TUGAS
REVIEW ARTIKEL
BAHASA
INDONESIA
MENUJU
FIQIH KESETARAAN GENDER DI INDONESIA
Studi kritis tentang pemikiran hukum islam
kontemporer di indonesia
Disusun oleh :
Hamdani Hakim
11421021
A.
Pendahuluan
Perbincangan di sekitar isu kesetaraan gender merupakan
salah satu isu besar dalam pemikiran islam kontemporer di samping isu
demokrasi, relasi agama dan negara dan lain-lain. kebudayaan manusia telah
menciptakan hubungan laki-laki dan perempuan tak seimbang atau ketimpangan.
perempuan dalam ruang budaya sampai hari ini masih sering ditempatkan pada
posisi subordinat, marjinal dan tereksploitasi. dalam banyak wacana pada
ketidak adilan gender,wacan keagamaan selalu dipandang telah ikut memberikan
andil yang sangat besar bagi kukuhnya sisitem sosial dan kebudayaan yang timpang tersebut. Dalam kasus indonesia,
wacana keagamaan selama ini telah memainkan peran signifikan dalam
kehidupanindividual dan sosial di masyarakat.
Problem ketimpangan gender tersebut kemudian melahirkan
aktivitas pemikiran kritis dari pakar pemikir agama (agama), terutama mereka
yang concern terhadap isu-isuu gender. dalam pandangan pemikiran kontemporer
sulit dapat dimengerti bagaimana agama
islam memberikan toleransi terhadap segala bentuk mlegitimasi. dalam keyakinan mereka dalam
keyakinan mereka, agama pastilah tidak mungkin melegitimasi berbagai bentuk
ketimpangan.
Gender merupakan kontruksi sosial budaya, Ia adalah label
dari kontruksi hubungan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, yang lebih
populer disebut relasi gender. Sejak adanya kesadaran sejarah mengenai perlunya
kesetaraan antara huungan laki-laki,gender terus diperjuangkan sebagai sebuah
kebudayaan baru dimasa kini dan masa datang. teori-teori pun tercipta dan
dipakai sebagai pisau analisisdalam kerangka memahami , menjelaskan dan
menafsir dinamika relasi gender pada berbagai kurun sejarah.
Dalam perlakuan gender terhadap perempuan biasanya
perempuan selalu dikalahkan, dipinggirkan, mengalami kekerasan fisik dan
simbolik. hal ini semua biasanya terangkum kedalam apa yang dikenal dengan
kontruksi budaya hubungan laki-perempuan yang bias gender.
Praktik-praktik myisoginy alias kekerasan laki-laki
terhadap perempuan terus saja berlangsung dalam berbagai budaya , bahkan pada
negara yang sangat demokrasi dan maju sekalipun.
B. Basis teoritis tafsir agama
bias gender.
Dalam
tafsir-tafsir klasik dan tafsir kontemporer dapat ditemukan dengan mudah
bagaiman perempuan secara teokosmologis diposisikan sebagai mahluk tuhan kelas
dua. contohnya dalam penciptaan manusia “ adam, menurut banyak tafisr adalah
manusia pertama yang diciptakan dan hawa diciptakan dari adam. meskipun dalam
al-qur’an tentang hal initidak perna ditemukan. tetapi para penafisr seperti
al-thabari , ibnu katsir, al-qurtubi dan al-sayuti menyepakati tafsir ini.
Posisi subordinat
perempuan juga dikemukakan al-thabari dia menyatakan bahwa adam dan hawa terusir dari surga
gara-gara hawa,” Allah bertanya kepada adam. “ hai adam , mengapa kamu
melanggar perintahku,? Adam menjawab “ gara-gara hawa “ akibat dari ini tuha n
menghukum Hawa dengan tiga hukuman, pertama : membuatnya menstruasi (haid)
setiap bulan, kedua : menjadi mahluk tuhan yang bodoh dan ketiga : melahiran
bayi dengan susah payah.
Tafsir di atas
menjadi basis subordinat dan diskriminasi perempuan untuk pandangan tafsir atas
teks-teks yang lain. ia menjadi basis bagi sejumlah pandangan keagamaan yang
menyudutkan perempuan. dalam al qur’an surat an-nisa’ ayat 34 dapat dibaca bagiaman
suami memperoleh hak memukul isterinya ketika tidak taat kepadanya. pernyataan
yang menggelisakan perempuan tentang soal ini deikemukan oleh abu hayyan al
andalusi dalam tafsirnya al-bahr al-muhit. ia mengatakan dalam menghadapi
isteri suami pertama kali menasehatinya dengan lembut, jika tidak efektif boleh
dengan kata-kata yang kasar dan jika tidak bias membiarkannya dengan ringan
atau dengan cara lain yang membuatnya lebuh berharga.
Pembagian kerja
laki-laki di ruang publik dan perempuan di ruang domestik , pada posisi lain
kemudian mengantarkan posisi keagamaan pada bentuk aturan lain berupa keharusan
perempuan untuk tidak boleh meninggalkan rumah kecuali karena keperluan yang
mendesak dan atas izin suami. hal ini merujuk pada ayat al quran surat an nisa’
ayat 34. dalam hal di atas menjelaskan bagaimana pemahaman agama memberikan
dasar legitimasi dalam peran-peran perempuan. pandangan ini bahkan menyebar
pada kitab tafsir. kitab fiqih dan kitab
hadits yang selama ini dibaca oleh masyarakat muslim dari waktu ke waktu. dan
disosialisasikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. beberapa
persoalan dalam fiqih yang belum terselesaikan secara adil dab setara adalah
relasi keadilan dan kesetaraan gender dalam keluaraga lintas iman. dalam banyak
kasus , fiqih terkesan mendeskriminasikan non muslim. ini tentu bertentangan
dengan prinsip islam sebagai rahmatan lil alamiin, kebaikan untuk
semua.keniscayaan perkembangan sosial –ekonomi-politik dewasaini telah menuntut
dan memaksa kaum perempuan terlibat dalam aktivitas bukan hanya pada ruang domistik, tetapi juga
ruang-ruang publik secara lebih luas.
C. tafsir agama bias gender
perspektif hermeneutik.
Dalam
kerangka mengaktualisasikan kembali prinsip-prinsip dan cita-cita islam, tidak
ada jalan lain kecuali dilakukan pemaknaan ulang atas tafsir-tafsir keagamaan
sehingga islam tetap dapat memberikan apresiasi terhadap dinamikasosial yang
terus berkembang,tanpa harus terjebak pada praktik relasi yang rendah dan tidak
bermoral.
Pertama : yang perlu jadi perhatian dalam konteks ini adalah bahwa tafsir adalah
cara seorang penafsir berusaha mengungkapkan makna-makan teks yang menjadi
acuan atau sumber legitimasi. tetapi sering terjadi pengungkapan makna berbeda
dengan makan yang ditemukan oleh mufasir. hal ini terjadi karena beberapa hal,
sebagai berikut perbedaan perspektif, kencenderungan, kecerdasan itelektual,
sumber informasi dan sebaginya.
kedua : keniscayaan bahwa latar belakang sejarah sosial ( termasuk politik,
ekonomi dan budaya ). dengan kata lain pandangan-pandangan mereka merupakan
refleksi atau konteks sejarah sosial mereka.kesimpula yang dapat ditarik dari
hal-hal ini adalah bahwa produk-produk pemikiran sejatinya tidak harus
selamanya diperintahkan dalam segala ruang dan waktu sosial, karena sejarah
selalu meperlihatkan dialektika perubahan yang terus menerus.
ketiga : kecendrungan umu dalam pemaknaan teks adalah pemaknaan literal dan
mengabaikan pemaknaan substansial. satu lafaz dimaknai menuerut makna
lahiriyahnya, padahal dimakna lahiriyahnya tersebut tersembunyi pesan-pesan
fundamental yang ingin ditegakkan. pesan fundamental agama yang disampaikan
paing tidak adalah keadilan (kebaikan sosial). dalam masalah pemukulan suami
terhadap isteri yang secara lahiriyah disebutkan oleh teks misalnya, pastilah
mengandung makna substansialnya. pemukulan dalam konteks ini adalah satu bentuk
dan cara memberikan pendidikan terhadap isteri yang tidak taat yang dalam
konteks sosial waktu itu dibenarkan, karena suami diposisikan sebagai qawwan
atas isteri. cara tersebut dimaksudkan guna menyelesaikan ketidakharmonisan
diantar mereka. dalam masyarakat dimana kesetaraan dan keadilan dan penghargaan
terhadap hakhak manusia dijunjung tinggi, pendidikan dalam rangka menyelesaikan
suatu persoalan, dilakukan melalui cara-cara yang demokratis dan menghargai martabat
manusia. ini adalah pesan-pesan yangtersembunyi dibalik makna lahiriyah lafaz
atau teks dan hal ini merupakn hakikat pandangan islam.
Dari bebrapa uraian di atas penting untuk mendapat
perhatian pada saat kita berusaha memaknai kembali teks teks keagamaan agar
tetap relevan dengan tuntunan-tuntunan kontemporer. upaya ini semata-mata dalam
rangka menghidupka kembali pemikran keagamaan untuk sebuah tantanan sosial dan
memeberikan rahmat bagi semua orang. termasuk dalam membangung keadilan dan
kesetaraan gender dalam pemikiran hukum islam di indonesia.
D.
Analisis dan argumentasi
historis epistemologis dan hermeneutik atas beberapa kasus bias gender di
indonesia.
Studi tentang
relasi gender termasuk di indonesia telah mengagendakan keadilan dan kesetraan
gender. agenda ini berkaitan dengan kautnya sikap keagamaan yang dijadikan
pembenaran berbagai bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan terhadap kaum
hawa. alih-alih menguayaka penyikapan keagamaan yang pro gender , produksi dan
reproduksi sikap keagamaan yang bias gender tlah menjadi realitas kebenaran
yang dipercaya keshahihannya hampir seluruh manusia beragama.
Di sisi lain
selama ini terdapat kecendrungan untuk mencampuradukan ciri manusia yang
bersifat kodrati dan tidak berubah. dengan manusia yang bersifat non kodrati
yang sebenarnya dapat berubah atau
diubah. perlawanan atau pengajuan alternatif
untuk pemahaman kegamaan, miaslnya qosim amin, riffat hasan, dan
sebagainya. qasim amin menegaskan bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan
bukanlah lantaran al-qur’an ataupun hadisnya,tetapi karean posisi dan
eksisitensi perempuan dianggap berahaya dan mengancam agregat kepentingan
politik kaum laki-laki . sedangkan rifki hasan berangkat dari doktrin terhadap
keesaan dan keadilan tuhan. yaitu keyakinan yang benar-benar monoteistik sperti
islam tidak mengijinkan manusia menyembah siapa pun selain tuhan. oleh karena
itu kepatuhan perempuan terhadap suaminya secara berlebihan merupakan sesuatu
yang mustahil. esensi manusia dihadapan allah adalah sama yang membedakan
adalah tingkat ketaqwaan kepada-NYA . rifki hasan [1]mengagendakan
pembebasan perempuan dan laki-laki dari kesalahan penafsirkan terhadap al-quran
dab taqlid buta terhadap pendapat dan pandangan yang kristal.
Dalam relasi
keluarga dan perkawinan, sesungguhnya lebih banyak mengarah kepada kerjasama
dan saling mengisi diantar suami,isteri dan anggota keluarga lain. pandangan
ini berbeda dengan pernyataan yang cenderung menempatkan perempuan sebagai
pihak yang selalu dirugikan dalam lembaga perkawinan dan keluarga. anggapan
seperti ini muncul karena salah dalam menafsirkan teks agama. oleh karena itu,
dismaping pemahan terhadap teks , uga dibutuhkan pembacaan terhadap konteks
ketrika ayat-ayat tersebut diturunkan.
Untuk menganalisis
persoalan bias gender ini hendaklah digunakan argumentasi sejarah dan
argumentasi hermeneutik, yaitu untuk melihat bagaimana agama berbicara tentang
perempuan. argumentasi dipakai untuk mengungkapkan karakter politik tekstual
dan seksual yang berkembang dikalangan masyarakat. argumentasi hermeneutik
digunakan untuk menemukan apa yang disebut sebagai cara berfikir dengan
mengedepankan kesetaraan di dalam islam.
1.
kisah penurunan manusia di
dunia.
Tiga agama langit di dunia seperti, yahudi, kristen dan
islam, misalnya memaknai secara relatif sama terhadap ajaran mengenai turunnya
manusia pertama kali ke dunia. Adam dan hawa turun di bumi diakibatkan oleh
pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan tuhan untuk tidak memetik buah
quldi karena permintaan hawa. kisah penurunan manusia pertama kali di dunia
diatas merupakan salah satu contoh dari tafsiran atas teks agama, dan
penafsiran atas teks agama itu secara relatif dipengaruhi oleh kosmopolit
berfikir dan berbudaya masyarakat penafisran. hawa dalam tafsir ini, dijadikan
sebagai mahluk penyebab terjerembabnya manusia ke bumi.
2.
lembaga pendidikan
lembaga penddikan juga turut mengawetkan atau
memanisfetasikan kulutr hubungan laki-perempuan yang bias gender. amatilah
teks-teks pembelajaran sekolah dasar.
“ ibu memasak di dapur, ani membantu ibi mencuci piring,
wati ikut ibu ke pasar, ayah mencangkul di sawah, amir membantu ayah di kebun,
budi ikut ayah memancing, budi bermain layang-layang, dan ayah memebaca koran
di teras rumah, sedangkan ibu menjahit baju adik.”
Teks-teks pmebelajara di atas jelas telah mmeberikan ajaran
mengenai pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, ibu
, ani dan wati sebagai wakil perempuan secara kultur telah dikonstruksi untuk bekerja
di sektor domestik. sementara itu ayah, amir dan budi sebagai perwakilan dari
laki-laki dikontruksikan untuk bekerja di ruang publik.
3.
kebijakan/legislasi
negara/pemerintah
Kebijakan pemerintah mengenai dibentuknya
organisasi perempuan seperti IWAPI, PKK, Dharma wanita dan Dharma pertiwi,
dirasakan bias gender. betapa tidak , dalam organisasi seperti ini wanita hanya
dalam posisi disematkan. UU nomor 1 tahun 1974 mengenai perwalian pun bias
gender. pasal-pasal mengenai poligami sdan kedudukan suami isteri dalam rumah
tangga lebih banyak menguntungkan laki-laki dan menempatkan perempuan dalam
posisi tawar yang lemah bahkan menjadi objek penderitaan. pasal 506 KUHP yang
berkaitan mengenai pelacuran menunjukan adanya ketidakadilan gender, dengan
menempatkan perempuan sebagai objek pelacuran , padahal pelacuran itu terjadi
karena laki-laki hidung belang yang melacurkan diri.
contoh di atas menunjukan bahwa kekerasan simbolik dan
struktural negara terhadap kaum perempuan masih tetap saja berlangsung.
sumbernya adalah dominasi laki-laki di tingkat rumah tangga bahkan negar
4.
Fenomena bias gender dalam
perda syari’ah di iindonesia.
Sejak otonomi daerah diguulirkan sampai akhir 2006 di
indonesia tercatat 56 produk kebijakan peraturan daerah dalam berbagai bentuk:
peraturan daerah, qanun, surat edaran dan keputusan kepala daerah. sebagain
perda tersebut secara struktural dan spesific mengaturkaum perempuan.
sayangnya, pengaturan terhadap perempuan bukan dalam rangka pelindungan dan
pemberdayaan. melainkan lebih dimaksudkan sebagai pengucilan dan pembatasan..
produk kebijakan perrda tersbut jelas mengingkari nilai-nilai HAM sebagaimana
dijabarkan dalam UU nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi penghapusan
deskriminasi terhadap perempuan.
pemurnian
ajaran agama menjadi alasan utama kolompok revivalism islam membatasi kebebasan
dasar perempuan dan memasung hak-hak asasi mereka sebagai manusia. gagasan
kembali ke islam yang diperjuangkan kelompok revivalisme selalu bermakna
kembali kepada islam tekstualis. yakni ajaran islam yang bertumpu semata-mata
pada teks dan mengabaikan konteks historisnya. sangat berseberangan dengan visi
ontentik islam yang cirinya adalah dinamis, kritis, rasional, inklusif
mengapresiasi keniscayaan pluralisme serta mengakomodasikan perubahan dan
pembaharuan demi kesejahtraan, keadilan dan seterusnya.
E.
Posisi perempuan dalam
hukum di indonesia
Perempuan dan
hukum memang selalu tidak bersahabat seperti terlihat dalam perda syari’ah yang
telah diungkapkan di atas. sejumlah penelitian mengenai perempuan dan hukum di
indonesia menyimpulkan betapa marginalnya posisi perempuan. indikasi ini
membuktikan secara nyata bahwa ketimpangan gender dalam relasi laki-laki dan
perempuan di indonesia masih kuat. ketimpangan gender jelasn merupakan masalah
sosial yang harus diselesaikan secara integratif dengan menganalisis berbagai
faktor yang turut serta melanggengkannya , termasuk di dalamnya faktor hukum
yang kerap kali mendapat pembenaran agama.
1.
Struktur hukum
Pada aspek
struktur, ketimpangan gender ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender
dilingkungan penegak hukum, terutama dikalangan polisi, jaksa dan hakim. pada
aspek budaya hukumnya juga masihsangat dipengaruhi nilai-nilai patriakhi yang
kemudian mendapat legitimasi kuat dari interprestasi agama. tidak heran jika
selanjutnya agam dituduh sebagaii salah satu unsur yang melanggengkan budaya
budaya patriakhi dan mengkekalkan ketimpangan relasi gender dalam bidang hukum.
2.
budaya hukum.
Budaya hukum di masyarakat masih memandang perempuan
sebagai objek yang harus di atur,dikekang dan dibatasi egraknya di ruang
publik. kata pelacur dan prostitusi di
masyarakat selalu diarahkan kepada perempuan, munculah istilah WTS ( wanita
tuna susila ).
Realistas sosiologis di atas membuktikan bahwa upaya-upaya
untuk mengeliminasi prostitusi dan perbuatan maksiat lainnya selalu
mendeskriminasikan perempuan. seolah-olah perempuanlah penyebab utama munculnya
perbuatan maksiat.. berdasarkan eksplorasi yang dilakukan di atas menyataka
bahwa perda-perda tersebut selalu menempatkan perempuan sebagai objek, bukab
subyek hukum,. akibatnya , perempuan kehilangan haknya menikmati tujuan
perundang-undangan dan menjadikelompok yang dirugikan dan dipinggirkan atas nama
otonomi daerah. kerinduan perempuan untuk menikmati hidup dengan adil dan
sejahtera di masa orde ini menjadi pupus seiring bermunculannya sejumlah perda
yang dibuat dengan alasan meningkatkan moralitas bangs indonesia.
F.
Menuju regulasi dan
legislasi ramah perempuan
Selain perda-perda yang bermasalah bagi perempuan,
ditemukan pula perda yang memihak perempuan. di antaranya, disahkannya perda
pemerintah provinis jawa timur nomor 9 tahun 2005 tentang penyelenggaraan
perlindungan bagi anak dan perempuan korban kekerasaan. isinya antara lain
mewajubkan pemerrintah daerah melakukan upaya-upaya proventif bagi timbulnya
prilaku kekerasan dan menyediakan layanan terpadu bagi korban kekerasan.
Di masa depan pemerintah daerah seharusnya perda-perda
syari’at islam yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan mendorong
terciptanya keadilan dan kesejahtraan warga , seperti perda tentang
perlindungan anak, perda tentan perlindungan kelompok rentan seperti lansia,
penyandang cacat, pengungsi, buruh kasar dan pekerja migran.
G.
pembalikan budaya sebagai
strategi
Persoalan ketidakadilan gender dilatarbelakangi oleh budaya
ptraikhi dan dikukuhkan melalui lembaga-lemabaga di masyarakatdan negara,
perjuangan kesetaraan gender kini dan masa datnag dibutuhkan dua strategi yang
perlu didorong secara simulutan.
Ø
pertama: merombak tatanan kebudayaan yang patriakhis melalui proses pembalikan
budaya menjadi budaya egaliter.
Ø
kedua: menumbuhkan sebuah kesadaran baru mengenai masyarakat tanpa stereotif
gender, tanpa pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kesempatan
mobilitas.
kedua strategi ini perlu terus menerus diintroduksi ke
dalam lembaga-lembaga pendidikan dan diperjuangkan secara politik dan budaya
dalam proses pengambilan kebijakan penting di negara tentang perempuan.
Kembali
kepersoalan merumuskan legislasi di indonesia, setidaknya ada tiga masalah yang
di hadapi kaum perempuan.
Ø
pertama : masih rendahnya pengetahuan keadaan masyarakat,khususnya yang
berkaitan dengan peran dan fungsi perempuan.
Ø
kedua : masih banyaknya penafsiran dan pemahaman keagamaan yang bias gender
dan bias nilai-nilai patriachi yang dianut masyarakat sebagai akibat dari
pemahaman teks-teks suci yang sangat harfiah dan mengabaikan aspek
kontekstualnya, serta pengalaman agama yang menekankan pada tataran formalitas
belaka, bukan pada substansialnya.
Ø
ketiga : masih rendahnya tingkat partisipasi kaum perempuan dalam perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan.
kesamaan
antara perempuan dan laki-laki , terutama dapat dilihat dari tiga dimensi :
Ø
pertama : dari segi hakikat kemanusiaanya, islam memberikan kepada perempuan
sejumlah hak untuk meningkatkan kualitas kemanusiaannya, seperti hak
mendapatkan pendidikan, hak berpolitik dan hak-hak yang lain yang berhubungan dengan publik.
Ø
kedua : dari segi pelaksaan agama islam, islam mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat
pahala atas amal sholeh yang diperbuatnya dan sebalinya.
Ø
ketiga : dari segi hak-hak dalam keluarga, islam memberikan memberikan hak
mendapatkan nafaqah hak waris kepada perempuan meskipun jumlahnya tidak
sebanyak yang diberikan kepada laki-laki
H.
penutup
Sebagai catatan akhir dapatt dikemukakan
bahawa sebagai solusi , ditawarkan pemikiran dan rekomendasi untuk menuju hukum
islam yang ramah gender di indonesia adalah sebagai berikut :
Ø
perlu sekali melakukan upaya
rekonstruksi budaya melalui pendidikan , baik di lvel formal maupun non formal.
terutama pendidikan dalam keluarga. pendidikan yang dapat mengubah budaya
patriarkhi menuju budaya menghargai kesetaraan gender, perbedaan, dan
kemajemukan.
Ø
melakukan upaya-upaya sistematis ,
merivisi semua perundang-undangan , khususnya perda yang deskriminatif dan
tidak ramah terhadap perempuan melalui judical review kepada mahkamah agung dan executive review
kepada departemen dalam negeri dan selanjtnya mengusulkan perda-perda yang memihak perempuan.
Menggalakan
upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama islam dalam rangka mengeliminasi secara
gradual semua pemahaman keagamaan yang tidak kondusif bagi kehidupan demokrasi
dan bangunan masyarakat madani. reinterprestasi ajaran agam ini pada akhirnya
diharapkan mewujudkan ajaran islam yang akomodatif terhadap nilai-nilai
kemanusiaan, ajaran yang ramah terhadap perempuan , ajaran yang rahmatan lil
‘alamin atau sungguh-sungguh mendatangkan kesejukan , kedamaian, kemaslahatan
bagi alam semesta.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.