PERKAWINAN
Oleh:
Hamdani Hakim
11421021
A.
Pendahuluan
Perkawinan
merupakan anjuran dalam Islam dan ada keutamaan di dalamnya. Hal ini sesuai
hadis: “Dari Ayyub, dia berkata:
Rasulullah saw. Bersabda: ”ada empat hal yang termasuk sunnah para rasul,
yaitu: malu, berwangi-wangian, bersiwak dan menikah”. (HR. At-Tirmidzi).
Hadis ini berarti barang siapa menikah, maka dia telah mengikuti sunah para
nabi. Sedang hadis lain: “Dari Abdullah
bin Mas’ud, dia berkata, kami pergi persama Rasulullah dan kami masih bujang,
kami tidak menyanggupi sesuatu apapun. Kemudian Rasulullah bersabda: Hai para
bujang, hendaklah kamu menikah. Sesungguhnya nikah itu dapat memejamkan mata
dan menyucikan kemaluan. Barangsiapa di antara kamu yang tidak sanggup menikah,
maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu merupakan penghalang”. (HR.
At-Tirmidzi). Hadis ini berarti anjuran menikah pada para bujang, dan menyebut
keutamaan menikah.
Hal yang terkait dengan pembicaraan
nikah yang akan dibahas, yaitu: segi anjuran, tentang poligami, maskawin,
perkawinan beda agama, larangan menikah, wali dan beberapa perbedaan pendapat ulama. Sedang
ayat-ayat yang terkait: an-Nisa’ (4) ayat 3, al-Baqarah (2) ayat 236-237,
an-Nur (24) ayat 32-33, al-Baqarah (2) ayat 221, an-Nisa’ (4) ayat 22-24.
B.
Anjuran
Menikah, Poligami dan Maskawin
a. Surat an-Nisa’ (4) ayat 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا
تَعُولُوا
Sekiranya kamu khawatir tidak berlaku adil
terhadap wanita yatim yang akan kamu nikahi, nikahilah wanita lain yang kamu
senangi, dua tiga, atau empat. Tetapi, bila takut untuk tidak berlaku adil juga,
satu adalah lebih baik bagimu, atau menikahi hamba perempuan yang kamu miliki.
Tindakan itu lebih baik bagimu untuk tidak menyeleweng[1].
1) Makna mufradat (kosakata)
اليتمى = makna
dasar: al-fard (tunggal), arti lain: faqd al-ab (ayahnya sudah iada).
انكحوا= bentuk amr dari nakaha, etimologi:
wath’i
atau jima’ (mempergauli
isteri). Sebagian mengartikan ‘aqad
(ijab qabul antara wali wanita dengan calon suami, setelahnya suami boleh
mencampuri isterinya).
عدل= masdar dari ‘adala, etimologi: al-istiqamah
(konsisten). Syar’i: menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dilarang agama.
Lawan dari fasiq. Makna lain:
kemampuan dalam jiwa seseorang menghalangi dirinya untuk berbuat perbuatan yang
dilarang, termasuk ’adil terhadap isteri.
2) sebab an-Nuzul ( sebab turunnya ayat )
Riwayat ‘Aisyah ra.:
peristiwa seorang anak perempuan yatim yang dipelihara seorang laki-laki. anak
yatim itu mempunyai harta benda. Menikah karena ingin menguasai harta. Memukul
dan mempergauli dengan buruk.
Riwayat lain dari
‘Aisyah ra.: seorang laki-laki memelihara anak yatim yang mempunyai kemuliaan
dan keluhuran (‘adzqun atau nikhlah). Kemudian menikahi, tidak
diberikan sesuatu, termasuk harta[2].
3) Syarah
ayat
- ayat ini secara implisit berisi anjuran menikah
- ayat ini menggambarkan sikap (etika) yang harus dimiliki oleh
orang-orang yang memelihara anak yatim. Bila tidak bisa berlaku adil (enggan
memberi maskawawin), lebih baik menikahi wanita lain.
-ayat
ini menggambarkan kebolehan poligami, baik mendapatkan persetujuan isteri atau tidak. Poligami paling banyak 4
orang.
-
syarat poligami adalah bisa berlaku adil terhadap para isteri. Bila tidak adil,
tidak boleh poligami. Adil berarti setara dalam memberi nafkah (proporsional),
dan pembagian waktu. Masalah perasaan sayang tidak termasuk.
-
maskawin adalah syarat pernikahan, hak isteri. Besarnya ditentukan isteri. Bila
‘akad sudah terjadi, suami sudah mempergauli isteri, tapi mahar belum
ditentukan maka suami wajib membayar mahar mitsil
(sesuai mahar saudaranya isteri.
b. surat al-baqarah (2) ayat 236-237
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut-ah (pemberian) kepada
mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. Jika kamu menceraikan istri-istrimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan
itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang
memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Melihat segala apa yang kamu kerjaka”
1) Makna mufradat (kosakata)
تمسو هن = asal kata dari massa. Artinya menyentuh atau jima’.
Dalam ayat ini berarti mempergauli atau ber-jima’.
متعوهن= bentuk amr dari mata’a, berarti
menyenangkan. Secara harfiah berarti “berikanlah kesenangan kepada mereka”.
Dalam ayat ini berarti suatu pemberian dalam bentuk harta dari suami kepada
isteri yang telah diceraikan. Pemberian itu disebut mata’ karena memberi kesenangan pada perempuan itu.
2) Syarah
ayat
- penyebab wajib membayar mahar: pertama, isteri telah digauli setelah
akad. Kedua, telah ditentukan besar
mahar. Suami tidak wajib mahar bila cerai sebelum digauli, dan belum ditentukan
besar mahar. Namun, wajib memberi mut’ah
(harta yang tidak ditentukan kadarnya).
- jika cerai sesudah ditentukan kadar mahar,
belum dicampuri, maka suami wajib mahar 50 %. Bila sudah diserahkan semua
mahar, boleh diminta separo.
- bila isteri atau wali rela tidak menerima
wajib mahar separo dari suami, maka suami tidak wajib membayar mahar. Namun
dianjurkan agar suami yang rela membayar (membayar 100 %).
c. Surat an-Nur (24) ayat 32-33
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui. Dan
orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu
miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan
mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada
mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan
janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan
duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa
(itu).”
1) Makna mufradat (kosakata)
الايامى = jamak aymun, orang-orang yang tidak mempunyai
pasangan hidup (laki atau perempuan, menikah atau belum).
ليستعفف=bentuk masdar, kata dasar ‘affa,
thalab al-‘ifaf (mencari kesucian), yaitu menahan diri dari sesuatu yang
diharamkan dan meminta-minta kepada orang lain. Dalam ayat ini al-‘ifaf berarti menjaga kesucian diri
dari zina atau hal yang mendekati
البغاء = asal dari bagha,
berbuat maksiat. Dalam ayat ini berarti zina, karena zina adalah perbuatan
maksiat.
2) sebab an-nuzul (sebab turunnya ayat)
Bagian awal tentang fakatibuhum, budak Huwaithib bernama
Shabih, minta dimukatabkan, tetapi Huaitib enggan. Turun ayat, lalu Huwaitib
memukatabkan 100 dinar, dan memberi 20 dinar pada Shabih.
Bagian al-bigha’, Abdullah bin Ubay berkata kepada budaknya, pergilah
menjual diri (melacur) untuk kami.
3) Syarah ayat
- berisi perintah nikah, dan perintah pada wali menikahkan setiap
orang yang tidak mempunyai pasangan hidup dalam tanggung jawabnya (anak,
saudara, budak).
-
tidak adanya harta bukan alasan tidak mau menikah, sebab Allah bisa menjadikan
mampu setelah nikah.
- Orang
yang tidak mampu menikah, sebab harta untuk mahar tidak ada, dituntut bisa
menjaga kesucian. Misalnya dengan puasa, banyak ibadah, hindari syahwat.
-
orang mampu nikah, karena tidak ada harta lalu tidak menikah, derajatnya tidak lebih rendah dari orang menikah. Bila
dapat harta, maka lebih baik nikah.
-
bila budak minta dimukatabkan, maka tuannya harus mau mengabulkan (meski
dilihat kelayakan budah untuk dimukatabkan). Status mukatab bisa mendapat
bantuan dari muslimin (termasuk zakat).
C. orang-orang
yang tidak boleh dinikahi.
1.
Larangan menikah karena beda agama
a. Surat
al-Baqarah (2) ayat 221.
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu............
Musyrik
adalah menyekukutan Allah. Berbeda dengan ahli
kitab (Yahudi, Nasrani), karena al-musyrikat
dalam ayat ini adalah kafir watsani
(paganisme). Artinya laki-laki boleh menikah dengan wanita Yahudi atau Nasrani.
Tetapi perempuan tidak boleh menikah dengan laki-laki Yahudi atau Nasrani . Pelarangan ini terkait keberimanan, di
mana bila wanita musyrik sudah Islam, maka boleh dinikah. Menikahi budak lebih
baik daripada menikahi wanita musyrik. Artinya standar mencari jodoh bukan
cantiknya, tapi keimanan dan kesalehannya.
Larangan ini ditujukan pada wali dalam
menikahkan dengan laki musyrik. Wanita muslim hanya boleh menikah dengan laki
muslim, karena bisa dikendalikan oleh keinginan laki non Islam. Bagaimanapun,
mereka akan mengajak untuk mengikuti ajaran mereka.
2. larangan menikah karena ada
hubungan keluarga.
b. Surat
an-Nisa’ ayat 22-24.
“Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk
jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita
yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan
hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain
yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan
untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah
saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Ayat ini menghilangkan kebiasaan
jahiliyah menikahi ibu tiri. Artinya perempuan tidak diperlakukan seperti harta
yang bisa diwaris. Kata illa ma qad salaf
berarti perbuatan seperti itu sebeblun turun ayat dimaafkan oleh Allah. Setelah
turun ayat, dihukum.
Ada
7 golongan perempuan haram dinikah: ibu kandung (nenek dst); anak kandung (cucu
dst); saudara kandung, seayah, seibu; anak saudara laki (anak-anaknya juga);
anak saudara perempuan (anak-anaknya juga); saudara ayah (bibi); saudara ibu
(tante).
Wanita haram dinikah karena hubungan
susuan (radha’ah), termasuk
orang-orang yang ada hubungan nasab dengan penyusu. Larangan ini tidak mutlak,
karena syarat keharaman: Pertama,
usia anak waktu menyusu tidak lebih 2 tahun, air susu masuk perut. Kedua, menyusu minimal 5 kali.
Wanita
haram dinikah juga, mertua dan anak tiri. Anak tiri boleh dinikah bila ibunya
belum digauli. Juga anak tiri tidak dalam perawatannya (meski syarat kedua ada
beda pendapat). Adapun mertua, yang anaknya sebagai isteri sudah digauli atau
belum, haram dinikah secara mutlak.
Haram
bagi muslim, menikahi menantu dan memadu 2 perempuan bersaudara. larangan ini
berlaku mutlak, baik digauli anak atau belum. Sedang yang kedua, boleh menikahi
saudara isteri bila sudah bercerai.
Jadi
ada 4 macam wanita haram dinikah: karena nasab, persemendaan (mushaharah), susuan (radha’ah), dan wanita sudah menikah.
3.
Wali Nikah
Surat
al-Baqarah (2) ayat 232
“Apabila kamu
menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di
antara mereka dengan cara yang makruf. Itulah yang dinasehatkan kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu
lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.”
Larangan bagi wali menghalangi nikah
perempuan, secara analisis teks menunjuk wajibnya wali bagi suatu pernikahan,
namun tidak boleh menghalangi. Ayat lain wajib wali adalah an-Nisa’ ayat 25. “Maka nikahilah mereka dengan izin dari
keluarga mereka, dan berikanlah kepadanya maskawin yang cukup”.
Orang
yang berhak jadi wali adalah orang yang berhak mendapat ‘ushbah dalam warisan. Setelah itu pada orang yang memerdekakannya
(jika bekas budak). Selanjutnya wali hakim.
Selain
wali, harus ada 2 saksi dalam ijab qabul
5. Perbedaan pendapat ulama
a. Tentang haramnya anak tiri dinikah. Jumhur:
haram, baik dalam kepengasuhan atau tidak. Pendapat lain, boleh bila tidak
dalam kepengasuhannya.
b. Tentang
haramnya menikahi mertua, jumhur: haram, baik anaknya ketika jadi
isteri sudah digauli atau belum. Pendapat lain, boleh bila anaknya ketika
sebagai isteri belum digauli.
c. Tentang
sudara sesusuan, sepakat dengan keharaman, naum tidak sepakat dalam
syarat susuan (frekuensinya). Juga pada batas maksimal usia menyusu.
d. Tentang
batas minimal mahar. Hanafiyah: minimal 10 dirham (30,2 gr perak).
Malikiyah: ¼ dinar (1,25 gr emas) atau 3 dirham. Syafi’iyah dan hanabilah:
tidak ada ketentuan minimal.
E. Tentang
wali, jumhur: wali adalah syarat, aqad tidak terlaksana tanpa wali.
Hanafi: tidak harus ada dalam pernikahan. Maka ayat 232 al-Baqarah berarti
mantan suami dilarang mencegah mantan isterinya menikah dengan laki-laki lain,
setelah idah habis. Jadi wali dari teks itu bukan wajib, tapi keutamaan.
Kesimpulan
Pernikahan
dalam Islam adalah anjuran, di dalamnya ada keutamaan. Sedang poligami itu
bukan asli Islam, tapi budaya. Analisis tekstual ayat, poligami ada sebagai
akibat adanya keadaan tertentu yang membolehkan poligami. Di samping itu
masalah adil sebagai syarat utama, dan ayat lain mensinyalir ketiadaan
(kesulitan) berbuat adil yang bisa benar-benar dilakukan oleh seseorang.
Maskawin
adalah syarat dalam nikah, demikian juga adanya wali dan 2 orang saksi. Aqad
tidak bernilai sah, apabila tidak ada wali.
Inti
dari pernikahan adalah tujuan membina keluarga yang bisa membawa pada
ketenangan, bukan dalam pengertian tujuan memperoleh kenikmatan seksual belaka.
Islam
sudah mengatur wanita-wanita mana saja yang boleh dinikahi, demikian juga
wanita-wanita mana yang haram dinikahi. Tentang alasan-alasan keharaman
sebenarnya membuka peluang bagi menelitian ilmiah untuk menemukan segenap
rahasia yang tersimpan di dalam pelarangan itu.
Banyak
sekali pendapat para ulam tentang penikahan. Pendapat-pendapat tersebut
menimbulkan berbagai perbedaan yang memang harus perlu dikaji dan perhatiak
agar tidak ada salah pemahaman dalam perbedaan pendapat tersebut.
Pendapat-pendapat tersebut yang berkaitan dengan tentang haramnya menikahi anak
tiri, haramnya menikahi mertua, tentang saudara sesusuan, tentang mahar juga
yang berkaitan dengan wali.
Oleh
karena itu betapa pentingnya kita memahami tentang pernikahan agar kita
tidak salah melangkah dalam melaksanakan sunnah nabi yang satu ini. Agar kita
juga terhindar dari dosa berbagai polemik dalam masalah pernikahan.
Dan sebagai umat yang beragama
islam dan tentunya sebagai pengikut nabi muhammad SAW kita perlu mengetahui dan
melakukan hal ini.
Bahan
bacaan:
al-Bukhari , Abi ‘Abdillah Muhammad bin
Isma’il, Matn Masykul al-Bukhari,
bihasiyah as-Sindiy (tp.kt, Maktabah dar Ikhya’ lilkutub al-‘Arabiyah,
tp.th), Juz 3.
Dahlan, Zaini, Qur’an Karim
dan Terjemah Artinya, (Yogyakarta: UII Press, 2010), cetakan Ke-9.
Yusuf, Kadar M., Tafsir Ayat Ahkam, Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum, (Jakarta: Amzah,
2011).
[1] Zaini Dahlan, Qur’an Karim dan
Terjemah Artinya, (Yogyakarta: UII Press, 2010) cet. Ke-9, hlm. 137.
[2] Hadis Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah, dari Ibrahim
bin Sa’id, dari Shalih bin Kaysan, dari Ibn Syihab, dari ‘Urwah bin Zubair,
bertanya pada ‘Aisyah tentang sebab turun an-Nisa’ ayat 3. Dalam Abi ‘Abdillah
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Matn
Masykul al-Bukhari, bihasiyah as-Sindiy (tp.kt, Maktabah dar Ikhya’
lilkutub al-‘Arabiyah, tp.th), Juz 3, hlm. 117
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.