mahkum fih
KATA
PENGANTAR
Pujisyukurkehadirat Allah SWT yang
telahmencurahkanrahmat,taufikdanhidayahNyakepadakitasehinggakitamasihdiberikenikmatanbaik
yang berupakenikmatanjasmanimaupunkenikmatan yang paling
utamayaituimandanislam, ShalawatdansalamsemogatercurahkankepadaJunjungankitaNabi
Muhammad SAW, Beliau yang telahmenuntunkitadarizaman yang biadab, zaman
jahiliahmenujuzaman yang beradabyaknidenganajaran agama Islam.
Alhamdulillah akhirnyapenulisdapatmenyelesaikanmakalahyang
berjudul “Mahkumbih” sebagaitugasdarimatakuliahUshulFiqih II. Padakesempatanini kami
inginmengucapakanterimakasihkepada Prof.Dr.H. Amir
Mu’allim, MS selakudosenpengampumatakuliahUshulFiqih II yang
telahbanyakmemberikanbimbingandanpengarahan, rekan-rekandansemuapihak yang
telahmembantusehinggamakalahinidapatselesaipadawaktunya.
Selanjutnyapenulismemohonkritikdan saran
darisemuapihakuntuklebihsempurnanyamakalahinidanpenulisberharapmakalah yang
sederhanainibermanfaat, terutamabagi yang membutuhkannya.
Yogyakarta, 27 Oktober
2012
|
|
Penulis
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita
tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah
sang pembuat hukum yang diperintahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang
berkait dengan hukum taklifi (seperti:wajib,sunnah,haram,makruh, mubah), maupun
yang terkait dengan hukum wad’i
(seperti:sebab,syarat,halangan,sah,batal,fazid,azimah dan rukhsoh). Untuk
menyebut istilah hukum atau objek hukum
dalam ushul fiqih disebut mahkum bih/mahkum bih[1],karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan
hukum haram atau lebih mudahnya adalah perbuatan
seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum bih,sedangkan
seseorang yang di kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf) ,
berikut penjelasan tentang penguraian mahkum bih/mahkum bih. Melalui makalah
ini kami yang dibebani tugas untuk mengkaji materi ini akan memberikan
penjelasan lebih lanjut antar mahkum bih dan mahkum alaih.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai yang telah dijelaskan dalam latar
belakang, pembuatan makalah ini mengacu pada rumusan masalah sebagai berikut :
- Ta’rif (Apa yang dimaksud dengan mahkum Bih) ?
- Syarat-syarat Mahkum Bih
- Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari
1.3 Tujuan penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini tidak
lain hanyalah untuk menjelaskan dan memaparkan lebih lanjut terhadap rumusan
masalah, yaitu :
- Menjelaskan Ta’rir/pengertian mengenai mahkum Bih
- Syarat-syarat Mahkum Bih
-
Al-Masyaqqoh (kesulitan)
- Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Mahkum Bih
Untuk menyebut istilah
peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama menggunakan istilah mahkum bih,
karena di dalam perbuatan atau peristiwa itulah ada huku baik hukum wajib maupun
hukum haram.Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum bih, karena
perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat perintah
ataupun larangan.
Obyak hokum adalah “perbuatan” itu
sendiri.\hukum itu berlaku pada perbuatab dan bukan pada zatnya.Umpamanya
“daging babi”.Pada daging babai tidak berlaku hokum, baik suruhan maupun
larangan.Berlakunya hokum larangan adalah pada “memakan daging babi”, yaitu
suatu perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu[2].
Para ulama sepakat, bahwa seluruh
perintah syar’I itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf.Dan terhadap
perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum.
Contoh:
1.) Firman AllAh dalam surat
al baqoroh:43
و اقيمو االصلاة (البقرة)
”Dirikanlah Sholat”
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan mukallaf untuk
mengerjakan sholat, atau kewajiban mendirikan sholat.
2.) Firman Allah dalam surat
al an’am:151
ولاتقتلواالنفس االتي حر م االله الا باالحق (الانعا م)
”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Allah
melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”
Dalam ayat ini terkandung suatu
larangan tentang perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa
hak, maka membunuh itu hukumnya haram.
2.2. Syarat –Syarat Mahkum Bih
Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat
sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu[3]:
1. Perbuatan itu sah dan
jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak
mungkin dilakukannya seperti :mencat langit”.
Dalam Al qur’an perintah Sholat yaitu
dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut masih global,Maka Rosululloh
menjelaskannya sekaligus memberi contoh sabagaimana sabdanya”sholatlah
sebagaimana aku sholat”begitu pula perintah perintah syara’ yang lain
seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan untuk melaksanakannya di anggap
tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan sebagainya.
2. Perbuatan itu
tertenru adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakannya serta
dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak mungkin berlaku taklif pada
suatu perbuatan yang tidak jelas. Seumpamanya menyuruh orang menggantang angin.
3. Perbuatan itu
sesuatu yang mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan oleh mukallaf dan
berada dalam kemampuannya untuk melakukannya, dengan catatan :
a.
Tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk
dikerjakan atau di tinggalkan berdasarkan jumhur ulama, baik zatnya ataupun
kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Contoh yang mustahil berdasarkan
zatnya adalah berkumpulnya antara perintah dan larangan dalam waktu yang
bersamaan. Sedangkan contoh kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya
adalah sesuatu yang bisa digambarkan berdasarkan akal, namun menurut kebiasaan
tidak mungkin untuk dilakukan, seperti menyuruh manusia terbang tanpa sayap,
ataupun untuk mengangkat gunung.
- Tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama orang lain. Oleh karena itu, seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat untuk mengantikan saudaranya, atau menunaikan zakat mengantikan bapaknya. Dengan kata lain, seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan orang lain. Terkecuali dalam hal menasehati dan amar ma’ruf nahyi munkar.
- Tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, karena hal itu berada di luar kendali manusia.
- Tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah, suci dalam masalah sholat.
2.3. Al-Masyaqqoh (kesulitan/halangan)
Perlu diketahui bahwa salah satu
syarat tuntutan harus bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu dalam
melaksanakannya pasti ada ada suatu kesulitan. Untuk itu akan kami jelaskan
yang dimaksud adalah masyaqqoh (kesulitan/halangan) serta pembagiannya.
Masyaqqoh dibagi menjadi dua macam yaitu:
1. Masyaqqoh Mu’tadah
Masyaqqah ytang mungkin dilakukan dan
berketerusan dalam melaksanakannya[4].Kesulitan seperti ini
tidak bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap
perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan dalam melaksanakannya.
Contohnya, diwajibkannya adanya sholat ini bukan bermaksud agar badan capek
atau bagaimana, akan tetapi untuk melatih dirinya diantaranya bisa mencegah
perbuatan keji dan mungkar. Atau lain contoh seperti ibadah puasa dan haji[5], masyaqqah dalam bentuk
ini tidak menghalangi taklif dan dapat menjadi obyek hokum, karena memang semua
obyek hokum tidak ada yang bebas dari kesulitan, namun dapat dilakukan oleh
mukallaf meskipun dengan sedikit berat.
Oleh karena itu tidak dibenarkan untuk
mengutamakan menghilangkan kesulitan atau mencari-cari sesuatu yang lebih
sulit, dengan sangkaan bahwa semakin sulit suatu taklif semakin banyak
pahalanya.Sangkaan semacam itu bertentangan dengan hukum syara. Maka bila ada
orang sengaja meninggalkan jalan yang biasa ia gunakan untuk pergi ke masjid
misalnya, dan memilih jalan yang penuh dengan rintangan ia tidak dapat
dibenarkan.
2. Masyaqqoh Goiru Mu’tadah
Masyaqqah yang tidak mungkin seorang
melakukannya secara berketerusan atau tidak mungkin dilakukan kecuali dengan
pengerahan tenaga yang maksimal.[6]. Taklif seperti ini
mungkin bisa menurut akal, namun tidak ada dalam syariat.Allah, tidak menuntut
manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan, seperti berperang
jihad dijalan Allah. Dalam masyaqqah seperti ini dapat berlaku taklif, namun
tidak untuk semua orang dan tidak secara berketerusan masyaqqah ini terdapat kesulitan yang besar
sekali dan tidak semua orang mampu mengerjakannya. Karena itu hokumnya adalah
wajib kifayah terhadap orang yang mampu melaksanakannya.[7]
ير يد الله بكم اليسر و لا ير يد بكم العسر البقره
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu
(al baqoroh 185)
Apabila dalam suatu amalan terdapat kesulitan
untuk mengerjakannya, maka Allah SWT pun memberikan keringanan dengan cara
rukshah. Adanya rukhshah dalam hukum syara, seperti dibolehkan manjamak dan
mengqasar jumlah rakaat dalam shalat.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN :
Semua perbuatan mukallaf yang
berkaitan dengan hukum syara` dinamakan dengan Mahkum Fiih (obyek hokum).Akan
tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat dijadikan objek
hukum.Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf mengalami
kesulitan-kesulitan (masyaqqah).Ada yang mampu diatasi manusia seperti :
sholat, puasa dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi masih bisa
dilakukan oleh mukallaf.Ada kesulitan yang tidak wajar yang munusia tidak
sanggup melakukannya seperti puasa terus menerus dan mewajibkan untuk bangun
malam, atau suatu pekerjaan sangat berat seperti perang fi- sabilillah, karena
hal ini memerlukan pengorbanan jiwa, harta, pemaksaan diri, dan lain sebagainya.
Mukallaf yang telah mampu mengetahui khitob syar’i (tuntutan
syara’) maka sudah dikenakan taklif.
Daftar
Pustaka :
“al-Qur’an dan terjemah”, Yogyakarta UII Press : 2008
Syarifuddin, Prof.
Amir, “Ushul Fiqh 1”, Jakarta : Kencana, 2008
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.