Ijtihad Alternatif
dan Legislasi Hukum Islam Indonesia
disusun oleh :
hamdani hakim
11421021
1. Pendahuluan
Ijtihad
merupakan bagian penting dari kajian ilmu Ushul
Fiqh. Ia bahkan menempati posisi sentral dalam pembahasan ilmu ushul fiqh, karena ijtihad dapat
dijadikan kata kunci, yaitu pada al-Qur`an dan as-Sunnah yang dipahami oleh
ulama (usaha memahami al-Qur`an dan as-Sunnah disebut ijtihad, dan produk
ijtihadnya disebut fiqh). Ijma’
adalah bagian dari teknik ijtihad. Ijtihad yang dilakukan oleh ulama secara
individual disebut fardhiyyat, sedang
yang kolektif disebut ijma’[1].
Kemandekan pemikiran fiqh
di dunia Islam selama ini adalah karena kekeliuran dalam menetapkan pilihan
dari pasangan-pasangan pilihan, atau sekurang-kurangnya kekeliuran dalam
menentukan bobot dari masing-masing pilihan. Pilihan-pilihan itu adalah pilihan
antara wahyu dan akal, pilihan antara kesatuan dan keragaman, pilihan antara
idealisme dan relisme, dan pilihan antara stabilitas dan perubahan. Fiqh telah
dipandang sebagai identik dengan hukum Islam dan wahyu, ketimbang sebagai
produk pemikiran manusia dan produk sejarah. Fiqh telah dipandang sebagai
ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal ketimbang sebagai ekspresi
keragaman yang partikular. Fiqh telah mewakili hukum dalam bentuk cita-cita
ketimbang sebagai respon atau refleksi kenyataan yang ada secara realis. Semua
itu mengakibatkan kemandekan pemikiran fiqh[2].
Upaya mereaktualisasikan
ajaran-ajaran Islam, harus membalikkan pilihan-pilihan itu. Kita harus
memandang fiqh sebagai produk dominan akal ketimbang wahyu, dan karenanya boleh
diutak-atik, diubah bahkan dibuang pada setiap saat untuk diganti dengan yang
baru. Fiqh harus dipandang sebagai variasi dari suatu keragaman yang bersifat
partikularistik yang terkait dengan tempat dan waktu. Fiqh harus dikembangkan
dari yurisprudensi pengadilan yang bertumpu pada realisme. Pendek kata fiqh
harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang tak henti-hentinya tanpa harus
dipersoalkan keabsahannya karena akhir fiqh itu hanya menyangkut soal cabang
dari agama[3].
Harus diakui bahwa terlalu
menumpukan segala aspek kehidupan pada fiqh klasik, ternyata mengakibatkan
kemandegan dan keterbelakangan umat Islam dibanding dengan perkembangan dunia
global. Ketika kehidupan modern banyak membutuhkan jawaban hukum kepada Islam,
maka hukum Islam khususnya fiq h, karena
hanya menumpukan pada produk fiqh klasik, akhirnya banyak tantangan kemodernan
tidak mampu dijawab oleh fiqh.
Lalu upaya ijtihad seperti
apa yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan modernitas tersebut? Apa syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk mewujudkannya? Adakah solusi alternatif metodologis
dalam pengupayaan ijtihad masa depan? Bagaimana pula upaya legislasi di lokal
Indonesia? Beberapa hal inilah yang akan dicoba diungkap dalam tulisan ini.
Tentu saja perlu pembatasan bahwa tulisan ini hanya sekedar sumbang pikiran
untuk melengkapi khazanah pikiran yang lain, terkait keterbatasan penggunaan
referensi yang digunakan.
2.
Pembahasan
Perumusan metodologi hukum
Islam yang sistematis dan komprehensif, hendaklah berpangkal tolak dari
perumusan metode pemahaman al-Qur`an terutama ayat-ayat hukum dengan pendekatan
historis kronologis, guna merekonstruksi ideal moral yang dituju al-Qur`an,
dengan bantuan Hadis sebagai bagian organisnya[4].
Akan tetapi alasan yang
lebih kuat adalah kepercayaan Umar yang tak tergoyahkan pada prinsip-prinsip
yang dipegangnya. Kasus Umar banyak memberi pelajaran betapa suatu hukum dapat
berubah secara formal menghadapi perubahan sosial, tetapi jiwa dan ideal moral
yang mendasari hukum formal itu tetap bertahan tidak berubah[5].
Selama 10 tahun pemerintahan Umar, sebagian besar ditandai dengan penaklukan
untuk melebarkan pengaruh Islam. Namun, dia terkenal sebagai mujtahid, termasuk
tujuh besar sahabat yang banyak memberi fatwa. Dia terdepan dalam membawa
panji-panji mazhab ra’yi. Ijtihadnya
dimulai ketika bersama Rasul maupun diikuti orang-orang sepeninggalnya.
Misalnya, putusan Umar menghapus Muallaf
sebagai mustahiq zakat[6].
Pendapat ini
mengarah pada dua tinjauan yang berbeda dan dampaknya ikut mempengaruhi
perkembangan pemikiran hukum Islam samapi kini. Pertama, konsensus sahabat masa Abu Bakar menggugurkan saham muallaf tersebut telah membatalkan
bagian muallaf yang dimaksud surat at-Taubah ayat 60. Pemikiran semacam ini
barangkali yang membawa adanya teori lokal dan temporal pada ayat-ayat
al-Qur`an. Kedua, pengguguran saham muallaf pada masa sahabat itu bukanlah
sama dengan pembatalan (nasikh),
tetapi yang sebenarnya adalah penghentian hukum disebabkan berhenti (tidak
terpenuhi) illat-nya. Pendekatan
kedua ini membuka teori adanya sifat-sifat situasional dan kondisional terhadap
pehamanan ayat al-Qur`an[7]. Oleh
karenanya, dibutuhkan teoritisasi Hukum Islam yang sistematis dan komprehensif.
a. Metodologi hukum Islam sistematis
komprehensif
Setiap masalah
menurut pandangan Islam tentu ada hukumnya. Hanya kebanyakan masalah terutama mu`ammalah tidak ditetapkan secara rinci
hukumnya. Hal ini bukan karena kealpaan atau kelengahan dari syari’ (law maker), sebab masalah ini akan terus berkembang dengan cepat
sesuai perkembangan zaman. Karena itu Islam hanya memberi pedoman pokok dan
prinsip, sedang pengaturannya diserahkan pada ulil amri[8].
Di sinilah perlunya upaya menemukan hukum untuk mengatur masyarakat Islam.
Upaya menemukan
metodologi hukum yang sistematis dan komprehensif terkait untuk menjawab
tantangan modernitas, ada tiga langkah yang diperlukan[9]:
1) Pendekatan
historis untuk menemukan makna teks al-Qur`an
2)
Pembedaan antara ketetapan legal, sasaran dan rujukan
al-Qur`an
3) Pemahaman
dan penetapan sasaran al-Qur`an dengan mempertimbangkan secara sepenuhnya latar
belakang sosiologisnya.
Pendekatan historis yang serius
dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks al-Qur`an. Aspek metafisis
ajaran al-Qur’an mungkin tidak menyediakan dirinya dengan mudah untuk dikenakan
terapi historis, tetapi bagian-bagian sosiologisnya pasti menyediakan dirinya
untuk dikenakan terapi historis tersebut. Pertama,
Al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan kronologisnya mengawali dalam
pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu paling awal akan memberikan suatu
persepsi yang cukup akurat mengenai dorongan dasar gerakan Islam, dibedakan
dengan yang belakangan. Kedua,
perbedaan antara ketetapan legal dengan tujuan dan sasaran al-Qur`an, karena
al-Qur`an biasanya menjelaskan alasan-alasan bagi pernyataan legal spesifiknya.
Ketiga, memahami dan memantapkan
sasaran tujuan al-Qur’an dengan memahami latar belakang sosiologisnya. Ini
untuk menghindari penafsiran subyektif, yang bermanfaat bagi penafsiran
al-Qur`an yang berhasil[10].
Di
samping pencarian metodologi yang sistematis komprehensif, juga diperlukan
syarat dalam mereaktualisasi hukum Islam, setidaknya: Pertama, adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang
tinggi dari masyarakat muslim; kedua,
adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang
tidak konvensional dari pasangan-pasangan pilihan; ketiga, memahami faktor sosio-kultural dan politik yang
melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat
memahami partikularisme dari produk pemikiran Hukum Islam. Dengan demikian, jika di tempat lain atau
pada waktu lain ditemukan unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk
pemikiran hukum itu dengan sendirinya harus diubah. Hukum Islam akan terus
terjaga dan dikembangkan[11].
b. Prosedur dan prinsip ijtihad
Metodologi
yang dikemukakan sebelum ini, memperlihatkan prosedur pendekatan berfokus pada
penafsiran, pemahaman, aspek hukum atau ajaran-ajaran sosial al-Qur`an.
Kandungan syari’ah hendaknya menjadi sasaran pemeriksaan yang segar dalam
sinaran bukti al-Qur`an. Aspek metafisik al-Qur`an yang menjadi esensi
pendekatannya, penekanan tegas perbedaan antara sasaran-sasaran dan tujuan
al-Qur`an (ideal moral) dari ketentuan legal spesifik. Selain itu, pertimbangan
konteks kekinian hendaklah menjadi perhatian pula[12].
Perlu
diteliti kembali tentang arti dan cakupan prinsip maslahat (kepentingan umum) serta upaya dalam memberikan
konseptualisasi kontemporer terhadap prinsip tersebut. Kemudian dirumuskan
kembali metodologi untuk memperoleh prinsip-prinsip hukum Islam dari al-Qur`an
dan as-Sunnah. Metodologi dimaksud terdiri dari dua pemikiran yuristik; Pertama, dari yang khusus (partikular)
kepada yang umum (general), dan Kedua,
dari yang umum kepada yang khusus[13].
Al-Qur`an juga menyebutkan alasan bagi suatu pernyataan yang berisi prinsip
moral atau legal. Pemahaman alasan sangat penting bagi pemahaman terhadap
pernyataan legal atau kuasi legal. Alasan ini adalah hikmah yang merupakan
esensi ajaran al-Qur`an. Tujuan dan prinsip al-Qur`an dipadukan teori
sosio-moral yang padu dan komprehensif baik dalam al-Qur`an dan as-Sunnah.
Gerakan
ganda ini (umum ke khusus dan khusus ke umum) lebih tertuju pada penafsiran
hukum atau ajaran sosial al-Qur`an. Proses penafsiran yang diajukan dari
gerakan ganda, yaitu dari situasi sekarang ke masa al-Qur`an diturunkan dan
kembali lagi ke masa kini. Gerakan ganda inilah prosedur ijtihad, berdasarkan
asimilasi, elaborasi sistematis pandangan seorang yuris Maliki bernama
asy-Syathibi.
c. Rekonstruksi metodologi modern
Untuk hal ini, yang utama adalah
memformulasikan tentang pandangan al-Qur`an terhadap dunia, menyangkut Tuhan,
hubungan Tuhan manusia dan alam, peran-Nya dalam sejarah manusia dan
masyarakat. Ujungnya akan terbentuk etika al-Qur`an. Selanjutnya merumuskan
hukum selaras dengan kebutuhan kontemporer. Perlu ditekankan lagi, pandangan
dunia al-Qur`an terkait secara organis dengan etika al-Qur`an dan formulasi
hukum. Karena, hanya dengan menjernihkan pengertian terhadap pandangan dunia
al-Qur`an , barulah etika al-Qur`an sebagai sumber formulasi hukum Islam
kontemporer dapat dibangun. Etika al-Qur`an memiliki basis nyata dalam
pandangan dunia. Lebih jauh, bagian metafisis al-Qur`an ini merupakan latar belakang
elaborasi, yang kohern atas pesan al-Qur`an di bidang moral, sosial dan legal[14].
Selanjutnya
adalah proses penubuhan dengan mewujudkan maslahat
(kepentingan umum) yang terkait secara organis dengan prinsip-prinsip yang
telah dirumuskan dalam etika al-Qur`an serta tidak lepas mengambang secara
bebas dari nilai-nilai religius[15].
Indonesia bisa saja memiliki fiqh ala Indonesia. Jadi ijtihad merupakan kata
kunci menyelesaikan problem-problem yang dihadapi umat Islam, terutama era kini
dan akan datang. Adanya kompleksitas ilmu dan sudut pandang dari permasalahan
tertentu, menghendaki ijtihad dilakukan tidak hanya oleh satu ulama dengan
spesialisasi tertentu, tetapi dilakukan secara jama’i (kolektif).
Metode
ijtihad alternatifnya yaitu metode ijtihad responsif, dengan penjabaran[16]:
1) Mengidentifikasi
dan memahami problem kontemporer yang perlu solusi dari aspek hukum Islam;
2) Mencari dan
memahami teks yang berkaitan dengan problem yang dihadapi;
3) Membaca filosofi
teks untuk menemukan substansi pesan teks;
4) Melihat maqasid
Syari’ah. Teori maqashid asy-syari’ah
al-maslahah bertitik tolak dari kelima pokok kemaslahatan, yaitu: (a)
memelihara agama, (b) memelihara jiwa, (c) memelihara akal, (d) memelihara
keturunan dan (e) memelihara harta[17].
Mengetahui urutan peringkat maslahat menjadi penting, juga dalam hal dharuriyyat, hajjiyyat dan tahsiniyyat-nya. Terutama dikaitkan
dengan skala prioritas[18];
5) Memahami
realitas sosial termasuk sejarah sosial dan pendapat ulama/pakar;
6) Meresponsifkan
substansi pesan teks, pemahaman maqashid
syari’ah, pendapat ulama/pakar, realitas sosial, dan problem kontemporer yang
perlu dicarikan solusinya;
7) Menemukan solusi
dan menetapkan solusi yang dianggap benar sebagai jawaban terhadap problem
kontemporer yang dihadapi masyarakat.
d. Legislasi hukum Islam kontemporer Indonesia
Karakteristik
hukum adat Indonesia adalah faktor etika (moral)nya, yang dalam KUHP warisan
Barat hanya dianggap sepele sehingga memberi nuansa tidak adil. Ketidakadilan
dalam hukum akan memicu untuk berbuat
dan main hakim sendiri.
Ijtihad
merupakan persentuhan antara ajaran Islam dan tuntutan realitas kehidupan. Kita
mewarisi fiqh Islam klasik, yang diciptakan dengan kondisi dan realitas sosial
tersendiri. Kita juga dihadapkan pada konteks historis dan realitas tersendiri,
yang berbeda dengan konteks fiqh klasik itu. Maka perlu disusun metodologi dan
langkah ijtihad untuk memperoleh teoritisasi hukum Islam Indonesia.
Upaya
pembumian pesan-pesan ajaran al-Qur’an dalam situasi kekinian, harus
memperhatikan empat komponen pokok[19]:
1) Konteks
sastra al-Qur’an, dimana terma tertentu muncul atau digunakan di dalam
al-Qur’an, mencakup ayat yang terdapat sebelum maupun sesudah term itu, rujukan
silangnya pada konteks relevan pada surat lain;
2) Perkembangan
term yang dikandungnya dalam bentangan kronologi al-Qur`an;
3) Konteks
kesejarahan global, historical background
Arabia masa pewahyuan dan asbab an-nuzul;
4) Konteks
sosio-historis kontemporer yang merupakan lahan penubuhan al-Qur`an (menetapkan
term tertentu sebagai obyek kajian; mengkaji term secara terpadu komprehensif
dalam konteks sastra, historis unit wahyu, bentangan kronologis wahyu; dan pemahamannya,
kemudian diproyeksikan ke dalam konteks sosio-historis konkrit dewasa ini).
Menghadapi
bahan yang akan digunakan dalam pembentukan Hukum Nasional, sering terjadi
pertentangan antar bahan hukum. Umumnya hanya karena beda rumusan dan isi norma
konkrit suatu masalah. Padahal kebutuhannya tetap sama, yaitu kepastian hukum.
Perlu penelitian dan pengkajian intensif atas asas, prinsip, dasar norma
konkrit, kemudian membandingkannya dengan asas, prinsip, dasar norma hukum
Islam. Mungkin diketemukan sama, sehingga tidak ada pertentangan. Bila cara ini
ditempuh, akan lebih besar kemungkinan unsur dari hukum Islam diangkat menjadi
Hukum Nasional yang dapat diterima oleh semua pihak. Pijakannya adalah prinsip
yang mendasari hukum, bukan norma masing-masing. Selanjutnya menjadi Hukum
Nasional. Inilah cara yang memungkinkan unsur hukum tertentu diterima semua
pihak sebagai Hukum Nasional.
Mujtahid
masa depan tidak cukup menguasai bahasa dan metodologi baca kitab, tetapi juga
menguasai metodologi ilmiah dengan kemampuan analisis empiris dalam kemampuan
analisis empiris teoritisasi idealitas Hukum Islam. Pengukuhan hukum Islam atas
realitas memberikan keyakinan bahwa hukum Islam memiliki sifat keluwesan yang
memungkinkan untuk diterapkan di segala tempat dan zaman, hingga akan dapat
dirasakan benar-benar bahwa agama Islam diturunkan Allah menjadi rahmat bagi
sekalian alam. Dengan demikian, dapat diyakini hukum Islam yang bersifat
universal benar-benar mengantar umat manusia mencapai kesejahteraan jasmani dan
ruhani, di dunia kini dan di akhirat nanti[20].
Demikianlah,
upaya ijtihad alternatif dan upaya nasionalisasi hukum Islam yang sudah
dijelaskan, bisa mengantar dan menjadi pedoman masyarakat muslim Indonesia
untuk melaksanakan keberagamaan mereka di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Eklektisitas ajaran Islam yang bisa menyesuaikan dengan realitas ala Indonesia
inilah yang harus terus digalakkan, sehingga Islam mampu menunjukkan fungsinya
sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Akhirnya tujuan baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur akan lebih berpeluang dapat dicapai. Wallahu a’lam.
3. Kesimpulan
Upaya ijtihad yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan
modernitas dilakukan melalui tiga langkah: melakukan pendekatan
historis untuk menemukan makna teks al-Qur`an; membedakan antara ketetapan
legal, sasaran dan rujukan al-Qur`an; serta memahami dan menetapkan sasaran
al-Qur`an dengan mempertimbangkan secara sepenuhnya latar belakang
sosiologisnya.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkannya: Pertama, adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang
tinggi dari masyarakat muslim; kedua,
adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang
tidak konvensional dari pasangan-pasangan pilihan; ketiga, memahami faktor sosio-kultural dan politik yang
melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat
memahami partikularisme dari produk pemikiran Hukum Islam.
Solusi alternatif metodologis dalam pengupayaan ijtihad
masa depan ialah memeriksa isi kandungan syari’ah, aspek metafisik sebagai esensi
pendekatan, penekanan tegas perbedaan antara sasaran-sasaran dan tujuan
al-Qur`an (ideal moral) dari ketentuan legal spesifik. Selain itu, pertimbangan
konteks kekinian, bertumpu pada arti dan cakupan prinsip maslahat (kepentingan umum) serta upaya dalam memberikan
konseptualisasi kontemporer terhadap prinsip tersebut. Kemudian dirumuskan
kembali metodologi untuk memperoleh prinsip-prinsip hukum Islam dari al-Qur`an
dan as-Sunnah, dengan dua pemikiran yuristik (dari yang partikular ke general,
dan dari yang umum kepada yang khusus.
Upaya legislasi hukum
Islam di lokal Indonesia dilakukan dengan meneliti asas, prinsip, dasar norma
konkrit adat, kemudian membandingkannya dengan asas, prinsip, dasar norma hukum
Islam. Mungkin diketemukan sama, sehingga tidak ada pertentangan. Bila cara ini
ditempuh, akan lebih besar kemungkinan unsur dari hukum Islam diangkat menjadi
Hukum Nasional yang dapat diterima oleh semua pihak.
Daftar Bacaan:
Khalaf, ‘Abdul Wahab, ‘Ilmu
Ushul al-Fiqh, (Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indonesia li ad-da’wah
al-Islamiyah, 1392 H/1972 M), cet. Ke-9.
Mu’alim, Amir dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press,
2004).
Mu’allim, Amir, Metode
Ijtihad Hukum Islam di Indonesia: Upaya Mempertemukan Pesan-pesan Teks dengan
Realitas Sosial, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Bidang Ilmu
Fiqh, Sidang Senat Terbuka UII, 17 Juni 2006.
Mubarok, Jaih, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002).
Mudzhar, Atho, Membaca
Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1998).
Nurudin, Amiur, Ijtihad ‘Umar bin al-Khaththab. Studi
Tentang Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987).
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar
Hukum Syari’ah, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987).
[1] Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad
Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2002), hlm. 7-8.
[2] Atho Mudzhar, Membaca Gelombang
Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press,
1998), hlm. 95-101.
[3] Atho Mudzhar, Ibid, hlm. 101-102.
[4]
Amir Mu’alim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press,
2004), hlm. 117.
[5] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid,
hlm. 119.
[6] Amiur Nurudin, Ijtihad ‘Umar bin
al-Khaththab. Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 1987), hlm. 136-142.
[12] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid,
hlm. 121.
[13] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid,
hlm. 122.
[16] Amir Mu’allim, Metode Ijtihad Hukum
Islam di Indonesia: Upaya Mempertemukan Pesan-pesan Teks dengan Realitas Sosial,
Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Fiqh, Sidang Senat
Terbuka UII, 17 Juni 2006, hlm. 18-23.
[17] ‘Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul
al-Fiqh, (Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indonesia li ad-da’wah
al-Islamiyah, 1392 H/1972 M), cet. Ke-9, hlm. 200-201.
[19] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid,
hlm. 150-151.
[20] Amir Mu’alim dan Yusdani, Ibid,
hlm. 155.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.