Jumaat, 15 Februari 2013

pemimpin/presiden wanita


  Kepemimpinan Wanita : Feminis dan Syari'ah



Kepemimpinan wanita merupakan persoalan pelik yang sampai saat ini terus menjadi perbincangan. Lingkup perbincangan tersebut bermula dari tatanan syari'ah yang memberikan barrier berupa sinyalemen hadits bahwa tidak akan beruntung suatu masyarakat jika kepemimpinan diserahkan kepada wanita. (Hr. Bukhari)

Interprestasi akan Hadits sebagai sumber kedua setelah Quran biasanya diletakkan kepada persoalan Sanad dan Perawinya. Artinya apakah secara matan (isi) suatu hadits tersebut bertentangan atau tidak dengan Qur'an, atau dapat difahami dengan logika Islam sebagai agama yang fitrah atau tidak. Kemudian interprestasi yang lain adalah berdasarkan kekuatan sanad ataupun pembawanya. Dengan menggunakan kekuatan sanad akan melahirkan jenis hadist dari tingkat Shahih sampai dloif, mursal bahkan palsu.

Menurut Yusuf Qardhawy, hadits ini adalah Shahih sebab periwayatannya dari Abu Bakrah yang kemudian dikutip Bukhari. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari termasuk ke dalam hadist yang shahih. Sedangkan dari pertimbangan matan, ada yang difahami secara tekstual, ataupun difahami secara kontekstual. Pemahaman secara tekstual akan menyimpulkan bahwa haram hukum wanita menjadi kepala pemerintahan. Sedangkan pemahaman secara kontekstual, bahwa hadits tersebut berkaitan dengan diangkatnya seorang wanita Persia menjadi pemimpin meski disekitarnya terdapat banyak calon pemimpin yang memadai, hanya karena hukum kerajaan menghendaki demikian.[15]
Mayoritas ulama ushul melihat bahwa pertimbangan keumuman lafazh lebih mengedepan bukan pada kekhususan sebab. Meski demikian Ibnu Abbas dan Ibnu Umar tidak semata-semata itu, hal ini setidaknya melihat dampak dari pemahaman yang demikian dapat menimbulkan kelompok-kelompok seperti Khawarij yang berlebihan dalam agama. Golongan Khawarij dalam menafisrkan ayat maupun hadits secara tekstual, sehingga menjadikan agama sangat berat, bahkan sampai mengkafirkan perbedaan pendapat.[16]

Jumhur ulama sepakat akan haramnya wanita memegang kekuasan dalam al-wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi). Di mana wanita berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam urusan pemerintahan. Sebab dalam matan hadits tersebut terdapat kata "Wallu Amrahum" (Yang Memerintah Kamu Semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam sistem politik Islam. Sehingga jumhur ulama memberikan pengharaman pada wanita. Hampir ulama klasik memandang perlu untuk mengetengahkan hawa hak menjadi khalifah adalah haq laki-laki, bukan wanita. Ini diungkapkan baik oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun.[17]

Akan tetapi dalam batas kepemimpinan dalam satu bidang tertentu, yang tidak menyeluruh dalam masyarakat, wanita berhak mendapatkan itu, seperti dalam kejaksaan, pendidikan bahkan menjadi menteri.[18] Meski demikian perkembangan pemikiran tentang kepemimpinan merupakan hak setiap insan. Pandangan kaum modernis terutama yang diwakili oleh kalangan feminis. Fatimah Mernisi seorang feminis muslim asal Aljazair bahkan secara radikal menyerang pemahaman ulama yang telah membuat fiqh yang diskriminasi kepada perempuan. Banyak hak perempuan dikebiri. Dan shabahat Abu Bakrah dalam hal ini menjadi tertuduh terbesar. Sebab dialah yang mengingatkan Khalifah Ali setelah perang Jamal dengan Aisyah. Abu Bakrah sendiri menurut Mernisi adalah Shahabat yang pernah dihukum oleh Umar bin Khattab karena keraguan dalam memberikan saksi. Sehingga menurut Fatimah Mernisi hadits yang diriwayatkan Abu Bakrah adalah palsu dan tidak bisa dijadikan hujjah. Tampaknya Fatimah Mernisi menjadi sangat emosional, sehingga ketika Ali membenarkan hadits tersebut tak gubris. Bahkan Ali difahami juga turut berbohong demi kepentingan politiknya. Lebih lanjut Hasan bin Ali juga mendukung hadits tersebut, dan disebutnya Hasan bin Ali ada kepentingan karena kekuasaannya akan diambil Muawiyah.[19] Tidak bolehnya wanita duduk dalam kepemimpinan politik adalah produk ulama yang bias dengan patriakhi.

Berbagai Pendekatan Argumentasi yang Membolehkan Wanita Menjadi Presiden
Pendapat-pendapat yang berkembang seputar kebolehan wanita menjadi presiden , telah dimunculkan dengan berbagai pendekatan argumentasi. Diantaranya adalah :
1. Pendekatan sosial (perspektif gender)
  Menurut cara pandang atau perspektif gender, adanya pengharaman wanita menjadi presiden adalah pandangan bias gender yang cenderung menempatkan posisi wanita di bawah pria. Hal ini merupakan penindasan atas hak wanita yang pada dasarnya memiliki hak yang sama dengan pria termasuk dalam bidang politik. Berangkat dari pandangan demikian, maka wajar apabila kemudian muncul pertanyaan bahwa penyumbatan hak perempuan menjadi pemimpin, jelas-jelas berlatar belakang politik (Republika, 27 November 1998).
  1. Pendekatan Historis (tataran empiris)
  Bahwa perdebatan soal kepemimpinan perempuan seakan tidak melihat fakta sejarah yang memberi kebebasan perempuan di masa lalu duduk menjadi pemimpin. Misalnya dalam sejarah Aceh yang pada jamannya pernah dipimpin oleh wanita. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Quraish Shihab (Staf pengajar IAIN Syarif Hidayatullah) yang menegaskan bahwa kaum perempuan sebenarnya memiliki hak politik yang sama dengan kaum pria. Terlalu banyak bukti yang menyebutkan perempuan terlibat dalam kepemimpinan di jaman Rasulullah saw. Misalnya istri Rasulullah, Aisyah pernah memimpin perang. Oleh karenanya sangat keliru kalau kita hanya berdasar pada satu dua hadist soal kepemimpinan wanita. Oleh karena itu selama perempuan mampu mempersatukan bangsa dan memimpin bangsa dan negara dengan baik maka tak ada larangan bagi wanita untuk menjadi pemimpin negara. Ungkapan senada diutarakan oleh pengasuh pondok pesantren Daruttafsir Arjowinangun Cirebon, KH A. Husein Muhammad. Pakar fiqih ini mengemukakan bahwa pandangan semua ahli fiqih , peran politik dalam arti amar ma’ruf nahi munkar memberi kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Namun dalam berpolitik praktis kesempatan itu tdiak sama. Oleh karenanya perlu melihat realita sosial. Dimana sudah banyak perempuan yang menjadi pemimpin negara dan pemerintahan (Republika , 27 November 1998).

  1. Pendekatan Maslahat
  Bahwa semua pertimbangan yang memberi kesempatan kaum perempuan memimpin bangsa ini harus didasarkan pada kemaslahatan umat. Dra Keusnendar, mantan anggota DPR dari PPP menyatakan bahwa perlu ada persyaratan yang sesuai dengan kondisi bangsa dan negara agar kepemimpinan umat ini membawa manfaat bagi umat. Dalam konteks ini ia sepakat bila saat ini lebih baik kaum lelaki yang menjadi pemimpin. Dengan kata lain tidak menutup kemungkinan suatu saat wanita bisa menjadi seorang pemimpin. (Republika, 27 November 1998).
  1. Pendekatan Ilmiah
  Bahwa untuk memimpin sebuah negara dibutuhkan orang yang memiliki kemampuan (Kapabilitas untuk memimpin negara secara adil dan bijaksana serta mampu memajukan bangsa dan mengangkat bangsa dari keterpurukan akibat krisis ekonomi, tanpa memandang pria atau wanita. Oleh karena itu tidak perlu ada phobia terhadap munculnya wanita yang menduduki peran jabatan pemerintahan.
  1. Pendekatan Syara’
  Bahwa untuk memahami ayat, harus dipahami secara kontekstual progresif. Hadist yang melarang wanita menjadi penguasa, menurut Quroish Shihab bahwa sejak jaman Nabi saw telah dikenal ada pemahaman tekstual dan kontekstual. Yang memahami hadist di atas secara kontekstual mengkaitkan dengan konteksnya yakni diucapkan Nabi saw ketika putri Kaisar menggantikan ayahnya sebagai penguasa tertinggi. Dengan demikian ia hanya berlaku untuk kasus tersebut bukan untuk yang lain.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.