Jumaat, 15 Februari 2013

menuju fiqh kesetraan gender di indonesia (tugas bahasa indonesia)


TUGAS REVIEW ARTIKEL
BAHASA INDONESIA

MENUJU FIQIH KESETARAAN GENDER DI INDONESIA
Studi kritis tentang pemikiran hukum islam kontemporer di indonesia

Disusun oleh :
Hamdani Hakim
11421021


A.     Pendahuluan
Perbincangan di sekitar isu kesetaraan gender merupakan salah satu isu besar dalam pemikiran islam kontemporer di samping isu demokrasi, relasi agama dan negara dan lain-lain. kebudayaan manusia telah menciptakan hubungan laki-laki dan perempuan tak seimbang atau ketimpangan. perempuan dalam ruang budaya sampai hari ini masih sering ditempatkan pada posisi subordinat, marjinal dan tereksploitasi. dalam banyak wacana pada ketidak adilan gender,wacan keagamaan selalu dipandang telah ikut memberikan andil yang sangat besar bagi kukuhnya sisitem sosial dan kebudayaan  yang timpang tersebut. Dalam kasus indonesia, wacana keagamaan selama ini telah memainkan peran signifikan dalam kehidupanindividual dan sosial di masyarakat.
Problem ketimpangan gender tersebut kemudian melahirkan aktivitas pemikiran kritis dari pakar pemikir agama (agama), terutama mereka yang concern terhadap isu-isuu gender. dalam pandangan pemikiran kontemporer sulit dapat dimengerti  bagaimana agama islam memberikan toleransi terhadap segala bentuk  mlegitimasi. dalam keyakinan mereka dalam keyakinan mereka, agama pastilah tidak mungkin melegitimasi berbagai bentuk ketimpangan.
Gender merupakan kontruksi sosial budaya, Ia adalah label dari kontruksi hubungan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, yang lebih populer disebut relasi gender. Sejak adanya kesadaran sejarah mengenai perlunya kesetaraan antara huungan laki-laki,gender terus diperjuangkan sebagai sebuah kebudayaan baru dimasa kini dan masa datang. teori-teori pun tercipta dan dipakai sebagai pisau analisisdalam kerangka memahami , menjelaskan dan menafsir dinamika relasi gender pada berbagai kurun sejarah.
Dalam perlakuan gender terhadap perempuan biasanya perempuan selalu dikalahkan, dipinggirkan, mengalami kekerasan fisik dan simbolik. hal ini semua biasanya terangkum kedalam apa yang dikenal dengan kontruksi budaya hubungan laki-perempuan yang bias gender.
Praktik-praktik myisoginy alias kekerasan laki-laki terhadap perempuan terus saja berlangsung dalam berbagai budaya , bahkan pada negara yang sangat demokrasi dan maju sekalipun.

 B. Basis teoritis tafsir agama bias gender.
   Dalam tafsir-tafsir klasik dan tafsir kontemporer dapat ditemukan dengan mudah bagaiman perempuan secara teokosmologis diposisikan sebagai mahluk tuhan kelas dua. contohnya dalam penciptaan manusia “ adam, menurut banyak tafisr adalah manusia pertama yang diciptakan dan hawa diciptakan dari adam. meskipun dalam al-qur’an tentang hal initidak perna ditemukan. tetapi para penafisr seperti al-thabari , ibnu katsir, al-qurtubi dan al-sayuti menyepakati tafsir ini.
Posisi subordinat perempuan juga dikemukakan al-thabari dia menyatakan  bahwa adam dan hawa terusir dari surga gara-gara hawa,” Allah bertanya kepada adam. “ hai adam , mengapa kamu melanggar perintahku,? Adam menjawab “ gara-gara hawa “ akibat dari ini tuha n menghukum Hawa dengan tiga hukuman, pertama : membuatnya menstruasi (haid) setiap bulan, kedua : menjadi mahluk tuhan yang bodoh dan ketiga : melahiran bayi dengan susah payah.
Tafsir di atas menjadi basis subordinat dan diskriminasi perempuan untuk pandangan tafsir atas teks-teks yang lain. ia menjadi basis bagi sejumlah pandangan keagamaan yang menyudutkan perempuan. dalam al qur’an surat an-nisa’ ayat 34 dapat dibaca bagiaman suami memperoleh hak memukul isterinya ketika tidak taat kepadanya. pernyataan yang menggelisakan perempuan tentang soal ini deikemukan oleh abu hayyan al andalusi dalam tafsirnya al-bahr al-muhit. ia mengatakan dalam menghadapi isteri suami pertama kali menasehatinya dengan lembut, jika tidak efektif boleh dengan kata-kata yang kasar dan jika tidak bias membiarkannya dengan ringan atau dengan cara lain yang membuatnya lebuh berharga.
Pembagian kerja laki-laki di ruang publik dan perempuan di ruang domestik , pada posisi lain kemudian mengantarkan posisi keagamaan pada bentuk aturan lain berupa keharusan perempuan untuk tidak boleh meninggalkan rumah kecuali karena keperluan yang mendesak dan atas izin suami. hal ini merujuk pada ayat al quran surat an nisa’ ayat 34. dalam hal di atas menjelaskan bagaimana pemahaman agama memberikan dasar legitimasi dalam peran-peran perempuan. pandangan ini bahkan menyebar pada kitab tafsir. kitab fiqih  dan kitab hadits yang selama ini dibaca oleh masyarakat muslim dari waktu ke waktu. dan disosialisasikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. beberapa persoalan dalam fiqih yang belum terselesaikan secara adil dab setara adalah relasi keadilan dan kesetaraan gender dalam keluaraga lintas iman. dalam banyak kasus , fiqih terkesan mendeskriminasikan non muslim. ini tentu bertentangan dengan prinsip islam sebagai rahmatan lil alamiin, kebaikan untuk semua.keniscayaan perkembangan sosial –ekonomi-politik dewasaini telah menuntut dan memaksa kaum perempuan terlibat dalam aktivitas  bukan hanya pada ruang domistik, tetapi juga ruang-ruang publik secara lebih luas.

    C.  tafsir agama bias gender perspektif  hermeneutik.
Dalam kerangka mengaktualisasikan kembali prinsip-prinsip dan cita-cita islam, tidak ada jalan lain kecuali dilakukan pemaknaan ulang atas tafsir-tafsir keagamaan sehingga islam tetap dapat memberikan apresiasi terhadap dinamikasosial yang terus berkembang,tanpa harus terjebak pada praktik relasi yang rendah dan tidak bermoral.
Pertama : yang perlu jadi perhatian dalam konteks ini adalah bahwa tafsir adalah cara seorang penafsir berusaha mengungkapkan makna-makan teks yang menjadi acuan atau sumber legitimasi. tetapi sering terjadi pengungkapan makna berbeda dengan makan yang ditemukan oleh mufasir. hal ini terjadi karena beberapa hal, sebagai berikut perbedaan perspektif, kencenderungan, kecerdasan itelektual, sumber  informasi dan sebaginya.
kedua : keniscayaan bahwa latar belakang sejarah sosial ( termasuk politik, ekonomi dan budaya ). dengan kata lain pandangan-pandangan mereka merupakan refleksi atau konteks sejarah sosial mereka.kesimpula yang dapat ditarik dari hal-hal ini adalah bahwa produk-produk pemikiran sejatinya tidak harus selamanya diperintahkan dalam segala ruang dan waktu sosial, karena sejarah selalu meperlihatkan dialektika perubahan yang terus menerus.
ketiga : kecendrungan umu dalam pemaknaan teks adalah pemaknaan literal dan mengabaikan pemaknaan substansial. satu lafaz dimaknai menuerut makna lahiriyahnya, padahal dimakna lahiriyahnya tersebut tersembunyi pesan-pesan fundamental yang ingin ditegakkan. pesan fundamental agama yang disampaikan paing tidak adalah keadilan (kebaikan sosial). dalam masalah pemukulan suami terhadap isteri yang secara lahiriyah disebutkan oleh teks misalnya, pastilah mengandung makna substansialnya. pemukulan dalam konteks ini adalah satu bentuk dan cara memberikan pendidikan terhadap isteri yang tidak taat yang dalam konteks sosial waktu itu dibenarkan, karena suami diposisikan sebagai qawwan atas isteri. cara tersebut dimaksudkan guna menyelesaikan ketidakharmonisan diantar mereka. dalam masyarakat dimana kesetaraan dan keadilan dan penghargaan terhadap hakhak manusia dijunjung tinggi, pendidikan dalam rangka menyelesaikan suatu persoalan, dilakukan melalui cara-cara yang demokratis dan menghargai martabat manusia. ini adalah pesan-pesan yangtersembunyi dibalik makna lahiriyah lafaz atau teks dan hal ini merupakn hakikat pandangan islam.
Dari bebrapa uraian di atas penting untuk mendapat perhatian pada saat kita berusaha memaknai kembali teks teks keagamaan agar tetap relevan dengan tuntunan-tuntunan kontemporer. upaya ini semata-mata dalam rangka menghidupka kembali pemikran keagamaan untuk sebuah tantanan sosial dan memeberikan rahmat bagi semua orang. termasuk dalam membangung keadilan dan kesetaraan gender dalam pemikiran hukum islam di indonesia.

D.     Analisis dan argumentasi historis epistemologis dan hermeneutik atas beberapa kasus bias gender di indonesia.
Studi tentang relasi gender termasuk di indonesia telah mengagendakan keadilan dan kesetraan gender. agenda ini berkaitan dengan kautnya sikap keagamaan yang dijadikan pembenaran berbagai bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan terhadap kaum hawa. alih-alih menguayaka penyikapan keagamaan yang pro gender , produksi dan reproduksi sikap keagamaan yang bias gender tlah menjadi realitas kebenaran yang dipercaya keshahihannya hampir seluruh manusia beragama.
Di sisi lain selama ini terdapat kecendrungan untuk mencampuradukan ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah. dengan manusia yang bersifat non kodrati yang sebenarnya dapat berubah  atau diubah. perlawanan atau pengajuan alternatif  untuk pemahaman kegamaan, miaslnya qosim amin, riffat hasan, dan sebagainya. qasim amin menegaskan bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan bukanlah lantaran al-qur’an ataupun hadisnya,tetapi karean posisi dan eksisitensi perempuan dianggap berahaya dan mengancam agregat kepentingan politik kaum laki-laki . sedangkan rifki hasan berangkat dari doktrin terhadap keesaan dan keadilan tuhan. yaitu keyakinan yang benar-benar monoteistik sperti islam tidak mengijinkan manusia menyembah siapa pun selain tuhan. oleh karena itu kepatuhan perempuan terhadap suaminya secara berlebihan merupakan sesuatu yang mustahil. esensi manusia dihadapan allah adalah sama yang membedakan adalah tingkat ketaqwaan kepada-NYA . rifki hasan [1]mengagendakan pembebasan perempuan dan laki-laki dari kesalahan penafsirkan terhadap al-quran dab taqlid buta terhadap pendapat dan pandangan yang kristal.
Dalam relasi keluarga dan perkawinan, sesungguhnya lebih banyak mengarah kepada kerjasama dan saling mengisi diantar suami,isteri dan anggota keluarga lain. pandangan ini berbeda dengan pernyataan yang cenderung menempatkan perempuan sebagai pihak yang selalu dirugikan dalam lembaga perkawinan dan keluarga. anggapan seperti ini muncul karena salah dalam menafsirkan teks agama. oleh karena itu, dismaping pemahan terhadap teks , uga dibutuhkan pembacaan terhadap konteks ketrika ayat-ayat tersebut diturunkan.
Untuk menganalisis persoalan bias gender ini hendaklah digunakan argumentasi sejarah dan argumentasi hermeneutik, yaitu untuk melihat bagaimana agama berbicara tentang perempuan. argumentasi dipakai untuk mengungkapkan karakter politik tekstual dan seksual yang berkembang dikalangan masyarakat. argumentasi hermeneutik digunakan untuk menemukan apa yang disebut sebagai cara berfikir dengan mengedepankan kesetaraan di dalam islam.

1.     kisah penurunan manusia di dunia.
Tiga agama langit di dunia seperti, yahudi, kristen dan islam, misalnya memaknai secara relatif sama terhadap ajaran mengenai turunnya manusia pertama kali ke dunia. Adam dan hawa turun di bumi diakibatkan oleh pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan tuhan untuk tidak memetik buah quldi karena permintaan hawa. kisah penurunan manusia pertama kali di dunia diatas merupakan salah satu contoh dari tafsiran atas teks agama, dan penafsiran atas teks agama itu secara relatif dipengaruhi oleh kosmopolit berfikir dan berbudaya masyarakat penafisran. hawa dalam tafsir ini, dijadikan sebagai mahluk penyebab terjerembabnya manusia ke bumi.

2.     lembaga pendidikan
lembaga penddikan juga turut mengawetkan atau memanisfetasikan kulutr hubungan laki-perempuan yang bias gender. amatilah teks-teks pembelajaran sekolah dasar.
“ ibu memasak di dapur, ani membantu ibi mencuci piring, wati ikut ibu ke pasar, ayah mencangkul di sawah, amir membantu ayah di kebun, budi ikut ayah memancing, budi bermain layang-layang, dan ayah memebaca koran di teras rumah, sedangkan ibu menjahit baju adik.”
Teks-teks pmebelajara di atas jelas telah mmeberikan ajaran mengenai pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, ibu , ani dan wati sebagai wakil perempuan secara kultur telah dikonstruksi untuk bekerja di sektor domestik. sementara itu ayah, amir dan budi sebagai perwakilan dari laki-laki dikontruksikan untuk bekerja di ruang publik.

3.     kebijakan/legislasi negara/pemerintah
Kebijakan pemerintah mengenai dibentuknya organisasi perempuan seperti IWAPI, PKK, Dharma wanita dan Dharma pertiwi, dirasakan bias gender. betapa tidak , dalam organisasi seperti ini wanita hanya dalam posisi disematkan. UU nomor 1 tahun 1974 mengenai perwalian pun bias gender. pasal-pasal mengenai poligami sdan kedudukan suami isteri dalam rumah tangga lebih banyak menguntungkan laki-laki dan menempatkan perempuan dalam posisi tawar yang lemah bahkan menjadi objek penderitaan. pasal 506 KUHP yang berkaitan mengenai pelacuran menunjukan adanya ketidakadilan gender, dengan menempatkan perempuan sebagai objek pelacuran , padahal pelacuran itu terjadi karena laki-laki hidung belang yang melacurkan diri.
contoh di atas menunjukan bahwa kekerasan simbolik dan struktural negara terhadap kaum perempuan masih tetap saja berlangsung. sumbernya adalah dominasi laki-laki di tingkat rumah tangga bahkan negar

4.     Fenomena bias gender dalam perda syari’ah di iindonesia.
Sejak otonomi daerah diguulirkan sampai akhir 2006 di indonesia tercatat 56 produk kebijakan peraturan daerah dalam berbagai bentuk: peraturan daerah, qanun, surat edaran dan keputusan kepala daerah. sebagain perda tersebut secara struktural dan spesific mengaturkaum perempuan. sayangnya, pengaturan terhadap perempuan bukan dalam rangka pelindungan dan pemberdayaan. melainkan lebih dimaksudkan sebagai pengucilan dan pembatasan.. produk kebijakan perrda tersbut jelas mengingkari nilai-nilai HAM sebagaimana dijabarkan dalam UU nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi penghapusan deskriminasi terhadap perempuan.
pemurnian ajaran agama menjadi alasan utama kolompok revivalism islam membatasi kebebasan dasar perempuan dan memasung hak-hak asasi mereka sebagai manusia. gagasan kembali ke islam yang diperjuangkan kelompok revivalisme selalu bermakna kembali kepada islam tekstualis. yakni ajaran islam yang bertumpu semata-mata pada teks dan mengabaikan konteks historisnya. sangat berseberangan dengan visi ontentik islam yang cirinya adalah dinamis, kritis, rasional, inklusif mengapresiasi keniscayaan pluralisme serta mengakomodasikan perubahan dan pembaharuan demi kesejahtraan, keadilan dan seterusnya.

E.      Posisi perempuan dalam hukum di indonesia
Perempuan dan hukum memang selalu tidak bersahabat seperti terlihat dalam perda syari’ah yang telah diungkapkan di atas. sejumlah penelitian mengenai perempuan dan hukum di indonesia menyimpulkan betapa marginalnya posisi perempuan. indikasi ini membuktikan secara nyata bahwa ketimpangan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan di indonesia masih kuat. ketimpangan gender jelasn merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integratif dengan menganalisis berbagai faktor yang turut serta melanggengkannya , termasuk di dalamnya faktor hukum yang kerap kali mendapat pembenaran agama.

1.     Struktur hukum
Pada aspek struktur, ketimpangan gender ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender dilingkungan penegak hukum, terutama dikalangan polisi, jaksa dan hakim. pada aspek budaya hukumnya juga masihsangat dipengaruhi nilai-nilai patriakhi yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari interprestasi agama. tidak heran jika selanjutnya agam dituduh sebagaii salah satu unsur yang melanggengkan budaya budaya patriakhi dan mengkekalkan ketimpangan relasi gender dalam bidang hukum.

2.   budaya hukum.
Budaya hukum di masyarakat masih memandang perempuan sebagai objek yang harus di atur,dikekang dan dibatasi egraknya di ruang publik. kata pelacur  dan prostitusi di masyarakat selalu diarahkan kepada perempuan, munculah istilah WTS ( wanita tuna susila ).
Realistas sosiologis di atas membuktikan bahwa upaya-upaya untuk mengeliminasi prostitusi dan perbuatan maksiat lainnya selalu mendeskriminasikan perempuan. seolah-olah perempuanlah penyebab utama munculnya perbuatan maksiat.. berdasarkan eksplorasi yang dilakukan di atas menyataka bahwa perda-perda tersebut selalu menempatkan perempuan sebagai objek, bukab subyek hukum,. akibatnya , perempuan kehilangan haknya menikmati tujuan perundang-undangan dan menjadikelompok yang dirugikan dan dipinggirkan atas nama otonomi daerah. kerinduan perempuan untuk menikmati hidup dengan adil dan sejahtera di masa orde ini menjadi pupus seiring bermunculannya sejumlah perda yang dibuat dengan alasan meningkatkan moralitas bangs indonesia.

F.   Menuju regulasi dan legislasi ramah perempuan
Selain perda-perda yang bermasalah bagi perempuan, ditemukan pula perda yang memihak perempuan. di antaranya, disahkannya perda pemerintah provinis jawa timur nomor 9 tahun 2005 tentang penyelenggaraan perlindungan bagi anak dan perempuan korban kekerasaan. isinya antara lain mewajubkan pemerrintah daerah melakukan upaya-upaya proventif bagi timbulnya prilaku kekerasan dan menyediakan layanan terpadu bagi korban kekerasan.
Di masa depan pemerintah daerah seharusnya perda-perda syari’at islam yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan mendorong terciptanya keadilan dan kesejahtraan warga , seperti perda tentang perlindungan anak, perda tentan perlindungan kelompok rentan seperti lansia, penyandang cacat, pengungsi, buruh kasar dan pekerja migran.

G.   pembalikan budaya sebagai strategi
Persoalan ketidakadilan gender dilatarbelakangi oleh budaya ptraikhi dan dikukuhkan melalui lembaga-lemabaga di masyarakatdan negara, perjuangan kesetaraan gender kini dan masa datnag dibutuhkan dua strategi yang perlu didorong secara simulutan.
Ø  pertama: merombak tatanan kebudayaan yang patriakhis melalui proses pembalikan budaya menjadi budaya egaliter.
Ø  kedua: menumbuhkan sebuah kesadaran baru mengenai masyarakat tanpa stereotif gender, tanpa pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kesempatan mobilitas.
kedua strategi ini perlu terus menerus diintroduksi ke dalam lembaga-lembaga pendidikan dan diperjuangkan secara politik dan budaya dalam proses pengambilan kebijakan penting di negara tentang perempuan.
     Kembali kepersoalan merumuskan legislasi di indonesia, setidaknya ada tiga masalah yang di hadapi kaum perempuan.
Ø  pertama : masih rendahnya pengetahuan keadaan masyarakat,khususnya yang berkaitan dengan peran dan fungsi perempuan.
Ø  kedua : masih banyaknya penafsiran dan pemahaman keagamaan yang bias gender dan bias nilai-nilai patriachi yang dianut masyarakat sebagai akibat dari pemahaman teks-teks suci yang sangat harfiah dan mengabaikan aspek kontekstualnya, serta pengalaman agama yang menekankan pada tataran formalitas belaka, bukan pada substansialnya.
Ø  ketiga : masih rendahnya tingkat partisipasi kaum perempuan dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.
kesamaan antara perempuan dan laki-laki , terutama dapat dilihat dari tiga dimensi :
Ø  pertama : dari segi hakikat kemanusiaanya, islam memberikan kepada perempuan sejumlah hak untuk meningkatkan kualitas kemanusiaannya, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak berpolitik dan hak-hak yang lain yang  berhubungan dengan publik.
Ø  kedua : dari segi pelaksaan agama islam, islam mengajarkan bahwa  perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat pahala atas amal sholeh yang diperbuatnya dan sebalinya.
Ø  ketiga : dari segi hak-hak dalam keluarga, islam memberikan memberikan hak mendapatkan nafaqah hak waris kepada perempuan meskipun jumlahnya tidak sebanyak yang diberikan kepada laki-laki

H.      penutup
     Sebagai catatan akhir dapatt dikemukakan bahawa sebagai solusi , ditawarkan pemikiran dan rekomendasi untuk menuju hukum islam yang ramah gender di indonesia adalah sebagai berikut :
Ø  perlu sekali melakukan upaya rekonstruksi budaya melalui pendidikan , baik di lvel formal maupun non formal. terutama pendidikan dalam keluarga. pendidikan yang dapat mengubah budaya patriarkhi menuju budaya menghargai kesetaraan gender, perbedaan, dan kemajemukan.
Ø  melakukan upaya-upaya sistematis , merivisi semua perundang-undangan , khususnya perda yang deskriminatif dan tidak ramah terhadap perempuan melalui judical review  kepada mahkamah agung dan executive review kepada departemen dalam negeri dan selanjtnya mengusulkan perda-perda  yang memihak perempuan.
Menggalakan upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama islam dalam rangka mengeliminasi secara gradual semua pemahaman keagamaan yang tidak kondusif bagi kehidupan demokrasi dan bangunan masyarakat madani. reinterprestasi ajaran agam ini pada akhirnya diharapkan mewujudkan ajaran islam yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, ajaran yang ramah terhadap perempuan , ajaran yang rahmatan lil ‘alamin atau sungguh-sungguh mendatangkan kesejukan , kedamaian, kemaslahatan bagi alam semesta.




Tiada ulasan:

Catat Ulasan

berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.