Kepemimpinan Wanita : Feminis dan Syari'ah
Kepemimpinan
wanita merupakan persoalan pelik yang sampai saat ini terus menjadi
perbincangan. Lingkup perbincangan tersebut bermula dari tatanan syari'ah yang
memberikan barrier berupa sinyalemen hadits bahwa tidak akan beruntung suatu
masyarakat jika kepemimpinan diserahkan kepada wanita. (Hr. Bukhari)
Interprestasi
akan Hadits sebagai sumber kedua setelah Quran biasanya diletakkan kepada
persoalan Sanad dan Perawinya. Artinya apakah secara matan (isi) suatu hadits
tersebut bertentangan atau tidak dengan Qur'an, atau dapat difahami dengan
logika Islam sebagai agama yang fitrah atau tidak. Kemudian interprestasi yang
lain adalah berdasarkan kekuatan sanad ataupun pembawanya. Dengan menggunakan
kekuatan sanad akan melahirkan jenis hadist dari tingkat Shahih sampai dloif,
mursal bahkan palsu.
Menurut
Yusuf Qardhawy, hadits ini adalah Shahih sebab periwayatannya dari Abu Bakrah
yang kemudian dikutip Bukhari. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
termasuk ke dalam hadist yang shahih. Sedangkan dari pertimbangan matan, ada
yang difahami secara tekstual, ataupun difahami secara kontekstual. Pemahaman
secara tekstual akan menyimpulkan bahwa haram hukum wanita menjadi kepala
pemerintahan. Sedangkan pemahaman secara kontekstual, bahwa hadits tersebut
berkaitan dengan diangkatnya seorang wanita Persia menjadi pemimpin meski
disekitarnya terdapat banyak calon pemimpin yang memadai, hanya karena hukum
kerajaan menghendaki demikian.[15]
Mayoritas
ulama ushul melihat bahwa pertimbangan keumuman lafazh lebih mengedepan bukan
pada kekhususan sebab. Meski demikian Ibnu Abbas dan Ibnu Umar tidak
semata-semata itu, hal ini setidaknya melihat dampak dari pemahaman yang
demikian dapat menimbulkan kelompok-kelompok seperti Khawarij yang berlebihan
dalam agama. Golongan Khawarij dalam menafisrkan ayat maupun hadits secara
tekstual, sehingga menjadikan agama sangat berat, bahkan sampai mengkafirkan
perbedaan pendapat.[16]
Jumhur
ulama sepakat akan haramnya wanita memegang kekuasan dalam al-wilayatul-kubra
atau al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi). Di mana wanita berperan sebagai
pemimpin tertinggi dalam urusan pemerintahan. Sebab dalam matan hadits tersebut
terdapat kata "Wallu Amrahum" (Yang Memerintah Kamu Semua), yang
ditafsirkan sebagai Khalifah dalam sistem politik Islam. Sehingga jumhur ulama
memberikan pengharaman pada wanita. Hampir ulama klasik memandang perlu untuk
mengetengahkan hawa hak menjadi khalifah adalah haq laki-laki, bukan wanita.
Ini diungkapkan baik oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu
Khaldun.[17]
Akan
tetapi dalam batas kepemimpinan dalam satu bidang tertentu, yang tidak menyeluruh
dalam masyarakat, wanita berhak mendapatkan itu, seperti dalam kejaksaan,
pendidikan bahkan menjadi menteri.[18] Meski demikian perkembangan pemikiran
tentang kepemimpinan merupakan hak setiap insan. Pandangan kaum modernis
terutama yang diwakili oleh kalangan feminis. Fatimah Mernisi seorang feminis
muslim asal Aljazair bahkan secara radikal menyerang pemahaman ulama yang telah
membuat fiqh yang diskriminasi kepada perempuan. Banyak hak perempuan dikebiri.
Dan shabahat Abu Bakrah dalam hal ini menjadi tertuduh terbesar. Sebab dialah
yang mengingatkan Khalifah Ali setelah perang Jamal dengan Aisyah. Abu Bakrah
sendiri menurut Mernisi adalah Shahabat yang pernah dihukum oleh Umar bin
Khattab karena keraguan dalam memberikan saksi. Sehingga menurut Fatimah
Mernisi hadits yang diriwayatkan Abu Bakrah adalah palsu dan tidak bisa
dijadikan hujjah. Tampaknya Fatimah Mernisi menjadi sangat emosional, sehingga
ketika Ali membenarkan hadits tersebut tak gubris. Bahkan Ali difahami juga
turut berbohong demi kepentingan politiknya. Lebih lanjut Hasan bin Ali juga
mendukung hadits tersebut, dan disebutnya Hasan bin Ali ada kepentingan karena
kekuasaannya akan diambil Muawiyah.[19] Tidak bolehnya wanita duduk dalam
kepemimpinan politik adalah produk ulama yang bias dengan patriakhi.
Berbagai
Pendekatan Argumentasi yang Membolehkan Wanita Menjadi Presiden
Pendapat-pendapat
yang berkembang seputar kebolehan wanita menjadi presiden , telah dimunculkan
dengan berbagai pendekatan argumentasi. Diantaranya adalah :
1.
Pendekatan sosial (perspektif gender)
Menurut cara pandang atau perspektif gender,
adanya pengharaman wanita menjadi presiden adalah pandangan bias gender yang
cenderung menempatkan posisi wanita di bawah pria. Hal ini merupakan penindasan
atas hak wanita yang pada dasarnya memiliki hak yang sama dengan pria termasuk
dalam bidang politik. Berangkat dari pandangan demikian, maka wajar apabila
kemudian muncul pertanyaan bahwa penyumbatan hak perempuan menjadi pemimpin,
jelas-jelas berlatar belakang politik (Republika, 27 November 1998).
- Pendekatan Historis (tataran empiris)
Bahwa perdebatan soal kepemimpinan perempuan
seakan tidak melihat fakta sejarah yang memberi kebebasan perempuan di masa
lalu duduk menjadi pemimpin. Misalnya dalam sejarah Aceh yang pada jamannya
pernah dipimpin oleh wanita. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Quraish Shihab
(Staf pengajar IAIN Syarif Hidayatullah) yang menegaskan bahwa kaum perempuan
sebenarnya memiliki hak politik yang sama dengan kaum pria. Terlalu banyak
bukti yang menyebutkan perempuan terlibat dalam kepemimpinan di jaman
Rasulullah saw. Misalnya istri Rasulullah, Aisyah pernah memimpin perang. Oleh
karenanya sangat keliru kalau kita hanya berdasar pada satu dua hadist soal
kepemimpinan wanita. Oleh karena itu selama perempuan mampu mempersatukan
bangsa dan memimpin bangsa dan negara dengan baik maka tak ada larangan bagi
wanita untuk menjadi pemimpin negara. Ungkapan senada diutarakan oleh pengasuh
pondok pesantren Daruttafsir Arjowinangun Cirebon, KH A. Husein Muhammad. Pakar
fiqih ini mengemukakan bahwa pandangan semua ahli fiqih , peran politik dalam
arti amar ma’ruf nahi munkar memberi kesempatan yang sama bagi laki-laki dan
perempuan. Namun dalam berpolitik praktis kesempatan itu tdiak sama. Oleh
karenanya perlu melihat realita sosial. Dimana sudah banyak perempuan yang
menjadi pemimpin negara dan pemerintahan (Republika , 27 November 1998).
- Pendekatan Maslahat
Bahwa semua pertimbangan yang memberi
kesempatan kaum perempuan memimpin bangsa ini harus didasarkan pada
kemaslahatan umat. Dra Keusnendar, mantan anggota DPR dari PPP menyatakan bahwa
perlu ada persyaratan yang sesuai dengan kondisi bangsa dan negara agar kepemimpinan
umat ini membawa manfaat bagi umat. Dalam konteks ini ia sepakat bila saat ini
lebih baik kaum lelaki yang menjadi pemimpin. Dengan kata lain tidak menutup
kemungkinan suatu saat wanita bisa menjadi seorang pemimpin. (Republika, 27
November 1998).
- Pendekatan Ilmiah
Bahwa untuk memimpin sebuah negara dibutuhkan
orang yang memiliki kemampuan (Kapabilitas untuk memimpin negara secara adil
dan bijaksana serta mampu memajukan bangsa dan mengangkat bangsa dari
keterpurukan akibat krisis ekonomi, tanpa memandang pria atau wanita. Oleh
karena itu tidak perlu ada phobia terhadap munculnya wanita yang menduduki
peran jabatan pemerintahan.
- Pendekatan Syara’
Bahwa untuk memahami ayat, harus dipahami
secara kontekstual progresif. Hadist yang melarang wanita menjadi penguasa,
menurut Quroish Shihab bahwa sejak jaman Nabi saw telah dikenal ada pemahaman
tekstual dan kontekstual. Yang memahami hadist di atas secara kontekstual
mengkaitkan dengan konteksnya yakni diucapkan Nabi saw ketika putri Kaisar menggantikan
ayahnya sebagai penguasa tertinggi. Dengan demikian ia hanya berlaku untuk
kasus tersebut bukan untuk yang lain.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.