RESUME
MATAKULIAH ILMU LOGIKA
“Nalar qiyas ushuli dan intervensi teologis terhadap cara kerja proses
ta’lili”
dan
“ Perangkat teoritik dan metode perumusan maqashid al-syari’ah al-syathibi”

Tahun ajaran 2012/2013
Dosen pengampuh :
Drs. H . Asmuni M.A
Disusun oleh :
Hamdani Hakim
11421021
PRODI HUKUM ISLAM ( SYARI’AH )
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

- Qiyas kaum teolog
Perbedaan
yang mendsar antara qiyas kaum ushuli dengan para ahli bahasa dengan qiyas ulam
kalam. Terletak pada ‘illah. Menurut ulama kalam’illah bersifatrasional
sehingga melahirkan al-‘ilm (pengetahuan yang pasti). Sedangkanillah menurut
kaum ushuli dan nuhat hanya bersifat zanni atau dugaan. Menurut al-qadhi abdu
al-jabar seorang pioneer kaum mu’tazilah mengatakan bahwa bentuk argumen paling
santer didiskusikan senginggah banyak menyimpang dari kebenaran . ada empat
macam istidlal bi al-syhid ‘ala ghaib yang mneyerupai dalam fiqih dan nahwu,
yaitu :
1. Al-istidlal
bi al-syahid ‘ala al-gaib karena kedua-duanya sama0sama mengandung hubungan
innduktif (dalalah masyarakat). Bentuk istidalal ini sama persis dengan qiyas
al-dalalah dalam fiqh.
Contohnya : dalam ilmu falaq istidlal bahwa allah itu maha kuasa.
Pada al-syahid terjadi suatu perbuatan , hal ini menjadi bukti bahwa orang yang
berbuat itu memiliki kekuasaan/kemampuan , maka ditetapkan suatu hokum allah
maha kuasa karena ada suati perbuatan yang dilakukan-NYA.
2. Al-istidlal
bi al-syhaid ‘ala al-ghaib karena keduanya mengandun ‘illah yang sama.metode
istidlal ini sama dengan qiyas al-‘illah dala foqoh dan nahwu.
Contohnya : dalamilmu kalam bahwa allah tidak boleh mnegerjakan
yang bururk, bahwa dia mengethaui bahawa perbuatan itu buruk. Pda al-syahid
jelas bahwa ‘illahnya adalah tidak satupun diantara manusia yang bersedia
memilih yang bururk.
3. Al-istidalal
bi al-syahid ‘ala al-ghaib karena keduanya sama-sama mengandung sesuatu yang
dapat menggantikan posisi ‘illah.
Contohnya : dalam al-syahid kita mengethau bahwa seseorang
diantara kita memiliki sifat maridun (berkehendak), bahawa hokum berkehendak
itu ialah berbuat. Sedangkan disisi lain kita engethaui hokum ini tyetap pada
al-gaib (allah) yaitu bahwa dia maha erbuat dan sifatnya maridun ( berhendak).
4. Al-istidlal
bi al-syahd ‘ala al-gaib karena hokum pada al-gain lebih pantas daripada
al-syahid metode ini sama prsisi dengan qiyas aula menurut fuqaha’.
Contohnya
: apabiola menolak mudharat itu baik karena suatu dugaan semata-mata lebih
utama menolak mudharat itu berdasarkan pengetahuan yang pasti.
Itulah empat
aspek dibolehkan memberlakukan al-istidlal bi al-syahid ‘ala al-gaib menuurut
al-qadlu abdul al-jabbar. Metode ini dikemukakan oleh al-qadhi abu ya’la seorang
penganut mazhab fiqh hambalai, walaupun terdapat perbedaan istilah menurutnya
istdilah bi al-syahid ‘ala al-gaib memiliki empat aspek yaiut , aspek ‘illah,
aspek al-hadd, aspek al maslahah dan aspek dalili.
- Intervensi doktrin teologi terhadap teoritisasi qiyas ushuli.
Doktrin teologis kaum mu’tazilah memberi penekanan khusus terhadap al
‘adl atau keadilan tuhan. Menurutnya
bahwa tuhan maha adil dan akan memberi ancaman bagi orang yang berbuat
salah dan pahala bagi orang yang berbuat
baik. Kebebasan manusia dan keadilan tuhan adalah dua sisi dalam satu mata uang
yang tidak akan terpisahkan.memisakan keduanya sama saja dengan tidak mengakui
eksistensi manusia, sekaligus menafikan keadilan tuhan.
Doktrin ini tidak diterima oleh teolog sunni asy-‘ariyah yang menekankan
kuasa dan kehendak tuhan. Menurut merekan doktrintersebut akan melegitimasi
keberadaan kekuasaan lain di atas kekuasaan tuhan. Menurut teolog sunni bahwa
tuhan tidak wajib untuk berbuat sesuatu apapun untuk hambahnya , dan dia bebas
untuk melakukan apa yang dikendakinya. Kaum mu’tazilah mengakui adanya ta’lil
ahkam sebagai mana yang dipahami oleh kaum mu’tazilah. Problem ta’lili bermula
dari problem teologis , polemik antara mu’tazilah dan asy-‘ariyah mengenai
ta’lil ahkam asy ‘ariyah hanya berupa bias dari polemik doktrin teologis
mengenai halqul af’aal dan al jubru wa al-ikhtiyar dalam kaitannya dengan
tahsin wa al-aqbih al-aqliyan amla ( kemampuan akal manusia untuk
menentukan baik dan buruk bagi suatu perbuatan berdasarkan akal atau bukan ).
Mu’tazilah bersikukuh bahwa i’llah dapat meniscahyahkan suatu hukum karena akal
manusia mampu memberikan penilaian baik dan buruk terhadap suatu perbuatan.
Berbeda denga sy ‘ariyah yang mengatakan bahwa tuhanlah yang menetapkan hukum
itu sedangkan ‘illah adalah almiyah (tanda) dan tidak otomatis memberi efek
hukum , pahala aupun ancaman.
Isu-isu ilmu kalam dalam islam termasuk masalah klasik sehingga mau tidak
mau kita harus kembali kepada salah satu permasalahan teologis yang muncul pada
masa pemerintahan umawi yaitu masalah al jubru wa al ikhtiyar. Pertempuran
antara kaum muslimin dalam perang siffin menimbulkan pertanyaan terutama
setelah peperangan itu berakhir. Apakah mereka terlibat dalam peristiwa
berdarah itu tergolong muslim. Padahal mereka mengerjakan dosa besar yaitu
membunuh jiwa muslim ?. apakh perbuatan itu dilakukan atas pilihan mereka atau
karena dipaksa. ? permasalahan ini kemudian dipormulasikan secara umum , apakh
manusia menciptakan semua perbuatannya atau allah yang menciptakannya ?.
Kaum mu’tazilah berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya
dengan kemampuan yang diberikan allah kepada mereka dan allah tidak berbuat yang buruk . dengan
kata lain mu’tazilah berpendapat “ wajib bagi allah melakukan yang terbaik “.
Namun kaum sunni dan asy ‘ariyah menentang pendpat itu , khususnya kata “ wajib
bagi allah “ pernyatan ini seakan akan memberi kesan bahwa allah dalam
menentukan perbuatan tunduk pada kekuatan lain di atas kekuatn-NYA , karena
menurut mereka tuhan adalah bebas memilih suatu yang dia kehendaki.
Dari berbagai pendapat yang diungkapkan oelh kaum mu’tazila dan sunni
maupuan asy ‘ariyah sebagian ulama hanafiyah mengambil jalan tengah , menurut
mereka jika kita menjadikan al ‘illal itu sendiri mewajibkan suatu hukum , maka
akan berimplikasi adanya persekutuan dalam wilayah atau ketuhanan tuhan.
- Implikasi teoritis dan praktis.
Secara teoritis kenseptual , fenomena ini nampak dalam kategori ushul dan
fiqh. Dan ushul ad-din (teolog) yang nerupak klasifikasi klasik yang jelas
muncul dari fenomena intervensi teologi kepada ushul fiqh. Salah satu bukti
yang paling nyata dari sejarah islam adalah munculnya figur-figur seperti al-ghazali, ibnu hazim dan lain-lain. Yang merupakn sosok
teolog disuatu sisi dan seorang ahli ushul disisi yang lain. Paradigma teologis
, berangkat dari anggapan bahwa allah adalah sebagai pencipta dan manusia
sebagai makhluk (yang diciptakan).
Dengan demikian dalam paradigma teologi perbuatan manusia diukur dengan
kesesuaian dengan perintah dan keinginan allah, sehingga ada dua kategori
perbuatan manusia yaitu taat dan ingkar, salah atau benar. Allah dalam pardigma
teologis adalah penguasa , sedangkan manusia adalah yang dikuasai dan harus
taat, patuh, tuduk dan bertanggung jawab kepada allah. Berbeda dengan paradigma
yang dikembangkan oleh ahli ushul yang mempunyai anggapan bahwa yang
memposisikan allah sebagai hakim
(menentukan hukum) bagi manusia dan perbuatan-perbuatan yang nereka
lakukan. Sedangkan manusia adalah subyek hukum, dimana ketentuan dan keputusan
hukum allah diberlakukan atas mereka. Menurut kaum ushuli kat ‘illat dalam fiqh hanya bersifat tajawwuz
(keterlanjuran), karena al’ilal al fiqhiyah identik dengan mkna atas
pertimbangan ma’anin ada dua macam : pertama , makna linguistik dan makna
syar’iyah , makna-makna syar’iyah dinamakan ‘illat.
- Problem ta’lil dalam ilmu kalam.
Dasar problem ta’lil dalam qiyas al fiqh
adalah pendapat bahwa ‘illat mewajibkan adanya hukum dan mempengaruhinya
ternyata mengakibatkan benturan dengan pemahaman akidah keagamaan tertentu.
Polemik ‘illat fiqh mencakup hukum asli yaitu hukum-hukum syari;ah (perintah dan larangan tuhan). Disinilah
sumber-sumber problem –problem sebagai mana yang diungkapkan tadi. Dalam ilmu
kalam al ashl disebut al stahid yaitu manusia dan alam-alam yang lain. Contoh
yang dapat menjelaskan maslah tersebut adalah pendapat dari kaum ssy ‘ariyah
yang mengatakan al ;illah yang menunjuk orang tertentu diantara kita lah makna
dalam arti sifat yang letak pada zat atau pada diri orang yang berpengetahuan
itu yaitu pengethauan itu sendiri. Allah maha mengethaui ( al alim), sifat maha
mengetahui bagi tuhan ini tidak terpisahkan dengan ‘illat yaitu pengetahuan (al
ilm). Dengan demikian maka ta’lill dalam
ilmu kalam adalah untuk menetapkan sifat-sifat bagi zat tuhan.
- Mengeliminasi teologis sebagai upaya menuju formulasi qiyas lebih luas.
Qiyas tradisional hanya bisa diterapkan secara horizontal yaitu untuk kasus
–kasus yang berbeda dalam tingkatan yang satu karena perbedaan tempat dan
ruang. Apabila bertemu denga kasus yang berbeda tingkatan maka dibutuhkan
pengembangan qiyas baru agar bisa menjembatani perbedaan kasus tersebut. Salah
satunya dengan memperluas konsep illat yang menjadi dasar pelaksanaan qiyas.
Illat transpormatif adalah illat yang dapat ditransformasikan dari satu kasus
kepada kasus lain dengan tingkatan dan kualitas.
- Rekontruksi qiyas dan kebutuhan metodelogis ilmu-ilmu agama.
Langakah-langkah rekontruksi qiyas :
a.
Membebaskan qiyas dari
bias dan kausa ideologis yaitu dengan mengembalikan qiyas kepada prinsip
spekulatif dan bukan prisip kemutlakan.
b.
Memperluas konsep illat
dengan memasukan konsep maqhasid sebagai bagian dari illat.
c.
Merubah pola hubungan
antara teks dengan reality dan hubungan horizontal searah menuju hubungan
vertikal-deliktif.
d.
Memperluas jangkauan
qiyas yaitu dari penalaran dengan teks menuju penalaran terhadap teks.
Empat langakah rekontruksi qiyas ini diharapkan bukan menghasilkan kontruksi
qiyas baru yang bebas dari intervensi teologi para teolog.
- Qiyas sebagai penalaran induktif dan demonstratif.
Penalaran qiyas yang berdorak induktif dapat kita ambil dari contoh bahwasanya semua yang memabukan adalah haram.
Akan tetapi ketika menggunakan penalaran analogis berdasarkan keserupaan dan
kesamaan sifat , maka akan sangat mungkin menghasilakn keimpulan lain. Seperti
minuman dari hal belum tentu yang demikian itu memabukan. Penalaran analogis
berdasarkan kesamaan sifat masih ada kemungkinan untuk salah dan tidak valid.
Penalaran demonstratif adalah penalaran yang berangkat dari pengamatan yang
jeli dan akurat terhadap realitas, untuk menemukan aspek mandasar yang akan
dijadika sebagai pertimbangan dalam menetukan status hukum dari segala sesuatu.
Contohnya penerapan qiyas terhadap khamr, misalnya pengamatan dan pengujian
terhadap realitas untuk menemukan apa saja yang termasuk minuman atau makanan
yang bisa merusak akal perlu dilakukan,
baik melalui penelitian ilmiah atau eksperimentasi langsung dan setelah itu
baru dilakukan upaya untuk mendialogkan antar konsep dasar teks dengan
realitas.

- Kerangaka logika syathibi.
Muhammad miftah telah mengidentifikasi perangkat-perangkat logika yang
digunakn dan dikembangkan oleh al syathibi dalam merumuskan teori mengenai
maqashid al syari’ah ada dua teori logika yaitu :
1.
Teori identifikasi
(nazhariyah al ta’rif)
Teori ini berangkat dari konsep bahwa segala sesuatu mempunyai dua jenis
sifat atai ciri yaitu sifat esensial dan sifat eksidensial. Sifat esensial melekat secara pasti pada
substansi segala sesuatu, sehingga ia tidak bisa hilang kecuali substansi itu
hilang. Sementara sifat eksedintial adalah sifat yang terkadang ada dan
terkadang tidak, bisa berubah-ubah dan tidak tetap. Jika sifat ini hilang tidak
lantas substansi ikut hilang. Konsep stahibi ini mengatakn bahwa yang menajadi
pertimbangan adalah hal-hal yang teridentifikasi atau yang nampak, bukan sesuau
yang abstrak atau bersifat subjektif. Ini sejalan dengan konsep umum bahwa
wilayah fiqh adalah sesuatu yang nampak dan nyata.
2.
Teori tajnis (nazhariyah
al yajnis)
Teori ini untuk mengaitkan antara berbagai maslah fiqh dan hukum-hukum
syara’, jika bagian dan spesies dapat dimasukan kedalam jenis , maka bagian dan
spesies tersebut juga mengandung hukum yang ada pada jenis. Sebab bagian-bagian
dan spesies –spesies saling terkait. Teori ini digunaka untuk menggurkan hukum
–hukum yang ada pada individu –individu dan bagian-bagian internal dibawah
ashnaf d bagaimana cara untuk sampai kepadan anwa. Tetapi juga digunakan untuk
merumuskan pembagian istilah-istilah sperti dlaruriyat, hijuyat dan tahsiniyat.
Ada dua masalah pokok dalam teori ini : pertama ; masalah kebutuhan bahwa jika
person-person, bagian-bagian dan spesies-spesies membutuhkan adanaya jenis yang
paling tinggi ,maka bukan berarti jeis yang paling tinggi ini tidak dapat
dibagi lagi. kedua ; bagaimana cara untuk sampai kepada jenis yanga paling
tinggi , cara tersebut didapatkan melalui induksi menyeluruh yang dapat
mengorganisasikan bagain-bagian dan person-person.
- Hubungan preposisi umum (qadliyah) dengan teks.
Terdapat hubungan antara proposisi umum dengan teks yang saling
membutuhkan. Dua proposisi yang benar-benar berlawanan atau kontradiktif tidak
mungkin untuk dipersatukan , akan tetapi keduanya dapat sama-sama dibuang dan
jika tidak dibuang secara bersamaan, maka akan mncul sisi yang netral. Adapun
dua proposisi yang bertentangan sekalipun tidak mungkin untuk dipersatukan ,
akan tetapi tidak lantas keduanya harus dibuang. Diantara dua yang bertentangan
ini ada posisi diantara yang terkadanag condong kepada afirmasi (positf atau
penegasan ) dan terkadang condong kepada negasi (negatif atau panfian).
- Istinbath untuk melakukan ijtihad.
Al syathibi dalam melakukan ijtihad menggunakan mekanisme intintaj
(penarikan kesimpulan), namun sebelum al syathibi memposisikan berbagai masalah
dalam aturan sebagai berikut :
1.
Wajib, ja’iz dan
mustahil.
2.
Wajib, haram,
meninggalkan dan halal.
3.
Dlaruruyat (keharusan),
hajijiyat (kebutuhan), dan tahsiniyat (keinginan).
Maka dapat kita ketahui bahwa al syathibi berpegang pada dua pilar yaitu :
pilar naq (teks) dan pilar rasional. Teksa agam yang dipegang adalah yang
bersifat pasti seperti ayat-ayat al qur’an dan hadist shahih serta informasi
yang mutawatir dan juga hukum-hukum yang diistinbatkan. Sedangkan pilar
rasional adalah proposisi,aksioma yang pasti dan terlihat secara umum. Dengan
dua pilar ini syathibi menetapkan ushul fiqh sebagai ilmu pasti.
- Konsep qhat’i menurut syathibi.
Thaha abdurrahaman membagi al qhat’i menjadi dua yaitu : qhath al shirah
atau al qath shawari (kepastian formal) dan al qath madhmuni (kepastian makna atau isi). Al qth’i
adalah suatu keyakinan terhadap proposisi universal yang dihasilkan oleh nalar
induktif dari dalil-dalil syari;ah yang bersifat berkelanjutan , tetap dan
menentukan. Syathibi sangat mengesampingkan filsafat aristoteles dengan dua
alasa :
1.
Bahwa filsafat terjebak
pada masalah-masalah abstrak tidak berbarengan dengan aksi atau perbuatan,
padahal al alim dapat dipisahkan dari al amal akan perbuatan.
2.
Filsafat kata syathibi
menggunakan metode analisis yang rumit padahal tujuan dari sebuah metode adalah
untuk mengantarkan kita kepada ilmu pengetahuan secara efektif.
- Metode induksi syathibi dalam merumuskan al maqhasid al syari’ah.
Induksi menurut kaum logikawan adalah apa yang benar dan berlaku untuk
anggota masing-masing , berlaku sebagai kebenaran untuk seluruh kelompok itu.
Menurut mereka induksi adalah suatu bentuk penalaran dari partikular ke
universal. Premis-premis yang digunakan dalam penalaran induktif terdiri atas
proposisipartikular sedangkan konklukasinya adalah proposisi universal.
Kumpulan penjelasan dan pendapat
dari buku yaitu :
1.
Metode induksi , semual
menajdi objek kajian tafsir teoritis an
sich, kemudian berkembang menjadi objek studi eksperimental dan diterapkan
secara konkrit bersamaan dengan kedatangan islam.
2.
Objek penggunaan induksi
berkembang sehingga meliputi bidang al syari’at.
3.
Induksi sebagai metode
berfikir ilmiah mulai menemukan karateristikanya dalam sejarah peradaban muslim
bersamaan dengan berkembangannya studi-studi ushul fiqh.
- Karateristik logika induktif.
Syathibi meletekan dua pilar penyangga bagai indkusi yaitu :
1.
Pilar syari’ah
Pilar syari’ah meliputi :
o Metode induksi syathibi memiliki persesuaian dengan metode al qur’an ketika
menetapkan berbagai hukum.
o Metode induksi syathibi sejalan dengan metode kaum ushuli dalam menetapkan
ijma’.
o Metode induksi syathibi memiliki keserasian dengan metode kaum ushuli dalam
menetapkan kaidah-kaidah ushuli dari sumber tekstual.
o Prinsip al gholib alaktsari (mayoritas yang dominan), yaitu suatu prinsip
yang sangat populer dikalanga kaum ushuli bahwa aktifitas manusia berdasarkan
perisnp ini.
2.
Pilar logika
Pilar logika meliputi :
o Transpormasi logika – prinsip ini sangat jelas ketika syathibi mengatakan
bahwa induksi tidak lengkap memilki persamaan dengan al tawatur al ma’nawi.
o Induksi tidal lengkap menjadi bagian dari pihak al mutawatir yang pasti
karena perkumpulan kekuatan tidak sama dengan perpecahan dan menjadi dari
bagiannya.
- Syathibi dan objek penggunaan metode pembuktian induktif.
Syathibi mendiskusikan peran syari’ah dalam melindungi maslahat yang
fundamental (agama, jiwa,akal, keturunana, dan harat) dan dua sisi yaiutu :
sisi janib al wujud (aspek positif) dan janib al adam (aspek negatif). Hubungan
metodelogis yang menajdi pedoman syathibi anatar sholat sebagai jari’iyat dengan
kulliyat al din sebagai maqashid sari’ah mempertegas usahanya dalam memberikan
bukti terhadap prinsip umum dengan melakukan induksi terhadap sejumlah dalil
yang tersusununtuknya. Karena dnegan ini prinsip syari’ah dapat dibedakan
cabang-cabangnya.
- Al kulli dan juz.i menurut syathibi.
Model hubungan antara kulliyat dan juz’iyat dapat dilihat dari berbagai
aspek sebagai berikut :
1.
Terhadap hubungan timbal
balik antara kulli dengan juz’iy dalam konteks mau mundur dari semua segi.
2.
Hubungan timbal balik
antar kulli dan juz’i mencerminkan sifat thabi;ah jami’ah bukan istigriqiah,
maksudnya adalah kulli secara defentif adalah kulli bukan suatu ilustriyang
mereflikasikan semua juz’iyah yang ada dibawahnya.
3.
Pertentangan sebagai
juz’iy dan kulli tidak akan menafihkan eksistensi masing-masing.
- Bidang-bidang lain yang ditetapkan syathibi dengan metode induksi.
Selain al maqhasid dan al a syathibi
juga menghubungkan tema tema lain dengan metode penelitian induktif ,yaitu
sebagai berikut :
1.
Menggatungkan perintah
dan larangan dengan al daruriyat dengan metode pembuktian induktif.
2.
Menggantungkan perintah
dan larangan dengan al maqhasid al juz’iyat dengan metode pembuktian induktif.
3.
Metode induksi
menunjukan bahwa al mutasyabih di dalam al qur’an lebih sedikit jumlahnya daripada
al mahkam.
4.
Metode induksi
menunjukan bahwa al nask tidak akan terjadi pada syari’ah.
5.
Metode induksi
menunjukan bahwa al hijal sesuatu yang tidak dibenarkan dalam agama.
6.
Metode induksi
menunjukan bahwa ketaatan dan maksiat akan menajadi besar sesuai dengan
maslhata dan mafsadat yang akan diakibatkan oleh keduanya.
7.
Metode induksi
menunjukan bahwa kecintaan dan kebencian kembali kepada dan hukuman yang
ditentukan oleh syari;ah.
8.
Metode induksi
menunjukan bahwa syarat masyrat sama dengan sifat mausuf.
9.
Metode induksi
menunjukan bahwa akibat suatu perbuatan diakui daam syari’at.
10. Metode induksi menunjukan bahwa sunnah tidak mengandung sejumlah hal yang
tidak disebutkan oleh al qur’an.
11. Metode induksi menunjukan bahwa prinsip dalam ibadah adalah ta’abut (ketaatan)
sedangkan di dala al ‘adat adalah al ma’ani (kemaslahatn)
12. Metode induksi menunjukan bahwa al ‘adaah (adat) yang dilembagakan sesuai
kewajiban syari’ah tidak akan berubah.
- Induksi dan silogisme.
Dalam usahanya mengunifikasikan metode penalaran induktif dengan silogisme.
Syathibi mengkhususkan satu permasalah denga lengkap untuk
melunasipremis-premis pertama dalam silogisme.
Cara untuk mengetahui maqhasid
syari’ah ada empat, yaitu :
1.
Kejelasan
prinsip-prinsip perintah mauoun larangan.
2.
Memperhatikan al’illah
dalam suatu perintah dan larangan.
3.
Mencermati al mashalih
yang mebgikati suatu perintah maupun larangan.
4.
Sikap dalam syari’ah
terhadap suatu perjanjian bersama adanya motif untuk perjanjian.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.