“MAHKUM BIH”
1. Pendahuluan
Obyek
kajian Ushul Fiqh di antaranya adalah pembahasan tentang hukum syara’[1]
(hukum yang pada hakekatnya dibuat oleh Allah yang diperintahkan kepada seluruh
mukallaf), baik
yang berkait dengan hukum taklifi (seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), maupun yang terkait dengan
hukum wad’i (seperti: sebab, syarat, halangan, sah, batal, fazid, azimah dan rukhsah). Dalam
pembahasan hukum syara’ juga dibahas tentang pembuat hukum (hakim), ketetapan hukum dan
syarat-syaratnya (al-hukm), perbuatan
mukallaf yang dikenai hukum (mahkum fih),
orang yang dibebani hukum (mahkum ‘alaih).
Untuk menyebut istilah objek hukum,
dalam ushul fiqih disebut mahkum fih/mahkum bih[2], karena di dalam peristiwa itu ada hukum (seperti hukum wajib dan hukum
haram). Lebih
mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum bih.
Pengertian
mahkum bih yaitu:
المحكوم
به هو فعل المكلف الذى تعلق به حكم الشارع إقتضاء أوتخييرا أووضعا
“Mahkum bih yaitu
perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’, untuk tuntutan
mengerjakan, memilih perbuatan, atau menetapkan”[3].
Abdul Wahab
Khallaf (2005)[4],
mengartikan mahkum fih sebagai
perbuatan mukallaf yang bersangkut dengan hukum syar’i. Sementara Muhammad Zakaria al-Bardisi (tt) yang dinukil Nasrun Haroen (2001),
mengartikan mahkum fih sebagai obyek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang
terkait dengan titah syari’ (Allah
dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan
suatau pekerjaan; memilih suatu pekerjaan; dan yang bersifat syarat, sebab,
halangan, ‘azimah, rukhsah, sah serta batal[5].
Dari beberapa pengertian itu dapat diambil
kata kunci: (1) perbuatan mukallaf, (2) terkait hukum syara’, (3) tuntutan
pengerjaan, pilihan perbuatan, melakukan atau meninggalkan, (4) terkait adanya
syarat, sebab, halangan, ‘azimah, rukhsah, sah serta batal.
Dalam kehidupan sehari-hari, antara teori
hukum syara’ dengan prakteknya banyak terjadi ketimpangan, kesenjangan,
ketidaktahuan kaum Muslim ketika menjalankan ibadah. Artinya banyak kaum Muslim
menjalankan ibadah tanpa tahu keilmuannya. Ibadah dijalankan hanya mengikuti
syarat rukunnya, tetapi masalah betul atau belum jarang diperhatikan. Hal
demikian bisa menimbulkan masalah, karena untuk melakukan ibadah secara baik
harus diikuti keilmuan yang baik pula.
2. Rumusan Masalah
Untuk
dapat menjalankan ibadah dengan baik dan betul, sesuai dengan konteks perbuatan
mukallaf sebagai obyek hukum (mahkum bih),
maka permasalahan yang harus dikuasai:
(1) jenis perintah apa saja yang bisa
dipahami dari sumber teks dan sumber lain,
(2) apa syarat-syarat perbuatan mukallaf itu
bisa dikenai hukum,
(3) apa macam-macam perbuatan mukallaf yang
dikenai hukum, dan
(4) bagaimana aplikasinya dalam kehidupan
sehari-hari.
3. Tujuan penulisan
Tujuan dari pembelajaran
tentang mahkum bih ini adalah:
(1) bisa
mendeskripsikan jenis perintah yang bisa dipahami dari sumber teks penting
(al-Qur`an dan as-Sunnah) dan sumber hukum lainnya,
(2) mengetahui
syarat-syarat mahkum fih,
(3) jenis
perbuatan mukallaf yang bisa dikenai hukum, dan
(4) memiliki pengetahuan mengaplikan keilmuan
dalam kehidupan sehari-hari.
PEMBAHASAN
1. Jenis perintah
yang dipahami dari sumber teks
Obyek hukum adalah perbuatan mukallaf,
di mana hukum
itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zatnya. Umpamanya “daging babi”. Pada daging babinya
sendiri tidak berlaku hukum, baik suruhan maupun larangan.
Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan daging babi”, yaitu suatu perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi.
Demikian
juga kalau kita kaji dari teks al-Qur’an dan al-Hadis, bisa dipahami perintah
atau larangan apa yang dimunculkan dari teks itu. Contoh[6]:
a. QS.
Al-Baqarah : 43; “Dirikanlah
Sholat...”, kewajiban
dalam ayat ini
berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu kewajiban untuk mengerjakan sholat.
b. QS. Al-Baqarah : 282; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua’ammalah secara tiak
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”, ayat
ini ada anjuran yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu
menuliskan utang piutang,maka hukumnya menjadi mandub.
c. QS.
Al-An’am : 151; ”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di
haramkan oleh Allah melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”. Ayat ini mengandung suatu larangan tentang perbuatan mukallaf, yaitu larangan melakukan
pembunuhan tanpa hak, maka membunuh itu hukumnya haram.
d. QS.
Al-Baqarah : 267; “Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan darinya...”, dalam ayat ini ada larangan yang tidak tegas yang tekait dengan
perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan menginfakkan harta yang buruk-buruk.
Maka menafkahkan harta yang buruk itu hukumnya makruh.
e. QS.
Al-Jumu’ah : 10; “apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di atas bumi dan carilah karunia
Allah...”, ayat ini mengandung kebolehan mencari rizki setelah melaksanakan
shalat. Kebolehan ini terkait dengan perbuatan mukallaf, yaitu ibahah. Karena mencari rizki itu
hukumnya mubah.
f. QS.
Al-Baqarah : 198; “Wahai orang-orang yang
berian, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh...”, pembunuhan yang dipaparkan ayat ini muncul dari perbuatan
mukallaf, dan pembunuhan itu menjadi sebab disyari’atkannya qishash.
g. QS.
Al-Maidah: 5-6; “Apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku...”,
wudhu` yang dibicarakan ayat ini merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf,
dan merupakan syarat sah suatu
shalat.
h. HR.
Abu Daud, Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal: “Pembunuh
tidak mewarisi”, salah satu penyebab seseorang terhalang mendapatkan harta
warisan, menurut hadis ini adalah pembunuhan. Pembunuhan juga merupakan
perbuatan mukallaf.
Menurut
Ulama Ushul Fiqh, pada perbuatan mukalaf
itu dikenai taklif (pembebanan
hukum). Tidak ada taklif, melainkan terhadap perbuatan hukum. Namun, mayoritas
ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa obyek hukum terkait larangan, bukan
berbentuk “perbuatan”, melainkan mengambil “sikap tidak berbuat”. Sikap tidak
berbuat itu bukan perbuatan. Namun, Jumhur Ulama Ushul Fiqh menyatakan “sikap
tidak berbuat itu termasuk obyek hukum dan terkait dengan perbuatan mukallaf
juga”[7].
2. Syarat–Syarat Mahkum Bih
Para ulama ushul mengemukakan
beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu[8]:
1. Mukallaf
mengetahui secara sempurna[9]
perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas
dan dapat ia lakukan.
Seorang
mukallaf tidak dituntut untuk mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan
haji, melakukan jihad, berinfak, meninggalkan minuman keras, meninggalkan
perzinahan dan pencurian, melainkan setelah mengetahui secara baik hukum Allah
yang terkait dengan perbuatan tersebut.
Pengetahuan
mukallaf terhadap hukum perbuatan itu meliputi pengetahuan tentang rukun,
syarat, dan tata cara melaksanakan perbuatan. Pemahaman teks bersifat global
tidak bisa menjadi dasar taklif sebelum ada penjelasan. Misalnya perintah
shalat, harus diikuti pengetahuan tentang syarat, rukun dan cara mengerjakan
slahat.
2. Mukallaf
mengetahui dengan baik sumber taklif suatu perbuatan yang akan ia laksanakan,
sehingga pelaksanaannya merupakan ketaatan terhadap perintah Allah. Tujuan
pelaksanaan sesuai tujuan taklif. Maksud Mukallaf mengetahui sumber taklif adalah kemungkinan untuk
mengetahuinya, yaitu melalui kemampuan akalnya. Para Ulama ushul tidak
mensyaratkan bahwa setiap mukallaf harus mengetahui secara pasti dan mandiri
hukum beserta dalilnya, karena hal ini akan menyebabkan sulitnya hukum itu
dikerjakan, atau orang mencari-cari alasan keberatan melaksanakan hukum.
3. Adanya
peluang perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf.
Akibat syarat ketiga ini adalah:
a. Jumhur
Ulama Ushul menyatakan tidak boleh ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil,
baik zat maupun luar zat.
Kemustahilan
dilihat dari zatnya adalah sesuatu yang tidak tergambar eksistensinya oleh akal
seperti adanya dua hukum yang bertolak belakang. Contoh: wajib mengerjakan
sesuatu tetapi pada saat yang sama juga haram mengerjakannya. Hal seperti ini
tidak mungkin terjadi.
Kemustahilan
dilihat bukan dari zatnya adalah sesuatu yang tergambar eksistensinya dalam
akal, tetapi menurut hukum kebiasaan hal itu tidak pernah terjadi, seperti
manusia bisa terbang seperti burung. Dalam dua jenis kemustahilan tidak syah
adanya taklif, Allah swt menyatakan tidak ada taklif bagi sesuatu yang tidak
bisa dikerjakan (al-Baqarah: 286).
Asy’ariyah
berpendapat boleh taklif dengan sesuatu yang mustahil, baik zat maupun yang
lain, karena hal itu terjadi dalam tingkat syarat. Contoh: taklif beriman untuk
orang kafir dan ingkar. Taklif Abu Jahal untuk beriman dan menyatakan Rasul saw
benar. Allah swt tahu Abu Jahal dan orang ingkar itu tidak akan beriman dan
menyatakan kebenaran Rasul saw, sebab perbuatan itu berada di luar kemampuan
melakukan. Juga, taklif pada sesuatu yang mustahil, merupakan ujian mukallaf.
b. Secara
umum, Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk
dan atas nama orang lain, karena taklif yang bukan pada dirinya. Seseorang
tidak dibebani kewajiban untuk mengerjakan shalat buat saudaranya. Seseorang
tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan orang lain.
c. tidak
sah, membebankan perbuatan yang bersifat fitri, yang manusia tidak turut campur
di dalamnya, dan tidak ada hak pilih, seperti marah, benci, takut, gembira,
cinta dll. Perbuatan itu fitri, bukan kehendak dan ikhtiar. Tidak ada taklif.
Apabila ada teks menunjuk taklif pada perbuatan fitri, maka harus dipalingkan
dari makna zahir ke makna batin.
Seperti
(QS. Ali ‘Imran: 102) ayat ini menurut zahir, menuntut mukallaf tidak mati
sebelum menjadi muslim. Makna batinnya memerintah mukallaf masuk Islam sebelum
mati.
d. Tercapainya
syarat taklif, seperti syarat iman pada ibadah.
Persoalan
populer: “apakah orang kafir dibebani taklif untuk melaksanakan hukum syara,’
seperti dalam masalah keimanan mereka dibebani taklif”.
Jumhur
(Asy’ariyyah, Mu’tazilah, sebagian Hanafiyyah): orang kafir dituntut untuk
mengerjakan hukum syara’, karena seluruh ayat taklif berlaku umum. Ayat tentang
siksa juga berlaku bagi orang kafir. Semua orang akan dimintai
pertanggungjawaban. Syarat taklif terpenuhi.
Mayoritas
Hanafiyyah dan Abu Hamid al-Asfarayni: terpenuhinya syarat taklif merupakan
syarat adanya taklif. Orang kafir tidak dikenakan taklif untuk hukum syara’,
karena kalau taklif hukum syara’ berarti kafirnya legal. Dan ketika masuk Islam
wajib qadha’ seluruh amalan yang tidak dikerjakan ketika kafir.
3. Macam-macam
Mahkum fih
a. Segi
keberadaan secara material dan syara’, mahkum fih:
1) perbuatan
material ada, bukan perbuatan terkait syara’,
misal: makan dan minum.
2)
perbuatan material ada, menjadi sebab
hukum syara’,
misal:
zina, mencuri, membunuh. Perbuatan menjadi sebab hukum hudud dan qishash.
3) perbuatan material ada, bernilai syara’ bila
memenuhi syarat rukun
misal:
shalat, zakat, puasa, haji.
4) perbuatan material ada, diakui syara’,
mengakibatkan hukum syara’ lain
Misal:
nikah, jual beli, sewa menyewa.
Memenuhi
rukun syarat diakui syara’, akibat muncul hukum syara’ lain: halalnya hubungan
suamu isteri, wajib mahar, wajib nafkah, pindah hak dalam jual beli, hak
menerima upah dalam sewa.
b. Segi
hak yang terdapat dalam perbuatan, mahkum fih:
1) semata-mata hak Allah[10]
a)
Ibadah mahdhah (murni), seperti iaman dan rukun Islam.
b) Ibadah yang mengandung makna
bantuan/santunan, seperti zakat fitrah.
c) Bantuan/santunan mengandung
makna ibadah, seperti zakat hasil bumi.
d) Biaya/santuan mengandung makna
hukuman, seperti pajak bumi (kharaj), hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e) Hukuman
berbagai tindak pidana, seperti hukuman zina (dera/rajam), hukuman pencurian
(potong tangan), qadzaf (80 kali dera) hukuman tindak pidana ta’zir.
f) Hukuman
mengandung makna ibadah, seperti kaffarat zihar, kaffarat sumpah, dan berbagai
diyat.
g) Hak
yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan 20% harta karun dan
rampasan perang.
2) Hak hamba terkait kepentingan pribadi
seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak, hak kepemilikan,
hak pemanfaatan harta sendiri. Hak ini boleh digugurkan pemiliknya.
3) Kompromi hak Allah dan hak hamba, tetapi hak
Allah lebih dominan, seperti qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina). Dari
kemaslahatan hak Allah, dari menghilangkan aib hak hamba.
4) Kompromi hak Allah dan hak hamba, tetapi hak
hamba lebih dominan, seperti qishash. Segi pemeliharaan keamanan dan
penghormatan orang itu hak Allah, segi menjamin kemaslahatan ahli waris hak
hamba. Tapi karena qishash menyangkut ahli waris terbunuh, berhak gugur apabila
ada kemaafan, maka hak hamba lebih dominan.
4. Aplikasi dalam kehidupan
Perbuatan hukum yang dikenakan pada mukallaf,
misalnya terkait perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh
mukallaf, akan memunculkan persoalan lain yaitu pada level pelaksanaan akan ada
kesulitan (masyaqqat) pada taklif. Di
samping itu, pada level kadar kemampuan melaksanakannya juga bervariasi pada
masing-masing mukallaf.
a. Tingkat
kesulitan/halangan (al-masyaqqat)
Perlu diketahui bahwa salah satu
syarat tuntutan harus bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu dalam
melaksanakannya pasti ada ada suatu kesulitan. Masyaqqoh dibagi menjadi dua macam yaitu:
1) Masyaqqoh Mu’tadah,
Adalah
Masyaqqah yang mungkin
dilakukan dan berketerusan dalam melaksanakannya. Kesulitan seperti ini tidak
bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan
itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan dalam melaksanakannya.
Contoh:
Diwajibkan shalat ini bukan bermaksud agar badan capek
atau bagaimana, akan tetapi untuk melatih dirinya, juga bisa mencegah perbuatan keji dan
mungkar.
Ibadah puasa dan haji. masyaqqah
dalam bentuk ini tidak menghalangi taklif dan dapat menjadi obyek hukum, karena memang semua obyek hukum
tidak ada yang bebas dari kesulitan, namun dapat dilakukan oleh mukallaf
meskipun dengan sedikit berat.
Oleh
karena itu tidak dibenarkan untuk mengutamakan menghilangkan kesulitan atau mencari-cari
sesuatu yang lebih sulit, dengan sangkaan bahwa semakin sulit suatu taklif
semakin banyak pahalanya.Sangkaan semacam itu bertentangan dengan hukum syara’. Maka bila ada orang sengaja
meninggalkan jalan yang biasa ia gunakan untuk pergi ke masjid misalnya, dan
memilih jalan yang penuh dengan rintangan ia tidak dapat dibenarkan.
2) Masyaqqoh Goiru Mu’tadah,
adalah masyaqqah yang tidak mungkin seorang melakukannya secara
berketerusan atau tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pengerahan tenaga yang
maksimal. Taklif seperti ini mungkin bisa menurut akal, namun tidak ada dalam
syariat. Allah,
tidak menuntut manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan.
Contoh:
Berperang jihad di jalan Allah. Dalam masyaqqah
seperti ini dapat berlaku taklif, namun tidak untuk semua orang dan tidak
secara berketerusan masyaqqah ini
terdapat kesulitan yang besar sekali dan tidak semua orang mampu mengerjakannya.
Karena itu hukumnya adalah wajib kifayah terhadap orang yang mampu
melaksanakannya.
ير يد الله بكم اليسر و لا ير يد بكم العسر
Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (al-Baqarah: 185).
Apabila dalam suatu amalan
terdapat kesulitan untuk mengerjakannya, maka Allah SWT pun memberikan
keringanan dengan cara rukshah. Adanya rukhshah dalam hukum syara, seperti
dibolehkan manjamak dan mengqasar jumlah rakaat dalam shalat.
b. Pembagian Kemampuan menurut Ulama Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyyah, kemampuan adalah terjaganya alat untuk melakukan
sesuatu sahnya syarat. Maksudnya
adalah adanya perantara untuk melakukan
tuntutan tersebut, seperti
sehat, adanya air, dan lain sebagainya. Kemampuan menurut mereka terbagi dalam
dua bagian, yaitu : mutlaq dan sempurna.
1) Mutlaq, merupakan kemampuan yang
mungkin, yaitu adanya sarana untuk melaksanakan kewajiban, baik berupa harta
ataupun lainnya. Sebagai contoh seperti, air mutlaq diperlukan untuk berwudu,
orang yang sudah mampu diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji. Namun, syarat
tersebut tidak harus sesuai daam keadaan wajib, seperti tidak gugur kewajiban
ibadah haji, jika seseorang telah mampu, tetapi tidak melaksanakannya sampai
hartanya habis.
2) Sempurna,
adalah kemampuan yang memudahkan, yakni adanya faktor yang memudahkan dalam
pelaksanaan kewajiban. Hal ini biasanya berkaitan dengan masalah harta, bukan
dengan badan. Seperti kewajiban zakat, yang merupakan kelebihan harta. Oleh
karena itu, kewajiban zakat ada, apabila selama ada harta. Karena bila
dipaksakan maka kewajiban zakat itu menjadi gugur dan menjadi kesulitan.
Di samping kedua hal di atas, perlu
ditegaskan juga bahwa taklif tidak dalam posisi mukallaf itu harus tahu
sempurna dulu baru taklif, atau tahu sumber taklif itu secara sempurna juga,
baru taklif. Tetapi dengan keberadaan mukallaf yang sangat dimungkinkan untuk
berproses untuk tahu sendirilah yang kemudian menjadikan perbuatan mukallaf itu
bisa dianggap sebagai perbuatan hukum, dalam hal ini disebut taklif itu. Dengan
demikian orang yang belum baligh, belum sempurna akal, lalai, tidur, pingsan,
gila, mabok, pada saat seperti itu tidak dikenakan taklif.
Kesimpulan
1.
Jenis perintah yang bisa dipahami dari sumber
teks utama adalah: perintah mengerjakan bersifat wajib, perintah mengerjakan
bersifat sunat, kewenangan memilih untuk mengerjakan atau meninggalkan (mubah),
perintah untuk meninggalkan tetapi boleh juga mengerjakan (makruh), perintah
meninggalkan secara mutlaq (haram), menjadikan suatu perbuatan sebagi sebab
hukuman (qishash), perbuatan sebagai sebab sah (syarat), dan sebagainya.
2. Syarat
perbuatan mukallaf dikenai hukum: a) Mukallaf berpeluang tahu terhadap tindakan
hukum yang akan dilakukan, b) Mukallaf dimungkinkan tahu sumber taklif, c)
Mukallaf berpeluang memilih untuk mengerjakan atau meninggalkan perbuatan
hukum. Masing-masing mengandung konsekuensi.
3. Macam-macam
perbuatan hukum, dilihat dari dua segi: segi keberadaan material dan syara’
(terkait, menjadi sebab, terpenuhi dengan syarat rukun, efek hukum lain), dan
segi hak dalam perbuatan (hak Allah, hak hamba, kompromi dominan Allah,
kompromi dominan hamba).
4.
Penerapan perbuatan hukum pada mukallaf dalam
kehidupan sehari-hari akan bertemu kendala, yaitu tingkat kesulitan dan
kemampuan mukallaf bertindah hukum. Di samping itu, pengetahuan mukallaf juga
tidak menghalangi taklif, terkait berpeluangnya mukallaf untuk tahu tentang
perbuatan hukum itu dan darimana sumber taklifnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Zaini,
dkk., al-Qur’an
dan Terjemah Tafsirnya, (Yogyakarta : UII Press, 2008).
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media,
2005), Cetakan ke-1.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 2001),
Cetakan ke-3.
Khallaf, Abdul
Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemah, Judul Asli: ‘Ilmu uṣūl al-fiqhi, Penerjemah: Halimuddin, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2005), cetakan
ke-5.
Mu’allim, Amir, Materi Kuliah Ushul
Fiqh 2, Bahan Kuliah Ushul Fiqh 2, Prodi Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama
Islam, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2012.
[1]
Pembahasan yang lain adalah: (1)
sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’,
(2) mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zhahir dianggap
bertentangan, (3) pembahasan ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang
melakukan (mujtahid), (4) pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan
cara menggunakannya (dalam Nasrun Haroen, Ushul
Fiqh 1, Jakarta: Logos, 2001, cetakan ke-3, hlm. 4 – 5).
[3]
Prof. Dr. Amir Mu’allim, M.Si, Materi Kuliah Ushul Fiqh 2, Bahan Kuliah
Ushul Fiqh 2, Prodi Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 2012.
[4]
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemah, Judul Asli: ‘Ilmu uṣūl al-fiqhi, Penerjemah: Halimuddin, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2005), cetakan
ke-5, hlm. 154.
[5] Nasrun Haroen, Ibid, hlm. 292.
[6] Nasrun Haroen, Ibid, hlm. 292 – 295.
[7] Nasrun Haroen, Ibid, hlm. 295.
[8] Nasrun Haroen, Ibid, hlm. 295-302.
[9]
Syarat semacam ini dirasa kurang
operasional. Bagaimana mungkin seseorang akan mengetahui sesuatu itu secara
sempurna secara keilmuan, baru dibebani hukum atas perbuatannya? Pengertian
tentang sesuatu itu selalu akan bertambah seiring berjalannya waktu. Unsur
terpenting dari pembebanan hukum adalah seseorang (mukallaf) itu dianggap cakap
untuk bertindak hukum (Nasrun Haroen, 2001: 305). Hal ini berarti hukum
diberlakukan pada mukallaf atas perbuatannya itu, karena dimungkinkan seorang
mukallaf mampu memahaminya secara keilmuan, tanpa menunggu kesempurnaan dari
keilmuannya terlebih dahulu.
[10]
Yaitu segala yang menyangkut
kemaslahatan umum tanpa kecuali. Dalam hak ini seseorang tidak dibenarkan
melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. Hak
yang sifatnya semata-mata hak Allah swt ada delapan macam (Nasrun Haroen, Ibid, hlm. 303-304).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.