Pemerintahan Daerah : Desentralisasi dan Dekonsentrasi
Dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, kita mengenal adanya
pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah.Pemerintahan baik di pusat maupun
di daerah memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya
masing-masing.Terkhusus pada sistem pemerintahan di daerah, ada banyak
keistimewaan yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Pemerintahan daerah tidak
terlepas dari apa yang disebut sebagai otonomi daerah. Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urrusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.Lalu, apakah yang dimaksud dengan daerah otonom?
Di dalam Pasal 1 ayat 6 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
daerah otonom(daerah) adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian,,
maka pemerintahan daerah adalah pemerintahan yang mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, yang diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Di dalam pelaksanaan otonomi daerah, di Indonesia kita
mengenal adanya desentralisasi dan dekonsentrasi.Desentralisasi dan
dekonsentrasi adalah keistimewaan yang ada dalam otonomi daerah.Desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.Sedangkan
dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu.
Untuk merinci perbedaaan diantara desentralisasi dan
dekonsentrasi, kita dapat melakukan komparasi terhadap undang-undang yang
mengatur mengenai hal itu.Pengaturannya ada dalam UU No.5 Tahun 1974, UU No. 22
Tahun 1999, dan UU No.22 Tahun 2004. Untuk itu mari kita bahas lebih lanjut.
Pemaknaan:
A.
Menurut
UU No. 5 Tahun 1974
1. Desentralisasi adalah penyerahan
urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi
urusan rumah tangganya.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal
tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah.
B.
Menurut
UU No. 22 Tahun 1999
1. Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dekonsentrasi adalah penyerahan
wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah atau
perangkat pusat di daerah.
C.
Menurut
UU No. 32 Tahun 2004
1. Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah
dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Terdapat
perbedaan, dimana ada kata “pelimpahan” dan “penyerahan”.Penyerahan yang
dimaksudkan adalah tindakan menyerahkan secara sepenuhnya segala urusan
pemerintahan di daerah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah itu
sendiri sebagai urusan rumah tangganya.adalah Pelimpahan adalah pemindahan
dalam hal hak atau kewenangan. Jadi, jelas perbedaannya bahwa penyerahan adalah
sepenuhnya menyerahkan, dimana pertanggungjawaban secara utuh menjadi milik pemerintah
daerah itu sendiri.Sementara dalam hal pelimpahan, segala urusan di wilayah itu
tetap menjadi tanggungjawab pemerintah pusat.Artinya dekonsentrasi hanyalah
dalam hal teknis dan pelaksanaan pemerintahan.Sementara desentralisasi adalah
bahwa suatu daerah itu menjadi sepenuhnya dibawah kekuasaan pemerintah
daerah.Dari semua definisi yang ada, secara garis besar ada dua definisi
tentang desentralisasi, yaitu definisi dari segi perspektif administratif dan
defenisi perspektif politik. Disini desentralisasi sesunggguhnya kata lain dari
dekosentrasi. Dekosentrasi adalah pengalihan beberapa kewenangan atas tanggung
jawab administrasi dalam suatu kementrian atau jawatan.Disini tidak ada
transfer kewenangan yang nyata, bawahan hanya menjalankan kewenangan atas nama
atasannya dan bertanggung jawab kepada atasannya.
Pemberlakuan Azas desentralisasi dan dekonsentrasi
A.
Menurut
UU No. 5 Tahun 1974
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai
kewajiban daripada hak. Desentralisasi dan Dekonsentrasi dilaksanakan
bersamaan dalam pemerintahan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan
kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28,
dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta
keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan
penyelidikan), dan kewajiban seperti:
a. mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan
PANCASILA dan UUD 1945;
b. menjunjung tinggi dan melaksanakan
secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. bersama-sama Kepala Daerah menyusun
Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk
kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah
atau untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang pelaksanaannya
ditugaskan kepada Daerah; dan
d. memperhatikan aspirasi dan memajukan
tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari
dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5
Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi
adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi
pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU
No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap
pemerintah pusat.
B.
Menurut
UU No. 22 Tahun 1999
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri. Prinsip yang menekankan
asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti
yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak
dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas,
nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.Di samping itu, otonomi daerah juga
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan
keanekaragaman daerah.
Beberapa hal yang sangat mendasar
dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999,
adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas
mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan
Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah
diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat,
yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam
Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Sistem otonomi yang dianut dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik
luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang-
bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh,
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Daerah otonom mempunyai kewenangan
dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan
aspirasi masyarakat.Sedang
yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi
daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah
administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi
kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
Kabupaten dan Kota sepenuhnya
menggunakan asas desentralisasi atau otonom.Dalam hubungan ini, kecamatan tidak
lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi
menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat
diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan
mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah
masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kewenangan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai
dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber
daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.Kewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi
harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan
tersebut.
C.
Menurut
UU No. 32 Tahun 2004
Dalam era reformasi, pemerintah
telah mengeluarkan dua kebijakan tentang otonomi daerah. Pertama adalah UU
No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kedua adalah UU No.32
tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. UU yang merupakan revisi atas UU
yang disebut pertama.
Dalam perkembangannya, kebijakan
otonomi daerah melalui UU No. 22 tahun 1999 dinilai, baik dari segi kebijakan
maupun segi implementasinya, terdapat sejumlah kelemahan Oleh karena itulah
kebijakan tersebut mengalami revisi yang akhirnya menghasilkan UU No.32 tahun
2004.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004, bahwa
asas desentralisasi dan dekonsentrasi bukan lagi menjadi asas penyelenggaraan
pemerintahan daerah, melainkan menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan oleh
pemerintah pusat. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
tidak akan kita lihat lagi pemerintahan propinsi dengan otonominya yang
terbatas dan daerah Kabupaten/Kota dengan otonomi penuh yang mengatur urusan
rumah tangganya hanya berdasarkan asas desentralisasi saja.
Dibawah payung UU No.32 Tahun 2004
Pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sesungguhnya
tidak lagi otonom sebagaimana layaknya dibawah UU No.22 Tahun 1999, melainkan
“otonomi terkontrol”. Ini terutama dikarenakan penyelenggaraan urusan
pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan
Pemerintah daerah propvinsi, Kabupaten dan Kota atau antar pemerintahan daerah
yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai suatu sistem
pemerintahan.
Pandangan kita terhadap kebijakan
otonomi daerah yang diambil para pengambil kebijakan di tingkat pusat yang
dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 bukanlah suatu sinisme, melainkan kita
memang melihat kebijakan otonomi daerah yang protektif dan juga sebagai reaksi
yang berlebihan atas otonomi daerah yang berlangsung di bawah UU No.22 tahun
1999.
D.
Pola Hubungan Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah
Daerah otonom
yang merupakan suatu daerah dengan kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah, berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Kewenangan ini tidak serta
merta ada dan diberikan pada daerah otonom, melainkan telah diatur sebelumnya
oleh UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU tersebut
disebutkan urusan-urusan pemerintah pusat dan daerah. Sebagai suatu kesatuan
masyarakat hukum, tentunya mereka akan menaati dan menjalankan Undang-undang.
Berbicara mengenai otonomi maka berbicara pula mengenai sejauh mana kemandirian
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
Tiap-tiap
daerah memiliki tingkat kemandirian yang berbeda-beda. Bagi daerah otonom yang
baru terbentuk, akan banyak sekali memerlukan campur tangan pemerintah pusat
untuk mengembangkan atau menghidupkan daerah itu. Kemandirian daerah otonom
sepenuhnya tidak seratus persen, dikarenakan ada beberapa urusan yang tidak
dapat diurus oleh daerah (baik daerah otonom yang lama terbentuk ataupun baru
terbentuk). Tidak dapat dipungkiri bahwa daerah pun masih memerlukan bantuan/
campur tangan pemerintah pusat, biasanya terkendala pada keuangan daerah yang
pendapatan asli daerahnya (PAD) rendah, hanya mengandalkan pajak saja dirasa
tidak akan cukup mandiri bagi suatu daerah. Campur tangan pemerintah pusat
terhadap daerah otonom merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan karena UU No.
32 tahun 2004 secara eksplisit mengikat kedua hal ini seperti dalam hal tugas
pembantuan, hubungan pengawasan, keuangan, kewenangan dsb. Jadi selain faktor
nyata bahwa daerah memerlukan bantuan pemerintah pusat, UU No. 32 tahun 2004
pun mengikat secara eksplisit kedua hal ini yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lain.
E.
Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di
Bidang Pengawasan
Pada dasarnya
kegiatan pengawasan ditujukan sebagai proses pemantauan terhadap pelaksanaan
kerja, pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan, dan pemantauan terhadap hasil
kerja bahkan dapat juga mendeteksi sejauhmana telah terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaan kerja tersebut. Selain itu fungsi pengawasan pun lebih ditujukan
untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas
tujuan yang akan dicapai. Dalam kaitannya dengan keuangan, pengawasan ditujukan
untuk menghindari terjadinya korupsi, penyelewengan, dan pemborosan anggaran.
Ditinjau dari
hubungan pusat dan daerah dalam kerangka otonomi, pengawasan merupakan
“pengikat” kesatuan agar kebebasan otonomi tidak bergerak jauh dengan kata lain
untuk kontrol kebebasan berotonomi. Bentuk pengawasan dapat berupa pengawasan
represif dan preventif. Pengawasan tersebut dalam kronologi perundang-undangan
ada yang secara tegas mengatur ada pula yang belum mengaturnya. Dalam UU
terdahulu yaitu UU No.1 tahun 1945 tidak (belum) mengatur pengawasan, baik
represif maupun preventif. UU No.22 Tahun 1948 menentukan wewenang pengawasan
represif ada pada presiden. UU No. 5 Tahun 1974 tidak mengatur dengan tegas
organ pemerintahan yang berwenang melakukan pengawasan represif.
Pengawasan
dalam bentuknya yang represif dan preventif tidak secara tegas dijelaskan dalam
UU No. 32 tahun 2004, hanya saja ditemukan/disebutkan dalam pasal 218
bahwasanya pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut
ketentuan pasal 218 UU No. 32 tahun 2004, dilaksanakan oleh Pemerintah yang
meliputi:
a.
Pengawasan atas pelaksanaan-urusan
pemerintahan di daerah;
b.
Pengawasan terhadap peraturan daerah
dan peraturan kepala daerah.
Untuk pengawasan penyelenggaraan pemerintahan secara
nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh
Bupati/Walikota. Bupati dan walikota dalam pembinaan dan pengawasan dapat
melimpahkan kepada camat.
F.
Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di
Bidang Keuangan
Di dalam
kerangka otonomi, kemampuan suatu daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri tidak terlepas dari pandangan bahwa daerah harus
sanggup/mampu untuk membiayai daerahnya sendiri. Kemampuan untuk
membiayai/mendanai daerah sendiri merupakan tantangan yang harus dihadapi suatu
daerah dalam penyelenggaraan otonomi. Dalam hal ini mendanai daerah sendiri
untuk anggaran pembelanjaan daerah, menunjukkan bahwa daerah harus mempunyai
sumber-sumber pendapatan sendiri. Sumber pendapatan daerah salah satunya dapat
diperoleh dari pajak atau retribusi, namun sebagaimana telah disinggung pada
bab sebelumnya, bahwa pajak atau retribusi saja dirasa tidak akan cukup mandiri
bagi suatu daerah. Sumber-sumber lain pun harus didapat dari suatu daerah
melalui pendapatan asli daerah (PAD) berupa perusahaan di daerah ataupun hasil
yang didapat dari pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki daerah. Dalam hal
suatu daerah dengan PAD rendah, tentunya akan sangat membutuhkan bantuan
pemerintah pusat. Hubungan ini memang tidak dapat dipisahkan, namun dengan
begitu tidak berarti daerah selalu ketergantungan dengan pemerintah pusat.
Sejauhmana bantuan akan mempengaruhi kemandirian daerah, tergantung pada pola
dan tujuan dari bantuan itu sendiri. Dalam hubungan ini, bantuan keuangan dari
pusat kepada daerah dapat digolongkan dalam tiga ketegori utama yaitu:
a. Bantuan bebas, maksudnya
bantuan dari pusat hanya ditentukan jumlahnya, untuk selebihnya daerah bebas
dalam hal peruntukan dan tata cara penggunaannya. Dalam kategori bantuan ini,
sama sekali tidak mempengaruhi kemandirian daerah, namun kelemahannya, tidak
ada arahan dalam penggunaan dana bantuan, sehingga terbuka lebar kemungkinan
penyalahgunaan dana.
b. Bantuan dengan
pembatasan tertentu, maksudnya bantuan ditentukan peruntukannya secara umum
oleh Pusat, untuk kemudian peruntukan secara khusus dan tata cara
pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya pada daerah. Dalam kategori bantuan ini,
kebebasan suatu daerah sedikit dibatasi, namun dengan begitu segi positifnya
pun dapat diterima karena peruntukan secara umum telah ditentukan oleh pusat
sebagai arahan agar bantuan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu secara efektif
dan efisien guna menjamin kegiatan daerah berjalan seirama dengan kebijaksanaan
umum pemerintah pusat.
c. Bantuan terikat, maksudnya
bantuan telah ditentukan secara rinci peruntukan dan tata cara pemanfaatannya,
sehingga dalam ketegori bantuan ini, tertutup kemungkinan kebebasan bagi
daerah.Disamping bantuan pemerintah pusat terhadap daerah, hubungan keuangan
pusat dan daerah pun pada hakikatnya mencakup pembagian sumber pembiayaan
antara pemerintah pusat dengan daerah. Berdasarkan asas desentralisasi semua
urusan pemerintahan daerah dibiayai dari APBD, subsidi, bagi hasil dari pusat,
berdasarkan asas dekonsentrasi dibiayai dari APBN dan berdasarkan asas tugas
pembantuan dibiayai oleh pihak yang menugaskannya (APBN). Pasal 15 ayat (1) UU.
No. 32 Tahun 2004, menyebutkan bahwa Hubungan dalam
bidang keuangan antara Pemerintah dan
pemerintahan daerah meliputi:
·
Pemberian sumber-sumber keuangan
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
·
Pengalokasian dana perimbangan kepada
pemerintahan daerah; dan
·
Pemberian pinjaman dan/atau hibah
kepada pemerintahan daerah.
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan
terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti
dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan
mengacu kepada Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya disesuaikan dan
diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah. Daerah
diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa :
kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah
yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi
daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional
yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola
kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta
sumber-sumber pembiayaan.
G.
Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di
Bidang Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Berdasarkan
ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa hubungan
dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara Pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
meliputi:
a.
Kewenangan, tanggung jawab,
pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan
pelestarian;
b. Bagi hasil atas
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
c. Penyerasian
lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Dari yang telah disebutkan diatas, nampak jelas bahwa
daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam, dalam hal kewenangan, tanggung
jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan
pelestarian melibatkan pula pemerintah pusat. Dan juga daerah mendapatkan Bagi
hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya bersama dengan
pemerintah pusat karena kedua pemerintah ini ikut andil dalam bidang
pemanfaatan sumber daya alam. Pemanfaatan sumber daya alam dapat diambil,
contoh: pada Provinsi Bengkulu yang memiliki kekayaan SDA berupa Timah, hasil
pemanfaatan timah ini akan juga menjadi pendapatan bagi daerah (Provinsi
Bengkulu). Penulis mengkritisi kegagalan pemerintah pusat dalam hal pelestarian
hutan di Kalimantan yang sudah parah sekali, dan sama sekali pemerintah pusat
tidak berperan mengatasinya. Dalam hal ini menurut penulis tidak ada pola
hubungan pusat dan daerah bidang pemanfaatan SDA bilamana pelestarian SDA saja
tidak dilakukan pemerintah pusat.
H.
Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di
Bidang Pelayanan Umum
Bidang
pelayanan umum menjadikan sorotan yang cukup penting dalam kajian otonomi.
Daerah otonom dengan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan rumah
tangganya, terkadang masih ditemukan bahwa pelayanan umum dalam daerah tertentu
tidak memenuhi standar minimal pelayanan. Hal ini entah dikarenakan daerah yang
tidak perduli ataukah tidak mampu (keterbatasan kemampuan) dalam menyediakan
pelayanan umum yang maksimal. Bila diambil contoh yaitu dalam penyediaan
pelayanan umum berupa rumah sakit, dimana terdapat fasilitas rumah sakit yang
berbeda-beda, ada rumah sakit dengan fasilitas minim (dibawah standar), adapula
yang lengkap. Selain bidang kesehatan, pelayanan umum bidang transportasi juga
perlu diperhatikan seperti penyediaan halte, penyediaan akses jalan alternative
agar memudahkan seseorang menuju daerah itu. Seharusnya pemerintah pusat
memperhatikan hal-hal ini dan memfasilitasi serta turut mendanai
penyelenggaraan pelayanan umum di daerah-daerah yang memerlukan penyediaan
pelayanan umum agar lebih maksimal, efektif, dan menjamin kenyamanan masyarakat
yang menikmatinya. Hubungan pemerintah pusat dan daerah di bidang pelayanan
umum telah diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 16 ayat (1) yaitu
meliputi:
a.
Kewenangan, tanggung jawab, dan
penentuan standar pelayanan minimal;
b.
Pengalokasian pendanaan pelayanan umum
yang menjadi kewenangan daerah
c.
Fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar
pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum.
d.
I.
Pola Hubungan Legislatif dan Eksekutif di
Daerah
1. Dalam Hal Pemilihan Kepala Daerah
Perubahan mendasar dalam semangat dan
sistem ketatanegaraan kita terkait dengan cara dan sistem pemilihan kepala
daerah kemudian ditindaklanjuti tingkat regulasi yang lebih rendah. Pasca
reformasi undang-undang yang mengatur mengenai otonomi daerah khususnya
berkenaan dengan pemilihan kepala daerah yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 yang kemudian diganti oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, kepala daerah dipilih oleh DPRD sedangkan menurut Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2004 kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Apabila dicermati secara seksama terdapat dua problematika yang saling
berhimpitan yakni terkait dengan aspek kapasitas dan akseptabilitas dari kepala
daerah dari hasil pemilihan. Dalam berbagai dokumen ditegaskan bahwa pengaturan
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pemilihan kepala daerah secara
langsung pada dasarnya dimaksudkan untuk menyelesaikan problematika tersebut.
Sebab kepala daerah hasil pemilihan oleh DPRD seringkali memiliki masalah dalam
kaitan akseptabilitas. Terkesan ada jarak yang antara kepala daerah dengan
masyarakat karena faktor cara memilihnya. Timbul stigma bahwa kepala daerah
hanya mengurus anggota DPRD dan agak mengesampingkan masyarakat. Dalam
perjalanan sistem pemerintahan daerah terkini, dapat diidentifikasi bahwa apa
yang dirancang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup.
Problematika seputar pemilihan kepala daerah tidak hanya terkait dengan masalah
akseptabilitas dan kapabilitas. Masih ada problematika-problematika lain yang
sifatnya lebih kompleks karena menyangkut sistem dari pemerintahan daerah itu
sendiri. Problematika tersebut adalah, pertama, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 memiliki kekurangan mendasar dalam daerah menempatkan
otonom provinsi dengan daerah otonom kabupaten/kota yang pada akhirnya akan
berujung pada bagaimana mengkonstruksikan posisi gubernur dan cara memilihnya.
Untuk mencermati problematika ini kita perlu menelaah pengaturan dalam Pasal 37
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa :
a.
Gubernur yang karena jabatannya
berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang
bersangkutan.
- Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden.
Pengaturan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 sebagaimana tersebut di atas secara jelas menyatakan bahwa dengan
menempatkan gubernur sebagai wakil Pemerintah di provinsi maka secara otomatis
posisi provinsi juga bukan hanya berstatus sebagai daerah otonom saja tetapi
juga merupakan wilayah kerja gubernur sebagai wakil pemerintah.
Dari uraian tersebut dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa tentunya harus ada perbedaan cara pemilihan antara
gubernur dengan bupati/walikotaterkait tingkat elektorasi masing-masing. Dari
perspektif lokal dan teoritis, wajarapabila bupati/walikota dipilih secara
langsung mengingat karakteristikkabupaten/kota sebagai Unit Dasar yang
merupakan jenjang pemerintahanyang paling dekat dengan masyarakat. Kedekatan
ini, pada gilirannya, akanmenjadikan pemerintahan daerah tersebut diharapkan
untuk paling akuntabel,paling responsif, paling efisien dan paling efektif
dalam memberikan pelayanankepada masyarakat, melaksanakan pembangunan daerah,
dan menjaminkesinambungan efektivitas pemerintahan nasional. Adapun gubernur
perludipilih dengan metode yang berbeda dengan bupati/walikota selain
karenamemang tingkat elektorasi yang berbeda, juga secara substansi karena
posisiprovinsi sebagai unit antara sebagaimana diulas pada bagian sebelumnya.
Problematika kedua dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah terkait dengan diskursus posisi wakil
kepala daerah. Selain terkait dengan mengenai mekanisme pemilihan kepala
daerah, ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 ini juga membawa sebuah
diskursus baru mengenai posisi wakil kepala daerah, apakah merupakan posisi political
appointee yang merupakan satu paket dengan kepala daerah atau jabatan administrativeappointee
sebagai jabatan karir. Secara eksplisit bunyi pengaturan dalam Pasal 18
ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa yang dipilih secara demokratis adalah
gubernur, bupati, dan walikota. Dalam kaitan ini muncul diskusi menarik, apakah
jabatan gubernur, bupati, dan walikota itu adalah satu jabatan tunggal atau
satu paket meliputi dengan wakilnya. Apabila kita gunakan pendekatan
formalistik pada apa yang tertulis dalam Pasal 18 (ayat) 4 UUD 1945, jelas ayat
dimaksud memberi pesan bahwa konstitusi hanya mengamanatkan pemilihan kepala
daerah saja tanpa menyebut jabatan wakil kepala daerah. Ini artinya Gubernur,
Bupati dan Walikota adalah nama jabatan tunggal untuk kepala daerah baik untuk
tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
UUD 1945 pada dasarnya bersifat litterlijk
sehingga apa yang tertulis itulah yang merupakan norma. Penafsiran ini
sesuai dengan kenyataan bahwa UUD 1945 selalu menyatakan secara eksplisit
posisi jabatan-jabatan yang ada dalam pemerintahan. Sebagai contoh jabatan
Wakil Presiden itu dinyatakan secara tegas, kemudian Menteri , Duta Besar , dan
lainnya. Dengan demikian, pembentuk undang-undang memiliki keleluasaan untuk
mengatur jabatan wakil kepala daerah. Artinya, bisa saja Gubernur, Bupati dan
Walikota dipilih dan memegang jabatan tanpa didampingi wakil, atau pengaturan
mengenai pemilihan wakil kepala daerah dalam undang-undang dapat saja dilakukan
berbeda dengan mekanisme pemilihan kepala daerah. Tidak tepat apabila diskursus
mengenai posisi wakil kepala daerah ini hanya berkutat pada penafsiran
pengaturan tertulis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Tentunya selain karena
alasan yang lebih mengarah pada pendekatan semantik, juga terdapat alasan lain
yang lebih filosofis untuk melakukan reposisi terhadap wakil kepala daerah.
Sebelumnya telah diulas bahwa dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan
daerah, posisi provinsi merupakan sebuah unit antara pemerintahan sebagai
wilayah kerja Gubernur selaku wakil Pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa gubernur merupakan alter ego Presiden yang ada di daerah tanpa ada
lagi pembagian kewenangan kepada subyek lain. Ini selaras dengan pengalaman di
beberapa negara yang memiliki unit antara dalam susunan dan bentuk pemerintahan
daerah, tidak dikenal lagi posisi wakil wakilnya Pemerintah . Gubernur, sebagai
wakil Pemerintah, dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat guna
melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Dengan demikian pendekatan ini dapat
menjadi bahan pemikiran mengenai posisi Wakil Gubernur sebagai administrative
appointee karena merupakan salah satu unit dari perangkat gubernur dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya.
A.
Menurut
UU No. 5 Tahun 1974
Dalam
menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pemerintah daerah, Kepala Daerah
menurut hirarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pemerintah daerah, Kepala Daerah
berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang
perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam diri Kepala Daerah terdapat dua fungsi, yaitu fungsi
sebagai Kepala Daerah Otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggung
jawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah dan fungsi sebagai Kepala
Wilayah yang memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi
tugas Pemerintah Pusat di daerah.
Sejalan dengan konstruksi yang demikian, maka undang-undang
ini menetapkan bahwa Kepala daerah menurut hirarki bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.Hal ini adalag sesuai dengan kedudukan
Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan
diseluruh wilayah negara. Dan ditinjau dari segi prinsip-prinsip organisasi dan
ketatalaksanaan, adalah tepat sekali jika Kepala Daerah hanya mengenal satu
garis pertanggungjawaban, oleh karena itu Kepala Daerah tidak bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun demikian, Kepala Daerah
berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah tentang pelaksanaan pemerintahan daerah yang dipimpinnya, agar
supaya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai salah satu unsur pemerintah
daerah dapat selalu mengikuti dan mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Dalam
memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut Kepala Daerah perlu
memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang, dimana dalam hal ini
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat memberikan tanggapannya sesuai dengan
hak-hak nya sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1974. Kepala
Daerah menurut hirarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri.Istilah “melalui” disini bukanlah berarti abhwa Menteri Dalam Negeri
hanya meneruskan bahan-bahan pertanggungjawaban Kepala Daerah, mengambil
tindakan-tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan wewenangnya dan melaporkan
kepada Presiden mengenai hal-hal yang prinsipil dan penting.
B.
Menurut UU No. 22 Tahun 1999
Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala
Daerah, Gubernur (kepala daerah Provinsi) bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi.Dalam kedudukan sebagai wakil
Pemerintah, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan atas penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada
Gubernur bagi Kepala Daerah Kabupaten dan Kepala Daerah Kota,
sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun, atau jika dipandang perlu oleh
Kepala Daerah atau apabila diminta oleh Presiden. Kepala Daerah wajib
menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD pada tiap akhir tahun
anggaran.Kepala Daerah wajib memberikan pertanggungjawaban kepada DPRD untuk
hal tertentu atas permintaan DPRD, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 44
ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999.
C.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004
Kepala daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 mempunyai
kewajiban sebagaimana yang diatur dalam ayat 1 Pasal 27.Kepala daerah mempunyai
kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada
DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
masyarakat.
Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
Pemerintah sebagaimana yang dimaksud di atas, disampaikan kepada Presiden
melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1(satu) kali dalam 1(satu) tahun.
2. Dalam Hal Pemberhentian Kepala
Daerah.
A. Menurut UU No. 5 Tahun 1974
Kepala Daerah berhenti atau
dibernentikan oleh pejabat yang berhak mengangkat, karena :
a. meninggal dunia
- atas permintaan sendiri
- berakhir masa jabatannya dan telah dilantik Kepala Daerah yang baru
- melanggar sumpah/janji yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) undang-undang ini;
- melanggar ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 20 Undang-Undang ini.
- Melakukan hal-hal yang dilarang, yaitu :
1. dengan sengaja melakukan
kegiatan-kegiatan yang merugikan kepentingan Negara, Pemerintah, dan atau
Rakyat.
2. turut serta dalam suatu perusahaan
3. melakukan pekerjaan-pekerjaan lain
yang memberikan keuntungan baginya dalam hal-hal yang berhubungan langsung
dengan daerah yang bersangkutan
4. menjadi advokat atau kuasa dalam
perkara di muka pengadilan.
Pengangkatan
Kepala Daerah dilakukan oleh:
a.
Presiden
bagi Kepala Daerah Tingkat I
b.
Menteri
Dalam Negeri bagi Kepala Daerah Tingkat II
Maka,
dengan demikian pejabat yang berhak mengangkat seperti yang dimaksudkan di atas
adalah Presiden dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan kewenangannya.
B. Menurut UU No. 22 Tahun 1999
Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan, karena :
- Meninggal dunia
- Mengajukan berhenti atas permintaan sendiri
- Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru
- Tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 UU No. 22 Tahun 1999, yakni :
·
bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
·
setia
dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah yang sah;
·
tidak
pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Negara KesatuanRepublik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-UndangDasar 1945 yang
dinyatakan dengan surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri;
·
berpendidikan
sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan/atau sederajat;
·
berumur
sekurang-kurangnya tiga puluh tahun;
·
sehat
jasmani dan rohani;
·
nyata-nyata
tidak terganggu jiwa/ingatannya
·
tidak
pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana;
·
tidak
sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri;
·
mengenal
daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
·
menyerahkan
daftar kekayaan pribadi; dan
·
bersedia
dicalonkan menjadi Kepala Daerah.
·
Melanggar
sumpah/janji sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) UU No. 22 tahun
1999
·
Melanggar
ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 48 UU No. 22 Tahun 1999.
Ketentuan tersebut adalah:
ü turut serta dalam suatu perusahaan,
baik milik swasta maupun milik Negara/Daerah, atau dalam yayasan bidang apa pun
juga;
ü membuat keputusan yang secara khusus
memberikan keuntungan bagi dirinya, anggota keluarganya, kroninya, golongan
tertentu, atau kelompok politiknya yang secara nyata merugikan kepentingan umum
atau mendiskriminasi-kan warga negara dan golongan masyarakat lain;
ü melakukan pekerjaan lain yang
memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
yang berhubungan dengan Daerah yang bersangkutan;
ü menerima uang, barang, dan/atau jasa
dari pihak lain yang patut dapat diduga akan mempengaruhi keputusan atau
tindakan yang akan dilakukannya; dan
ü menjadi advokat atau kuasa hukum
dalam suatu perkara di pengadilan, selain dalam tugasnya mewakili daerahnya di
dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa untuk mewakilinya.
ü Mengalami kriisis kepercayaan publik
yang luas akibat kasus yang luas, kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, dan keterangannya
atas kasus itu ditolak
oleh DPRD.
- Pemberhentian Kepala daerah karena alasan-alasan tersebut di atas ditetapkan dengan keputusan DPRD dan disahkan oleh Presiden.
- Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui keputusan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih, atau diancam dengan hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
ü kejahatan yang diancam
hukuman 5 tahun atau lebih dalam KUHP.
Kepala Daerah yang diduga melakukan
makar dan/atau perbuatan lain yang dapat
memecah belah NKRI diberhentikan untuk sementara dari jabatannya oleh Presiden
tanpa melalui Keputusan DPRD.
Kepala Daerah yang terbukti
melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah NKRI yang dinyatakan
dengan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden, tanpa persetujuan DPRD.
Kepala Daerah yang setelah melalui
proses peradilan ternyata tidak terbukti melakukan makar dan perbuatan yang
dapat memecah belah NKRI, diaktifkan kembali dan direhabilitasi selaku Kepala
Daerah sampai akhir masa jabatannya
Dalam Pasal 29 ayat (1), Kepala Daerah dan/atau Wakilnya
berhenti, karena :
- meninggal dunia
- permintaan sendiri
- diberhentikan
- Sementara menurut Pasal 29 ayat (2), kepala daerah dan/atau wakilnya diberhentikan, karena :
- berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru
- tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan
- tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
- dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan
- tidak melaksanakan kewajiban
- melanggar larangan yang ditetapkan
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.