القواعـــد
الفقهيــــة
Oleh:
Hamdani
Hakim
11421021
القواعـــد الفقهيــــة
AL-QAWA’ID
AL-KHAMSAH AL-FIQHIYAH
- Al-qawa’id al-khamsah al-fiqhiyah
1. الأمور بمقاصدها
“ setiap perkara tergantung pada
niatnya “
Maksudnya :
Niat sangat
penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang , apakah
seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah karena Allah SWT
dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang dusunnahkan atau yang
dibolehkan oleh agamaataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan
niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata kerana kebiasaan saja.
Apabila
seseorang melakukan kejahatan misalnya, pembunuhan, apakah dia berniay
melakukan ataukah dia tidak berniat melakukannya. Untuk kasus pertama disebut
pembunuhan sengaja karena dia berniat melakukannya, sedangkan untuk kasus kedua
disebut pembunuhan karena kesalahan sebab dia tidak berniat melakukannya.
Ternyata disini bahwa kualitas perbuatan
seseorang juga ikut ditentujan oleh niatnya. Demikian pula halnya antara ibadah yang fardhu dan ibadah yang sunnah.
Dalam hal ini perlu dibedakan antar niat dan motif (ba’is). Tentang niat sudah
dijelaskan di atas, sedangkan motif adalah dorongan jiwa untuk melakukan
perbuatan yang mucul sebelum adanya
niat. Dalam melakukan perbuatan manusia melalui tahap-tahap tertentu.
Tahap pertama adalah tahap pemikiran yaitu memikirka untuk melakukan sesuatu
perbuatan atau tidak. Tahap kedua adalah tahap persiapan , yaitu persiapan
untuk pelaksanaan yaitu melaksanakan pekerjaan yang sudah dipikirkandan
dipersiapkan tadi.
Di kalangan
para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah adalah tidak sah, tanpa
disertai denga n niat, kecuali untuk beberapa hal saja, yang termasuk
kekecualian dari kaidah-kaidah tersebut diatas.
Dari
penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa
fungsi niat adalah :
a. Untuk
membedakan antara ibadah dan adat
kebiasaan.
b. Untuk
membedakan kualitas perbuatan ,baik kebaikan ataupun kejahatan.
c. Untuk
menetukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang
wajib dari yang sunnah.
Secara lebih
mendalam lagi, para fuqaha merinci
masalah niat ini baik dalam bidang ibadah mahdlah, seperti : thaharah, wudlu,
tayamum, mandi junub, sholat, qasar, jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, puasa,
ataupun di dalam muamalah /ibadah ghairu mahdlah, seperti : pernikahan, talak,
wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa menyewa, perwakilan, dan lain-lain.
Rupanya yang
paling penting dalam masalah niat ini bukan soal kuantitas masalah fiqih yang
ribuan atau bahkan puluhan ribu yang tersebar dalam kitab-kitab fikih, akan
tetapi kualitas kaidah inimemang mendasar dan tidak banyak masalah –masalah
fikih yang di luar kaidah tersebut. Diantara kekecualian kaidah di atas antara
lain :
a. Sesuatu
perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalah hal
ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, makrifat, khauf, raja’,
ikamah, azan, zikir dan membaca al-qur’an kecuali apabila dalam rangka
membacanya karena nazar.
b. Tidak perlu
niat di dalam meninggalkan perbuatan, seperti, maninggalkan perbuatan zina dan
pebuatan lainnya yang dilarang (haram) karena dengan tidak melakukan perbuatan
tersebut, maksudnya sudah tercapai. Memang perlu niat apabila mengharapkan pahala
dengan meninggalkan yang dilarang.
c. Keluar dari
sholat tidak diperlukan niat , karena niat diperlukan dalam melakukan suatu
perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
Contoh :
-
Seseorang niat sholat dzuhur, kemudian
setelah satu rekaat dia berpindah kepada niat sholat tahiyatu al masjid , maka
batal sholat zuhurnya.
-
Dalam sholat tidak diisyaratkan niat menyebut
jumlah rakaat, maka bila seorang muslim berniat melaksanakan sholat maghrib 4
rakaat, tetapi ia tetap dalam melaksanakantiga rekaat, maka sholatlah tetap
sah.
-
Seorang bersumpah tidak akan berbicara dengan
seseorang, dan maksdunnya dengan ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada ahmad
saja.
2. اليقين لا يزال بالشك
“ keyakinan tidak bisa dihilangkan
dengan adanya keraguan “
Maksdunya :
Yang dimaksud yakin adalah sesuatu yang menjadi tetap
karena pengelihatan pacaindera atau dengan adanya dalil. Sedangkan shak adalah
suatu pertentangan antara kepastian dengan ktidakpastian tentang kebenaran dan
kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah
satunya.
Kaidah ini sama dengan asas praduga tak bersalah
(presumption of innocent ) dalam hukum barat. Selain itu secara moral ,
sesorang muslim harus memiliki husnu zhan (berperasangka baik) sebelum ada
bukti yang menyakinkan bahwa dia tidak baik.
Adapun yang mengartikan yakin dengan ilmu tentang sesuatu
yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu
dalam arti tidak ada keraguan lagi.
Ada kekecualian dari kaidah tersebut di atas, misalnya ,
wanita yang sedang menstruasi yang meragukan, apakah sudah berhenti atau belum.
Maka ia wajib mandi besar untuk sholat. Contoh lain : apabila orang ragu, apakah yang
keluar itu mani atau madzi, maka ia wajib mandi besar. Padahal ia ragu, yang
keluar itu mani yang mewajibkan mandi atau madzi yang tidak mewajibkan mandi.
Contoh :
-
Apabila
seseorang sedang melakukan sholat ashar, kemudian dia ragu apakah sudah empat
rekaat atau baru tiga rekaat maka ambilah yang lebih yakin. Yaitu tiga rekaat.
Namun, sebelum salam disunahkan sujud sahwi.
-
Seorang
musafir yang membaca takbiratul ihram (bermakmun) di belakang orang yang tidak
diketahui apakah dia seorang musafir atau bukan, maka qasharnya tidak memenuhi
syarat.
-
Seorang
yang dalam perjalanan , kemudian ragu apakah sudah di negerinya atau belum,
maka ia tidak boleh mengambil rukhsah.
3.
المشقة
تجلب التيسر
“ kesulitan mendatangkan kemudahan “
Maksudnya :
Makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya
kemudahan. Maksdunya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah
meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan
kesukaran.
Dalam ilmu fiqih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan
itu setidaknya ada tujuh macam, yaitu :
a. Sedang dalam perjalanan (al-safar) . misalnya, boleh
qasar sholat.
b. Keadaan sakit. Misalnya , boleh tayamum ketika sulit
memakai air.
c. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan
hidupnya. Misalnya setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad
tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai.
d. Lupa (al-nisyan). Misalnya , seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa.
e. Ketidaktahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk
islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak
dikenai sanksi.
f.
Umum
al-balwa. Misalnya, kebolehan bai al-salam (uangnya dahulu, barangnya belum
ada).
g. Kekurangmampuan bertindak hukum (al-nasqh). Misalnya ,
anak kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk.
Adapun pengecualian dari kaidah ini antara lain :
a. Kesulitan kesulitan yang diklasifikasikan pada mashaqqah
yang ringan, seperti pening yang ringan saat sujud.
b. Kseulitan-kesulitan yang muncul, memang satu resiko dalam
suatu perbuatan, seperti lapar yang biasa saat puasa.
Dikalangan mazhab syafi’i menyebutkan bahwa keringana itu
bisa beberapa macam hukumnya :
a. Wajib mengambil keringanan tersebut, yakni ketika pada
posisi mashaqqah azimah.
b. Sunnah mengambil yang ringan.
c. Boleh mengambil yang ringan.
Contoh :
-
Dibolehkan
tidak ada ijab kabul dalam jual beli barang yang tidak berharga.
-
Tidak
ada kelonggaran untuk melaksanakan maksiat apapun alasannya, tetapi diharuskan
untuk menghindarinya.
4.
الضرر
يزال
“ kemudaratan harus dihilangkan “
Maksudnya :
Tujuan syari’ah adalah untuk meraih kemaslahatan dan
menolah kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka
maslahat membawa manfaat sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan.
Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan
merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak mafsadah, dengan cara
menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya. Oleh karena itu ,
tidaklah mengherankan apabila ahmad al-nadwi menyebutkan bahwa penerapan kaidah
di atas meliputi lapangan yang luas di dalam fikih bahkan bisa jadi meliputi
seluruh dari materi fikih yang ada. Dengan kata lain kaidah ini menunjukan
bahwa berbuat kerusakan itu tidak
diperbolehkan dalam agama islam. Adapun yang berkaitan dengan ketentuan Allah,
sehingga kerusakan itu menimpa seseorang, kedudukannya menjadi lain, bahkan
bisa dianggap sebagai bagian dari keimanan terhadap qadha dan qadarnya Allah
SWT.
Dalam permasalahan darurat ini perlu kita ketahui bahwa
kebutuhan manusia itu terbagi menjadi lima tingkatan, yaitu :
a. Tingkat darurat
b. Tingkat hajat
c. Tingkat manfaat
d. Tingkat zinah
e. Tingkat fudui
Adapun dalam keadaan darurat yang membolehkan seseorang
melakukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut
:
a. Dalam kondisi darurat yang dapat mengancam jiwa dan
anggota badan.
b. Dalam keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dan
tidak melampaui batas.
c. Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan
melakukanyang dilarang.
Kekecualian dari kaidah di atas pada prinsipnya adalah :
a. Apabila menghilangkan kemudaratan mengakibatkan datangnya
kemudaratan yang lain yang sama tingkatannya.
b. Apabila menghilangkan kemudaratan menimbulkan kemudaratan
lain yang lebih besar atau lebih tinggi tingkatannya.
c. Apabila menghilangkan kemudaratan dengan cara melampaui
batas dan bukan merupakan jalan satu-satunya yang harus dilakukan ( ada
alternatif lain selain hal haram yang menjadi pilihan ).
Perbedaan antara hajjah dan darurat adalah :
a. Hajjah mempunyai efek kesulitan atau kesukaran dalam
melakukan hukum dan yang dilanggat adalah hukum haram highairihi.
b. Darurat mempunyai efek bahaya yang muncul jika melakukan
atau melaksankan hukum dan yang dilanggar adalah haram hidhaitihi.
Contoh :
-
Dibolehkan
memakan daging babi ketika kelaparan.
-
Ketika
memakan makanan yang dibolehkan karena madarat, tidak boleh sampai kenyang,
tetapi sekedarnya saja.
-
Tidak
boleh membunuh anaknya karena alasan
kesulitan ekonomi dan lain-lain.
-
Boleh
memenjarahkan orang ang menolak memberikan nafkah kepada orang-orang yang wajib
dinafkahi.
-
Menjual
barang-barang timbunan dengan cara paksa untuk kepentingan umum.
5. العادة محكمة
“ adat
kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum “
Maksdunya :
Al-‘adah Maksdunya adalah sesuatu
perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena
dapat diterimah akal dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus. Sedangkan al-‘urf adalah sesuatu yang telah
diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari pekataan ,
perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan.
Tampaknya lebih tepat apabila
al-‘adah atau al-‘urf ini didefenisikan
dengan “ apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah
al-ammah) yang dilakukan berulang-ulangsehingga menjadi kebiasaan. Dalam memutuskan suatu perkara setidaknya ada
dua macam pertimbnagan yang harus diperhatiakan. Pertama, pertimbangan keadaan
kasusnya itu sendiri, seperti apa kasusnya , dimana dan kapan terjadinya, bagaiman proses
kejadiannya, mengapa terjadi dan siapa pelaukunya. Kedua, pertimbangan hukum.
Dalam pertimbangan hukum inilah terutama
untuk hukum-hukum yang tidak tegas disebutkan dalam al-qur’an dan
al-hadits , adat kebiasaan harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan perkara.
Pengecualian dari kaidah ini adalah :
a. Al-‘adah bertentangan dengan nash baik
al-qur’an maupun al-hadis. Seperti puasa terus terusanatau puasa empat puluh
hari atau tujuh hari siang malam.
b. Al-‘adah tersebut tidak menyebabkan
kemafsadatan atau menghilangkan kemaslahatan termasuk di dalamnya tidak
mengakibatkan kesulitan atau kesukaran . seperti, membororskan harta, hura-hura
dalam acara perayaan.
c. Al-‘adah berlaku pada umumnya di kaum
muslimin , dalam arti bukan hanya biasa dilakukanoleh bebrapa orang saja. Bila
dilakukan beberpa orang saja maka tidak dianggap adat.
Segala
sesuatu kebiasaan yang dianggap baik oelh masyarakat terkadang ia dan terkadang bukan huku shar’i
yang diatur secara rinci dan belum ada batasannya yang jelas tetapi berhubungan
kuat dengan hukum shar’i serta terkadang bukan merupakan salah satu dari kedua
bentuk tersebut.
Contoh :
-
Mereka yang mengajarkan al-qur’an boleh
menerima gaji, hal itu antara lain agar al-qur’an tetap eksis dikalangan umat
islam.
-
Menjual buah di pohon adalah tidak boleh
menurut qiyas karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi
kebiasaan (adat) maka ulam membolehkannya.
- Perbedaan kaidah fiqhiyah dengan kaidah ushul
Dalam kajian keislaman, fiqh merupakan suatu disiplin ilmu
tersendiri, sebagaimana ushul fiqh yang merupakan disiplin ilmu tersendiri.
Kedua displin ilmu ini mempunyai kaidah-kaidah tersendiri yang satu sama lain
berbeda.
Menurut Ali al-Nadawi, imam Syihab al-Din al-Qarafi merupakan ulama yang pertama kali membedakan antara kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyyah. Al-Qarafi menegaskan bahwa syariah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketinggian melalui ushul dan furu’. Adapun ushul dari syariah tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqh. Ushul fiqh memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa Arab itu kaidah tentang nasakh, tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib dan kehendak lafal nahi untuk menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al-qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum). Jumlah kaidah tersebut cukup banyak dan lapangannya luas yang mengandung rahasia-rahasia dan hikmah syariat. Setiap kaidah diambil dari furu’ yang terdapat dalam syariah yang tidak terbatas jumlahnya. Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh, meskipun secara umum mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara perinciannya.
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid fiqhiyyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyyah membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.
Menurut Ali al-Nadawi, imam Syihab al-Din al-Qarafi merupakan ulama yang pertama kali membedakan antara kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyyah. Al-Qarafi menegaskan bahwa syariah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketinggian melalui ushul dan furu’. Adapun ushul dari syariah tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqh. Ushul fiqh memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa Arab itu kaidah tentang nasakh, tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib dan kehendak lafal nahi untuk menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al-qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum). Jumlah kaidah tersebut cukup banyak dan lapangannya luas yang mengandung rahasia-rahasia dan hikmah syariat. Setiap kaidah diambil dari furu’ yang terdapat dalam syariah yang tidak terbatas jumlahnya. Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh, meskipun secara umum mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara perinciannya.
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid fiqhiyyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyyah membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini.
1. Al-qawaid al-ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum)
yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara
al-qawaid fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan
pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian dari
kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2. Al-qawaid al-ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk
mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya
persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan
yang benar. Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari
dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil
dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap
larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sementara al-qawaid al-fiqhiyyah adalah
ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang
bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian al-qawaid
al-fiqhiyyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3. Al-qawaid al-ushuliyyah
sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyyah.
Sementara ¬al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh
yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan.
Tujuan adanya qawaid fiqhiyyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4. Al-qawaid al-ushuliyyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab,
al-qawaid al-ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’).
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh).
Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang
serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
5. Dari satu sisi al-qawaid al-fiqhiyyah memiliki persamaan dengan
al-qawaid al-ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya.
Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang berada
di bawahnya. Sementara perbedaannya, al-qawaid al-ushuliyyah adalah himpunan
sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk
menetapkan hukum. Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah
masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.