Jenis perintah yang dipahami dari sumber teks
                Obyek hukum adalah perbuatan mukallaf, di mana hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zatnya. Umpamanya “daging babi”. Pada daging babinya sendiri  tidak berlaku hukum, baik suruhan maupun larangan.  Berlakunya hukum larangan adalah pada memakan daging babi, yaitu suatu perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi.
                Demikian juga kalau kita kaji dari teks al-Qur’an dan al-Hadis, bisa dipahami perintah atau larangan apa yang dimunculkan dari teks itu. Contoh[6]:
a.   QS. Al-Baqarah : 43; “Dirikanlah Sholat...”, kewajiban dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu kewajiban untuk  mengerjakan sholat.
b.  QS. Al-Baqarah : 282; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua’ammalah secara tiak tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”, ayat ini ada anjuran yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu menuliskan utang piutang,maka hukumnya menjadi mandub.
c.   QS. Al-An’am : 151; Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Allah melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar. Ayat ini mengandung suatu larangan tentang perbuatan mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh itu hukumnya haram.
d.  QS. Al-Baqarah : 267; “Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan darinya...”, dalam ayat ini ada larangan yang tidak tegas yang tekait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan menginfakkan harta yang buruk-buruk. Maka menafkahkan harta yang buruk itu hukumnya makruh.
e.  QS. Al-Jumu’ah : 10; “apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di atas bumi dan carilah karunia Allah...”, ayat ini mengandung kebolehan mencari rizki setelah melaksanakan shalat. Kebolehan ini terkait dengan perbuatan mukallaf, yaitu ibahah. Karena mencari rizki itu hukumnya mubah.
f.   QS. Al-Baqarah : 198; “Wahai orang-orang yang berian, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh...”, pembunuhan yang dipaparkan ayat ini muncul dari perbuatan mukallaf, dan pembunuhan itu menjadi sebab disyari’atkannya qishash.
g.   QS. Al-Maidah: 5-6; “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku...”, wudhu` yang dibicarakan ayat ini merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf, dan merupakan syarat sah suatu shalat.
h.  HR. Abu Daud, Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal: “Pembunuh tidak mewarisi”, salah satu penyebab seseorang terhalang mendapatkan harta warisan, menurut hadis ini adalah pembunuhan. Pembunuhan juga merupakan perbuatan mukallaf.
                      Menurut Ulama Ushul Fiqh,  pada perbuatan mukalaf itu dikenai taklif (pembebanan hukum). Tidak ada taklif, melainkan terhadap perbuatan hukum. Namun, mayoritas ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa obyek hukum terkait larangan, bukan berbentuk “perbuatan”, melainkan mengambil “sikap tidak berbuat”. Sikap tidak berbuat itu bukan perbuatan. Namun, Jumhur Ulama Ushul Fiqh menyatakan “sikap tidak berbuat itu termasuk obyek hukum dan terkait dengan perbuatan mukallaf juga”[7].

2.   Syarat–Syarat Mahkum Bih
                Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu[8]:
1.  Mukallaf mengetahui secara sempurna[9] perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia lakukan.
                            Seorang mukallaf tidak dituntut untuk mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan haji, melakukan jihad, berinfak, meninggalkan minuman keras, meninggalkan perzinahan dan pencurian, melainkan setelah mengetahui secara baik hukum Allah yang terkait dengan perbuatan tersebut.
                            Pengetahuan mukallaf terhadap hukum perbuatan itu meliputi pengetahuan tentang rukun, syarat, dan tata cara melaksanakan perbuatan. Pemahaman teks bersifat global tidak bisa menjadi dasar taklif sebelum ada penjelasan. Misalnya perintah shalat, harus diikuti pengetahuan tentang syarat, rukun dan cara mengerjakan slahat.
2.  Mukallaf mengetahui dengan baik sumber taklif suatu perbuatan yang akan ia laksanakan, sehingga pelaksanaannya merupakan ketaatan terhadap perintah Allah. Tujuan pelaksanaan sesuai tujuan taklif. Maksud Mukallaf mengetahui  sumber taklif adalah kemungkinan untuk mengetahuinya, yaitu melalui kemampuan akalnya. Para Ulama ushul tidak mensyaratkan bahwa setiap mukallaf harus mengetahui secara pasti dan mandiri hukum beserta dalilnya, karena hal ini akan menyebabkan sulitnya hukum itu dikerjakan, atau orang mencari-cari alasan keberatan melaksanakan hukum.
3.  Adanya peluang perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf.
Akibat syarat ketiga ini adalah:
a.   Jumhur Ulama Ushul menyatakan tidak boleh ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil, baik zat maupun luar zat.
             Kemustahilan dilihat dari zatnya adalah sesuatu yang tidak tergambar eksistensinya oleh akal seperti adanya dua hukum yang bertolak belakang. Contoh: wajib mengerjakan sesuatu tetapi pada saat yang sama juga haram mengerjakannya. Hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
             Kemustahilan dilihat bukan dari zatnya adalah sesuatu yang tergambar eksistensinya dalam akal, tetapi menurut hukum kebiasaan hal itu tidak pernah terjadi, seperti manusia bisa terbang seperti burung. Dalam dua jenis kemustahilan tidak syah adanya taklif, Allah swt menyatakan tidak ada taklif bagi sesuatu yang tidak bisa dikerjakan (al-Baqarah: 286).
             Asy’ariyah berpendapat boleh taklif dengan sesuatu yang mustahil, baik zat maupun yang lain, karena hal itu terjadi dalam tingkat syarat. Contoh: taklif beriman untuk orang kafir dan ingkar. Taklif Abu Jahal untuk beriman dan menyatakan Rasul saw benar. Allah swt tahu Abu Jahal dan orang ingkar itu tidak akan beriman dan menyatakan kebenaran Rasul saw, sebab perbuatan itu berada di luar kemampuan melakukan. Juga, taklif pada sesuatu yang mustahil, merupakan ujian mukallaf.
b.  Secara umum, Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain, karena taklif yang bukan pada dirinya. Seseorang tidak dibebani kewajiban untuk mengerjakan shalat buat saudaranya. Seseorang tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan orang lain.
c.   tidak sah, membebankan perbuatan yang bersifat fitri, yang manusia tidak turut campur di dalamnya, dan tidak ada hak pilih, seperti marah, benci, takut, gembira, cinta dll. Perbuatan itu fitri, bukan kehendak dan ikhtiar. Tidak ada taklif. Apabila ada teks menunjuk taklif pada perbuatan fitri, maka harus dipalingkan dari makna zahir ke makna batin.
      Seperti (QS. Ali ‘Imran: 102) ayat ini menurut zahir, menuntut mukallaf tidak mati sebelum menjadi muslim. Makna batinnya memerintah mukallaf masuk Islam sebelum mati.
d.  Tercapainya syarat taklif, seperti syarat iman pada ibadah.
      Persoalan populer: “apakah orang kafir dibebani taklif untuk melaksanakan hukum syara,’ seperti dalam masalah keimanan mereka dibebani taklif”.
      Jumhur (Asy’ariyyah, Mu’tazilah, sebagian Hanafiyyah): orang kafir dituntut untuk mengerjakan hukum syara’, karena seluruh ayat taklif berlaku umum. Ayat tentang siksa juga berlaku bagi orang kafir. Semua orang akan dimintai pertanggungjawaban. Syarat taklif terpenuhi.
      Mayoritas Hanafiyyah dan Abu Hamid al-Asfarayni: terpenuhinya syarat taklif merupakan syarat adanya taklif. Orang kafir tidak dikenakan taklif untuk hukum syara’, karena kalau taklif hukum syara’ berarti kafirnya legal. Dan ketika masuk Islam wajib qadha’ seluruh amalan yang tidak dikerjakan ketika kafir.

3.  Macam-macam Mahkum fih   
a.   Segi keberadaan secara material dan syara’, mahkum fih:
      1) perbuatan material ada, bukan perbuatan terkait syara’,
             misal: makan dan minum.
      2) perbuatan material ada, menjadi sebab hukum syara’,
             misal: zina, mencuri, membunuh. Perbuatan menjadi sebab hukum hudud dan qishash.
      3)  perbuatan material ada, bernilai syara’ bila memenuhi syarat rukun
             misal: shalat, zakat, puasa, haji.
      4)  perbuatan material ada, diakui syara’, mengakibatkan hukum syara’ lain
             Misal: nikah, jual beli, sewa menyewa.
             Memenuhi rukun syarat diakui syara’, akibat muncul hukum syara’ lain: halalnya hubungan suamu isteri, wajib mahar, wajib nafkah, pindah hak dalam jual beli, hak menerima upah dalam sewa.
b.  Segi hak yang terdapat dalam perbuatan, mahkum fih:
      1)  semata-mata hak Allah[10]
            a) Ibadah mahdhah (murni), seperti iaman dan rukun Islam.
             b) Ibadah yang mengandung makna bantuan/santunan, seperti zakat fitrah.
             c) Bantuan/santunan mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil bumi.
             d) Biaya/santuan mengandung makna hukuman, seperti pajak bumi (kharaj), hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
             e)  Hukuman berbagai tindak pidana, seperti hukuman zina (dera/rajam), hukuman pencurian (potong tangan), qadzaf (80 kali dera) hukuman tindak pidana ta’zir.
             f)   Hukuman mengandung makna ibadah, seperti kaffarat zihar, kaffarat sumpah, dan berbagai diyat.
             g)  Hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan 20% harta karun dan rampasan perang.
      2)  Hak hamba terkait kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak, hak kepemilikan, hak pemanfaatan harta sendiri. Hak ini boleh digugurkan pemiliknya.
      3)  Kompromi hak Allah dan hak hamba, tetapi hak Allah lebih dominan, seperti qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina). Dari kemaslahatan hak Allah, dari menghilangkan aib hak hamba.
      4)  Kompromi hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih dominan, seperti qishash. Segi pemeliharaan keamanan dan penghormatan orang itu hak Allah, segi menjamin kemaslahatan ahli waris hak hamba. Tapi karena qishash menyangkut ahli waris terbunuh, berhak gugur apabila ada kemaafan, maka hak hamba lebih dominan.

4.   Aplikasi dalam kehidupan
      Perbuatan hukum yang dikenakan pada mukallaf, misalnya terkait perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf, akan memunculkan persoalan lain yaitu pada level pelaksanaan akan ada kesulitan (masyaqqat) pada taklif. Di samping itu, pada level kadar kemampuan melaksanakannya juga bervariasi pada masing-masing mukallaf.                               
a.   Tingkat kesulitan/halangan (al-masyaqqat)         
                            Perlu diketahui bahwa salah satu syarat tuntutan harus bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu dalam melaksanakannya pasti ada ada suatu kesulitan. Masyaqqoh dibagi menjadi dua macam yaitu:
1) Masyaqqoh  Mu’tadah,
Adalah Masyaqqah yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam melaksanakannya. Kesulitan seperti ini tidak bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan dalam melaksanakannya.
Contoh:
Diwajibkan shalat ini bukan bermaksud agar badan capek atau bagaimana, akan tetapi untuk melatih dirinya, juga bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Ibadah puasa dan haji. masyaqqah dalam bentuk ini tidak menghalangi taklif dan dapat menjadi obyek hukum, karena memang semua obyek hukum tidak ada yang bebas dari kesulitan, namun dapat dilakukan oleh mukallaf meskipun dengan sedikit berat.
Oleh karena itu tidak dibenarkan untuk mengutamakan menghilangkan kesulitan atau mencari-cari sesuatu yang lebih sulit, dengan sangkaan bahwa semakin sulit suatu taklif semakin banyak pahalanya.Sangkaan semacam itu bertentangan dengan hukum syara.  Maka bila ada orang sengaja meninggalkan jalan yang biasa ia gunakan untuk pergi ke masjid misalnya, dan memilih jalan yang penuh dengan rintangan ia tidak dapat dibenarkan.
2) Masyaqqoh Goiru Mu’tadah,
adalah masyaqqah yang tidak mungkin seorang melakukannya secara berketerusan atau tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pengerahan tenaga yang maksimal. Taklif seperti ini mungkin bisa menurut akal, namun tidak ada dalam syariat. Allah, tidak menuntut manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan.
Contoh:
Berperang jihad di jalan Allah. Dalam masyaqqah seperti ini dapat berlaku taklif, namun tidak untuk semua orang dan tidak secara berketerusan  masyaqqah ini terdapat kesulitan yang besar sekali dan tidak semua orang mampu mengerjakannya. Karena itu hukumnya adalah wajib kifayah terhadap orang yang mampu melaksanakannya.
ير يد الله بكم اليسر و لا ير يد بكم العسر
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (al-Baqarah: 185).

Apabila dalam suatu amalan terdapat kesulitan untuk mengerjakannya, maka Allah SWT pun memberikan keringanan dengan cara rukshah. Adanya rukhshah dalam hukum syara, seperti dibolehkan manjamak dan mengqasar jumlah rakaat dalam shalat.
b.  Pembagian Kemampuan menurut Ulama Hanafiyah
                Menurut ulama Hanafiyyah, kemampuan adalah terjaganya alat untuk melakukan sesuatu sahnya syarat. Maksudnya adalah adanya perantara untuk melakukan tuntutan tersebut, seperti sehat, adanya air, dan lain sebagainya. Kemampuan menurut mereka terbagi dalam dua bagian, yaitu : mutlaq dan sempurna.
1) Mutlaq, merupakan kemampuan yang mungkin, yaitu adanya sarana untuk melaksanakan kewajiban, baik berupa harta ataupun lainnya. Sebagai contoh seperti, air mutlaq diperlukan untuk berwudu, orang yang sudah mampu diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji. Namun, syarat tersebut tidak harus sesuai daam keadaan wajib, seperti tidak gugur kewajiban ibadah haji, jika seseorang telah mampu, tetapi tidak melaksanakannya sampai hartanya habis.
2) Sempurna, adalah kemampuan yang memudahkan, yakni adanya faktor yang memudahkan dalam pelaksanaan kewajiban. Hal ini biasanya berkaitan dengan masalah harta, bukan dengan badan. Seperti kewajiban zakat, yang merupakan kelebihan harta. Oleh karena itu, kewajiban zakat ada, apabila selama ada harta. Karena bila dipaksakan maka kewajiban zakat itu menjadi gugur dan menjadi kesulitan.
      Di samping kedua hal di atas, perlu ditegaskan juga bahwa taklif tidak dalam posisi mukallaf itu harus tahu sempurna dulu baru taklif, atau tahu sumber taklif itu secara sempurna juga, baru taklif. Tetapi dengan keberadaan mukallaf yang sangat dimungkinkan untuk berproses untuk tahu sendirilah yang kemudian menjadikan perbuatan mukallaf itu bisa dianggap sebagai perbuatan hukum, dalam hal ini disebut taklif itu. Dengan demikian orang yang belum baligh, belum sempurna akal, lalai, tidur, pingsan, gila, mabok, pada saat seperti itu tidak dikenakan taklif.
Kesimpulan
     
1.       Jenis perintah yang bisa dipahami dari sumber teks utama adalah: perintah mengerjakan bersifat wajib, perintah mengerjakan bersifat sunat, kewenangan memilih untuk mengerjakan atau meninggalkan (mubah), perintah untuk meninggalkan tetapi boleh juga mengerjakan (makruh), perintah meninggalkan secara mutlaq (haram), menjadikan suatu perbuatan sebagi sebab hukuman (qishash), perbuatan sebagai sebab sah (syarat), dan sebagainya.
2.       Syarat perbuatan mukallaf dikenai hukum: a) Mukallaf berpeluang tahu terhadap tindakan hukum yang akan dilakukan, b) Mukallaf dimungkinkan tahu sumber taklif, c) Mukallaf berpeluang memilih untuk mengerjakan atau meninggalkan perbuatan hukum. Masing-masing mengandung konsekuensi.
3.       Macam-macam perbuatan hukum, dilihat dari dua segi: segi keberadaan material dan syara’ (terkait, menjadi sebab, terpenuhi dengan syarat rukun, efek hukum lain), dan segi hak dalam perbuatan (hak Allah, hak hamba, kompromi dominan Allah, kompromi dominan hamba).
4.       Penerapan perbuatan hukum pada mukallaf dalam kehidupan sehari-hari akan bertemu kendala, yaitu tingkat kesulitan dan kemampuan mukallaf bertindah hukum. Di samping itu, pengetahuan mukallaf juga tidak menghalangi taklif, terkait berpeluangnya mukallaf untuk tahu tentang perbuatan hukum itu dan darimana sumber taklifnya.   













DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Zaini, dkk., al-Qur’an dan Terjemah Tafsirnya, (Yogyakarta : UII Press, 2008).

Effendi, Satria, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cetakan ke-1.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 2001), Cetakan ke-3.

Khallaf, Abdul Wahab,  Ilmu Ushul Fiqh, Terjemah, Judul Asli: ‘Ilmu uṣūl al-fiqhi, Penerjemah: Halimuddin, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2005), cetakan ke-5.

Mu’allim, Amir, Materi Kuliah Ushul Fiqh 2, Bahan Kuliah Ushul Fiqh 2, Prodi Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2012.

Syarifuddin, Amir,  Ushul Fiqh 1, (Jakarta : Kencana, 2008).



[1] Pembahasan yang lain adalah: (1) sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’, (2) mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zhahir dianggap bertentangan, (3) pembahasan ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan (mujtahid), (4) pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya (dalam Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 2001, cetakan ke-3, hlm. 4 – 5). 
[2] Prof. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1,(Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 417.
[3] Prof. Dr. Amir Mu’allim, M.Si, Materi Kuliah Ushul Fiqh 2, Bahan Kuliah Ushul Fiqh 2, Prodi Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2012.
[4] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemah, Judul Asli: ‘Ilmu uṣūl al-fiqhi, Penerjemah: Halimuddin, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2005), cetakan ke-5, hlm. 154.
[5] Nasrun Haroen, Ibid, hlm. 292.
[6] Nasrun Haroen, Ibid, hlm. 292 – 295.
[7] Nasrun Haroen, Ibid, hlm. 295.
[8] Nasrun Haroen, Ibid, hlm. 295-302.
[9] Syarat semacam ini dirasa kurang operasional. Bagaimana mungkin seseorang akan mengetahui sesuatu itu secara sempurna secara keilmuan, baru dibebani hukum atas perbuatannya? Pengertian tentang sesuatu itu selalu akan bertambah seiring berjalannya waktu. Unsur terpenting dari pembebanan hukum adalah seseorang (mukallaf) itu dianggap cakap untuk bertindak hukum (Nasrun Haroen, 2001: 305). Hal ini berarti hukum diberlakukan pada mukallaf atas perbuatannya itu, karena dimungkinkan seorang mukallaf mampu memahaminya secara keilmuan, tanpa menunggu kesempurnaan dari keilmuannya terlebih dahulu.
[10] Yaitu segala yang menyangkut kemaslahatan umum tanpa kecuali. Dalam hak ini seseorang tidak dibenarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. Hak yang sifatnya semata-mata hak Allah swt ada delapan macam (Nasrun Haroen, Ibid, hlm. 303-304).

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.