Jumaat, 15 Februari 2013


RESUME
MATAKULIAH ILMU LOGIKA
“Nalar qiyas ushuli dan intervensi teologis terhadap cara kerja proses ta’lili”
dan
“ Perangkat teoritik dan metode perumusan maqashid al-syari’ah al-syathibi”

Tahun ajaran 2012/2013
Dosen pengampuh :
Drs. H . Asmuni M.A
Disusun oleh :
Hamdani Hakim
11421021
PRODI HUKUM ISLAM ( SYARI’AH )
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
NALAR QIYAS USHULI DAN INTERVENSI TEOLOGIS TERHADAP CARA KERJA PROSES TA’LILI
  1. Qiyas kaum teolog
Perbedaan yang mendsar antara qiyas kaum ushuli dengan para ahli bahasa dengan qiyas ulam kalam. Terletak pada ‘illah. Menurut ulama kalam’illah bersifatrasional sehingga melahirkan al-‘ilm (pengetahuan yang pasti). Sedangkanillah menurut kaum ushuli dan nuhat hanya bersifat zanni atau dugaan. Menurut al-qadhi abdu al-jabar seorang pioneer kaum mu’tazilah mengatakan bahwa bentuk argumen paling santer didiskusikan senginggah banyak menyimpang dari kebenaran . ada empat macam istidlal bi al-syhid ‘ala ghaib yang mneyerupai dalam fiqih dan nahwu, yaitu :
1.      Al-istidlal bi al-syahid ‘ala al-gaib karena kedua-duanya sama0sama mengandung hubungan innduktif (dalalah masyarakat). Bentuk istidalal ini sama persis dengan qiyas al-dalalah dalam fiqh.
Contohnya : dalam ilmu falaq istidlal bahwa allah itu maha kuasa. Pada al-syahid terjadi suatu perbuatan , hal ini menjadi bukti bahwa orang yang berbuat itu memiliki kekuasaan/kemampuan , maka ditetapkan suatu hokum allah maha kuasa karena ada suati perbuatan yang dilakukan-NYA.
2.      Al-istidlal bi al-syhaid ‘ala al-ghaib karena keduanya mengandun ‘illah yang sama.metode istidlal ini sama dengan qiyas al-‘illah dala foqoh dan nahwu.
Contohnya : dalamilmu kalam bahwa allah tidak boleh mnegerjakan yang bururk, bahwa dia mengethaui bahawa perbuatan itu buruk. Pda al-syahid jelas bahwa ‘illahnya adalah tidak satupun diantara manusia yang bersedia memilih yang bururk.
3.      Al-istidalal bi al-syahid ‘ala al-ghaib karena keduanya sama-sama mengandung sesuatu yang dapat menggantikan posisi ‘illah.
Contohnya : dalam al-syahid kita mengethau bahwa seseorang diantara kita memiliki sifat maridun (berkehendak), bahawa hokum berkehendak itu ialah berbuat. Sedangkan disisi lain kita engethaui hokum ini tyetap pada al-gaib (allah) yaitu bahwa dia maha erbuat dan sifatnya maridun ( berhendak).
4.      Al-istidlal bi al-syahd ‘ala al-gaib karena hokum pada al-gain lebih pantas daripada al-syahid metode ini sama prsisi dengan qiyas aula menurut fuqaha’.
Contohnya : apabiola menolak mudharat itu baik karena suatu dugaan semata-mata lebih utama menolak mudharat itu berdasarkan pengetahuan yang pasti.
Itulah empat aspek dibolehkan memberlakukan al-istidlal bi al-syahid ‘ala al-gaib menuurut al-qadlu abdul al-jabbar. Metode ini dikemukakan oleh al-qadhi abu ya’la seorang penganut mazhab fiqh hambalai, walaupun terdapat perbedaan istilah menurutnya istdilah bi al-syahid ‘ala al-gaib memiliki empat aspek yaiut , aspek ‘illah, aspek al-hadd, aspek al maslahah dan aspek dalili.
  1. Intervensi doktrin teologi terhadap teoritisasi qiyas ushuli.
Doktrin teologis kaum mu’tazilah memberi penekanan khusus terhadap al ‘adl  atau keadilan tuhan. Menurutnya bahwa tuhan maha adil dan akan memberi ancaman bagi orang yang berbuat salah  dan pahala bagi orang yang berbuat baik. Kebebasan manusia dan keadilan tuhan adalah dua sisi dalam satu mata uang yang tidak akan terpisahkan.memisakan keduanya sama saja dengan tidak mengakui eksistensi manusia, sekaligus menafikan keadilan tuhan.
Doktrin ini tidak diterima oleh teolog sunni asy-‘ariyah yang menekankan kuasa dan kehendak tuhan. Menurut merekan doktrintersebut akan melegitimasi keberadaan kekuasaan lain di atas kekuasaan tuhan. Menurut teolog sunni bahwa tuhan tidak wajib untuk berbuat sesuatu apapun untuk hambahnya , dan dia bebas untuk melakukan apa yang dikendakinya. Kaum mu’tazilah mengakui adanya ta’lil ahkam sebagai mana yang dipahami oleh kaum mu’tazilah. Problem ta’lili bermula dari problem teologis , polemik antara mu’tazilah dan asy-‘ariyah mengenai ta’lil ahkam asy ‘ariyah hanya berupa bias dari polemik doktrin teologis mengenai halqul af’aal dan al jubru wa al-ikhtiyar dalam kaitannya dengan tahsin  wa al-aqbih  al-aqliyan amla ( kemampuan akal manusia untuk menentukan baik dan buruk bagi suatu perbuatan berdasarkan akal atau bukan ). Mu’tazilah bersikukuh bahwa i’llah dapat meniscahyahkan suatu hukum karena akal manusia mampu memberikan penilaian baik dan buruk terhadap suatu perbuatan. Berbeda denga sy ‘ariyah yang mengatakan bahwa tuhanlah yang menetapkan hukum itu sedangkan ‘illah adalah almiyah (tanda) dan tidak otomatis memberi efek hukum , pahala aupun ancaman.
Isu-isu ilmu kalam dalam islam termasuk masalah klasik sehingga mau tidak mau kita harus kembali kepada salah satu permasalahan teologis yang muncul pada masa pemerintahan umawi yaitu masalah al jubru wa al ikhtiyar. Pertempuran antara kaum muslimin dalam perang siffin menimbulkan pertanyaan terutama setelah peperangan itu berakhir. Apakah mereka terlibat dalam peristiwa berdarah itu tergolong muslim. Padahal mereka mengerjakan dosa besar yaitu membunuh jiwa muslim ?. apakh perbuatan itu dilakukan atas pilihan mereka atau karena dipaksa. ? permasalahan ini kemudian dipormulasikan secara umum , apakh manusia menciptakan semua perbuatannya atau allah yang menciptakannya ?.
Kaum mu’tazilah berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya dengan kemampuan yang diberikan allah kepada mereka  dan allah tidak berbuat yang buruk . dengan kata lain mu’tazilah berpendapat “ wajib bagi allah melakukan yang terbaik “. Namun kaum sunni dan asy ‘ariyah menentang pendpat itu , khususnya kata “ wajib bagi allah “ pernyatan ini seakan akan memberi kesan bahwa allah dalam menentukan perbuatan tunduk pada kekuatan lain di atas kekuatn-NYA , karena menurut mereka tuhan adalah bebas memilih suatu yang dia kehendaki.
Dari berbagai pendapat yang diungkapkan oelh kaum mu’tazila dan sunni maupuan asy ‘ariyah sebagian ulama hanafiyah mengambil jalan tengah , menurut mereka jika kita menjadikan al ‘illal itu sendiri mewajibkan suatu hukum , maka akan berimplikasi adanya persekutuan dalam wilayah atau ketuhanan tuhan.
  1. Implikasi teoritis dan praktis.
Secara teoritis kenseptual , fenomena ini nampak dalam kategori ushul dan fiqh. Dan ushul ad-din (teolog) yang nerupak klasifikasi klasik yang jelas muncul dari fenomena intervensi teologi kepada ushul fiqh. Salah satu bukti yang paling nyata dari sejarah islam adalah munculnya figur-figur  seperti al-ghazali,  ibnu hazim dan lain-lain. Yang merupakn sosok teolog disuatu sisi dan seorang ahli ushul disisi yang lain. Paradigma teologis , berangkat dari anggapan bahwa allah adalah sebagai pencipta dan manusia sebagai makhluk  (yang diciptakan). Dengan demikian dalam paradigma teologi perbuatan manusia diukur dengan kesesuaian dengan perintah dan keinginan allah, sehingga ada dua kategori perbuatan manusia yaitu taat dan ingkar, salah atau benar. Allah dalam pardigma teologis adalah penguasa , sedangkan manusia adalah yang dikuasai dan harus taat, patuh, tuduk dan bertanggung jawab kepada allah. Berbeda dengan paradigma yang dikembangkan oleh ahli ushul yang mempunyai anggapan bahwa yang memposisikan allah sebagai hakim  (menentukan hukum) bagi manusia dan perbuatan-perbuatan yang nereka lakukan. Sedangkan manusia adalah subyek hukum, dimana ketentuan dan keputusan hukum allah diberlakukan atas mereka. Menurut kaum ushuli  kat ‘illat dalam fiqh hanya bersifat tajawwuz (keterlanjuran), karena al’ilal al fiqhiyah identik dengan mkna atas pertimbangan ma’anin ada dua macam : pertama , makna linguistik dan makna syar’iyah , makna-makna syar’iyah dinamakan ‘illat.
  1. Problem ta’lil dalam ilmu kalam.
Dasar problem ta’lil dalam qiyas al fiqh  adalah pendapat bahwa ‘illat mewajibkan adanya hukum dan mempengaruhinya ternyata mengakibatkan benturan dengan pemahaman akidah keagamaan tertentu. Polemik ‘illat fiqh mencakup hukum asli yaitu hukum-hukum syari;ah  (perintah dan larangan tuhan). Disinilah sumber-sumber problem –problem sebagai mana yang diungkapkan tadi. Dalam ilmu kalam al ashl disebut al stahid yaitu manusia dan alam-alam yang lain. Contoh yang dapat menjelaskan maslah tersebut adalah pendapat dari kaum ssy ‘ariyah yang mengatakan al ;illah yang menunjuk orang tertentu diantara kita lah makna dalam arti sifat yang letak pada zat atau pada diri orang yang berpengetahuan itu yaitu pengethauan itu sendiri. Allah maha mengethaui ( al alim), sifat maha mengetahui bagi tuhan ini tidak terpisahkan dengan ‘illat yaitu pengetahuan (al ilm).  Dengan demikian maka ta’lill dalam ilmu kalam adalah untuk menetapkan sifat-sifat bagi zat tuhan.
  1. Mengeliminasi teologis sebagai upaya menuju formulasi qiyas lebih luas.
Qiyas tradisional hanya bisa diterapkan secara horizontal yaitu untuk kasus –kasus yang berbeda dalam tingkatan yang satu karena perbedaan tempat dan ruang. Apabila bertemu denga kasus yang berbeda tingkatan maka dibutuhkan pengembangan qiyas baru agar bisa menjembatani perbedaan kasus tersebut. Salah satunya dengan memperluas konsep illat yang menjadi dasar pelaksanaan qiyas. Illat transpormatif adalah illat yang dapat ditransformasikan dari satu kasus kepada kasus lain dengan tingkatan dan kualitas.
  1. Rekontruksi qiyas dan kebutuhan metodelogis ilmu-ilmu agama.
Langakah-langkah rekontruksi qiyas :
a.       Membebaskan qiyas dari bias dan kausa ideologis yaitu dengan mengembalikan qiyas kepada prinsip spekulatif dan bukan prisip kemutlakan.
b.      Memperluas konsep illat dengan memasukan konsep maqhasid sebagai bagian dari illat.
c.       Merubah pola hubungan antara teks dengan reality dan hubungan horizontal searah menuju hubungan vertikal-deliktif.
d.      Memperluas jangkauan qiyas yaitu dari penalaran dengan teks menuju penalaran terhadap teks.
Empat langakah rekontruksi qiyas ini diharapkan bukan menghasilkan kontruksi qiyas baru yang bebas dari intervensi teologi para teolog.
  1. Qiyas sebagai penalaran induktif dan demonstratif.
Penalaran qiyas yang berdorak induktif dapat kita ambil dari contoh  bahwasanya semua yang memabukan adalah haram. Akan tetapi ketika menggunakan penalaran analogis berdasarkan keserupaan dan kesamaan sifat , maka akan sangat mungkin menghasilakn keimpulan lain. Seperti minuman dari hal belum tentu yang demikian itu memabukan. Penalaran analogis berdasarkan kesamaan sifat masih ada kemungkinan untuk salah dan tidak valid.
Penalaran demonstratif adalah penalaran yang berangkat dari pengamatan yang jeli dan akurat terhadap realitas, untuk menemukan aspek mandasar yang akan dijadika sebagai pertimbangan dalam menetukan status hukum dari segala sesuatu. Contohnya penerapan qiyas terhadap khamr, misalnya pengamatan dan pengujian terhadap realitas untuk menemukan apa saja yang termasuk minuman atau makanan yang bisa merusak akal  perlu dilakukan, baik melalui penelitian ilmiah atau eksperimentasi langsung dan setelah itu baru dilakukan upaya untuk mendialogkan antar konsep dasar teks dengan realitas.













PERANGKAT TEORITIK DAN METODE PERUMUSAN MAQASHID AL-SYARI’AH AL- SYATHIBI
  1. Kerangaka logika syathibi.
Muhammad miftah telah mengidentifikasi perangkat-perangkat logika yang digunakn dan dikembangkan oleh al syathibi dalam merumuskan teori mengenai maqashid al syari’ah ada dua teori logika yaitu :
1.      Teori identifikasi (nazhariyah al ta’rif)
Teori ini berangkat dari konsep bahwa segala sesuatu mempunyai dua jenis sifat atai ciri yaitu sifat esensial dan sifat eksidensial.  Sifat esensial melekat secara pasti pada substansi segala sesuatu, sehingga ia tidak bisa hilang kecuali substansi itu hilang. Sementara sifat eksedintial adalah sifat yang terkadang ada dan terkadang tidak, bisa berubah-ubah dan tidak tetap. Jika sifat ini hilang tidak lantas substansi ikut hilang. Konsep stahibi ini mengatakn bahwa yang menajadi pertimbangan adalah hal-hal yang teridentifikasi atau yang nampak, bukan sesuau yang abstrak atau bersifat subjektif. Ini sejalan dengan konsep umum bahwa wilayah fiqh adalah sesuatu yang nampak dan nyata.
2.      Teori tajnis (nazhariyah al yajnis)
Teori ini untuk mengaitkan antara berbagai maslah fiqh dan hukum-hukum syara’, jika bagian dan spesies dapat dimasukan kedalam jenis , maka bagian dan spesies tersebut juga mengandung hukum yang ada pada jenis. Sebab bagian-bagian dan spesies –spesies saling terkait. Teori ini digunaka untuk menggurkan hukum –hukum yang ada pada individu –individu dan bagian-bagian internal dibawah ashnaf d bagaimana cara untuk sampai kepadan anwa. Tetapi juga digunakan untuk merumuskan pembagian istilah-istilah sperti dlaruriyat, hijuyat dan tahsiniyat. Ada dua masalah pokok dalam teori ini : pertama ; masalah kebutuhan bahwa jika person-person, bagian-bagian dan spesies-spesies membutuhkan adanaya jenis yang paling tinggi ,maka bukan berarti jeis yang paling tinggi ini tidak dapat dibagi lagi. kedua ; bagaimana cara untuk sampai kepada jenis yanga paling tinggi , cara tersebut didapatkan melalui induksi menyeluruh yang dapat mengorganisasikan bagain-bagian dan person-person.
  1. Hubungan preposisi umum (qadliyah) dengan teks.
Terdapat hubungan antara proposisi umum dengan teks yang saling membutuhkan. Dua proposisi yang benar-benar berlawanan atau kontradiktif tidak mungkin untuk dipersatukan , akan tetapi keduanya dapat sama-sama dibuang dan jika tidak dibuang secara bersamaan, maka akan mncul sisi yang netral. Adapun dua proposisi yang bertentangan sekalipun tidak mungkin untuk dipersatukan , akan tetapi tidak lantas keduanya harus dibuang. Diantara dua yang bertentangan ini ada posisi diantara yang terkadanag condong kepada afirmasi (positf atau penegasan ) dan terkadang condong kepada negasi (negatif atau panfian).
  1. Istinbath untuk melakukan ijtihad.
Al syathibi dalam melakukan ijtihad menggunakan mekanisme intintaj (penarikan kesimpulan), namun sebelum al syathibi memposisikan berbagai masalah dalam aturan sebagai berikut :
1.      Wajib, ja’iz dan mustahil.
2.      Wajib, haram, meninggalkan dan halal.
3.      Dlaruruyat (keharusan), hajijiyat (kebutuhan), dan tahsiniyat (keinginan).
Maka dapat kita ketahui bahwa al syathibi berpegang pada dua pilar yaitu : pilar naq (teks) dan pilar rasional. Teksa agam yang dipegang adalah yang bersifat pasti seperti ayat-ayat al qur’an dan hadist shahih serta informasi yang mutawatir dan juga hukum-hukum yang diistinbatkan. Sedangkan pilar rasional adalah proposisi,aksioma yang pasti dan terlihat secara umum. Dengan dua pilar ini syathibi menetapkan ushul fiqh sebagai ilmu pasti.

  1. Konsep qhat’i menurut syathibi.
Thaha abdurrahaman membagi al qhat’i menjadi dua yaitu : qhath al shirah atau al qath shawari (kepastian formal) dan al qath  madhmuni (kepastian makna atau isi). Al qth’i adalah suatu keyakinan terhadap proposisi universal yang dihasilkan oleh nalar induktif dari dalil-dalil syari;ah yang bersifat berkelanjutan , tetap dan menentukan. Syathibi sangat mengesampingkan filsafat aristoteles dengan dua alasa :
1.      Bahwa filsafat terjebak pada masalah-masalah abstrak tidak berbarengan dengan aksi atau perbuatan, padahal al alim dapat dipisahkan dari al amal akan perbuatan.
2.      Filsafat kata syathibi menggunakan metode analisis yang rumit padahal tujuan dari sebuah metode adalah untuk mengantarkan kita kepada ilmu pengetahuan secara efektif.
  1. Metode induksi syathibi dalam merumuskan al maqhasid al syari’ah.
Induksi menurut kaum logikawan adalah apa yang benar dan berlaku untuk anggota masing-masing , berlaku sebagai kebenaran untuk seluruh kelompok itu. Menurut mereka induksi adalah suatu bentuk penalaran dari partikular ke universal. Premis-premis yang digunakan dalam penalaran induktif terdiri atas proposisipartikular sedangkan konklukasinya adalah proposisi universal.
            Kumpulan penjelasan dan pendapat dari buku yaitu :
1.      Metode induksi , semual menajdi objek kajian tafsir teoritis  an sich, kemudian berkembang menjadi objek studi eksperimental dan diterapkan secara konkrit bersamaan dengan kedatangan islam.
2.      Objek penggunaan induksi berkembang sehingga meliputi bidang al syari’at.
3.      Induksi sebagai metode berfikir ilmiah mulai menemukan karateristikanya dalam sejarah peradaban muslim bersamaan dengan berkembangannya studi-studi ushul fiqh.
  1. Karateristik logika induktif.
Syathibi meletekan dua pilar penyangga bagai indkusi yaitu :
1.      Pilar syari’ah
Pilar syari’ah meliputi :
o   Metode induksi syathibi memiliki persesuaian dengan metode al qur’an ketika menetapkan berbagai hukum.
o   Metode induksi syathibi sejalan dengan metode kaum ushuli dalam menetapkan ijma’.
o   Metode induksi syathibi memiliki keserasian dengan metode kaum ushuli dalam menetapkan kaidah-kaidah ushuli dari sumber tekstual.
o   Prinsip al gholib alaktsari (mayoritas yang dominan), yaitu suatu prinsip yang sangat populer dikalanga kaum ushuli bahwa aktifitas manusia berdasarkan perisnp ini.
2.      Pilar logika
Pilar logika meliputi :
o   Transpormasi logika – prinsip ini sangat jelas ketika syathibi mengatakan bahwa induksi tidak lengkap memilki persamaan dengan al tawatur al ma’nawi.
o   Induksi tidal lengkap menjadi bagian dari pihak al mutawatir yang pasti karena perkumpulan kekuatan tidak sama dengan perpecahan dan menjadi dari bagiannya.
  1. Syathibi dan objek penggunaan metode pembuktian induktif.
Syathibi mendiskusikan peran syari’ah dalam melindungi maslahat yang fundamental (agama, jiwa,akal, keturunana, dan harat) dan dua sisi yaiutu : sisi janib al wujud (aspek positif) dan janib al adam (aspek negatif). Hubungan metodelogis yang menajdi pedoman syathibi anatar sholat sebagai jari’iyat dengan kulliyat al din sebagai maqashid sari’ah mempertegas usahanya dalam memberikan bukti terhadap prinsip umum dengan melakukan induksi terhadap sejumlah dalil yang tersusununtuknya. Karena dnegan ini prinsip syari’ah dapat dibedakan cabang-cabangnya.
  1. Al kulli dan juz.i menurut syathibi.
Model hubungan antara kulliyat dan juz’iyat dapat dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut :
1.      Terhadap hubungan timbal balik antara kulli dengan juz’iy dalam konteks mau mundur dari semua segi.
2.      Hubungan timbal balik antar kulli dan juz’i mencerminkan sifat thabi;ah jami’ah bukan istigriqiah, maksudnya adalah kulli secara defentif adalah kulli bukan suatu ilustriyang mereflikasikan semua juz’iyah yang ada dibawahnya.
3.      Pertentangan sebagai juz’iy dan kulli tidak akan menafihkan eksistensi masing-masing.
  1. Bidang-bidang lain yang ditetapkan syathibi dengan metode induksi.
Selain al maqhasid  dan al a syathibi juga menghubungkan tema tema lain dengan metode penelitian induktif ,yaitu sebagai berikut :
1.      Menggatungkan perintah dan larangan dengan al daruriyat dengan metode pembuktian induktif.
2.      Menggantungkan perintah dan larangan dengan al maqhasid al juz’iyat dengan metode pembuktian induktif.
3.      Metode induksi menunjukan bahwa al mutasyabih di dalam al qur’an lebih sedikit jumlahnya daripada al mahkam.
4.      Metode induksi menunjukan bahwa al nask tidak akan terjadi pada syari’ah.
5.      Metode induksi menunjukan bahwa al hijal sesuatu yang tidak dibenarkan dalam agama.
6.      Metode induksi menunjukan bahwa ketaatan dan maksiat akan menajadi besar sesuai dengan maslhata dan mafsadat yang akan diakibatkan oleh keduanya.
7.      Metode induksi menunjukan bahwa kecintaan dan kebencian kembali kepada dan hukuman yang ditentukan oleh syari;ah.
8.      Metode induksi menunjukan bahwa syarat masyrat sama dengan sifat mausuf.
9.      Metode induksi menunjukan bahwa akibat suatu perbuatan diakui daam syari’at.
10.  Metode induksi menunjukan bahwa sunnah tidak mengandung sejumlah hal yang tidak disebutkan oleh al qur’an.
11.  Metode induksi menunjukan bahwa prinsip dalam ibadah adalah ta’abut (ketaatan) sedangkan di dala al ‘adat adalah al ma’ani (kemaslahatn)
12.  Metode induksi menunjukan bahwa al ‘adaah (adat) yang dilembagakan sesuai kewajiban syari’ah tidak akan berubah.
  1. Induksi dan silogisme.
Dalam usahanya mengunifikasikan metode penalaran induktif dengan silogisme. Syathibi mengkhususkan satu permasalah denga lengkap untuk melunasipremis-premis pertama dalam silogisme.
            Cara untuk mengetahui maqhasid syari’ah ada empat, yaitu :
1.      Kejelasan prinsip-prinsip perintah mauoun larangan.
2.      Memperhatikan al’illah dalam suatu perintah dan larangan.
3.      Mencermati al mashalih yang mebgikati suatu perintah maupun larangan.
4.      Sikap dalam syari’ah terhadap suatu perjanjian bersama adanya motif untuk perjanjian.




Tiada ulasan:

Catat Ulasan

berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.