Hamdani Hakim = Success Is My Right !
Tidak penting kita dulu siapa dan bagaimana. Entah dulu kurang sekolah, anak nakal, miskin , bangkrut atau apapun kondisi kita. Yang penting adalah siapakah kita hari ini dan apa tujuan yang akan kita raih di hari depan.
Jumaat, 20 Mac 2015
Rabu, 29 Januari 2014
PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DI DUNIA MUSLIM
PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DI DUNIA MUSLIM :
Sejarah, Gerakan dan Perbandingan
Oleh : Yusdani
Abstract
The modern legislation in the field of law, especially in the family law at beginning of twentieth century entered and influenced on the Moslem family law. The characteristics of modern legislation was unification, codification, written law and the certainty of law. Toward the demand and the challenge of modern legislation, Moslem Countries have applied the books of fiqh that produced in the classical and the medieval period emerged ambivalent attitude. On one hand a group of Moslem scholar of fiqh thought that they must be guided by the books of fiqh school. On the other, they thought, they needed to harmonize the materials of law in the books of fiqh school with demanding modern legislation, for instance that conducted by Egypt, Pakistan, and Indonesia. So in the context of how to place the position of the result of thinking in family law in modern of Moslem world proportionally, it is urgent to research why and what background of the family law reform in Egypt, Pakistan, and Indonesia by using historical and comparative approach.
The result of this research revealed that (1)the reason for Egypt, Pakistan and Indonesia to reform the family law is to fulfill the demand and the challenge of modern legislation,(2) the method of family law reform in three countries above combines the principle of the public interest and the method of siyasah, tatbiq, takhayyur and tajdid, (3) the materials of family law in three countries, either in the Marriage act, in heritance law, in testament law or the others remove from the books of fiqh, and in many cases of the materials differ from the books of fiqh fundamentally.
Key words : Modern Legislation, Moslem Family Law, Reform
LATAR BELAKANG MASALAH
Pada zaman modern, khususnya abad ke-20, bentuk-bentuk literatur hukum Islam telah bertambah dua macam, selain fatwa, keputusan pengadilan agama, dan kitab fiqh. Adapun yang pertama ialah Undang-Undang yang berlaku di negara –negara muslim khususnya mengenai hukum keluarga. Sedangkan yang kedua adalah Kompilasi Hukum Islam yang sebenarnya merupakan inovasi Indonesia. kompilasi bukan kodifikasi, tetapi juga bukan kitab fiqh (Mudzhar, 1999:113).
Sikap para ulama terhadap diundangkannya
materi-materi hukum keluarga di negara-negara muslim telah menimbulkan
pandangan pro dan kontra, bahkan perdebatan sengit antara ulama-ulama yang tetap
ingin mempertahankan ketentuan-ketentuan hukum yang lama dengan kalangan
pembaru baik dalam persoalan-persoalan, baik yang menyangkut metodologi maupun
substansi hukumnya (Donohue dan Esposito,1995: 365-366). Sebagai contoh
misalnya, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, umat
Islam Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memadai untuk
mengatur masalah-masalah keluarga, perkawinan, perceraian dan warisan.
Sementara sebagian ulama tradisional Indonesia masih ada yang belum sepenuhnya
memahami atau menyetujiui berbagai aturan dalam kedua undang-undang tersebut
karena dianggap tidak selamanya sesuai dengan apa yang termuat dalam
kitab-kitab fiqh.
Akan tetapi sebagian ulama lain merasa bangga
dengan lahirnya kedua undang-undang itu karena dianggap sebagai kemajuan besar
dalam perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Apalagi dengan
disepakatinya hasil Kompilasi Hukum Islam oleh para ulama Indonesia pada tahun
1988 yang kemudian diikuti oleh Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni 1991
untuk menyebarluaskan dan sedapat mungkin menerapkan isi kompilasi tersebut,
hal ini telah menandai lembaran baru dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia
khususnya dalam bidang hukum keluarga (Mudzhar,1999 : 173).
Untuk
meletakkan hasil pemikiran hukum Islam dalam bidang hukum keluarga di dunia
muslim secara benar dalam perspektif perkembangan pemikiran hukum Islam, penelitian terhadap materi-materi atau
naskah-naskah kitab undang-undang hukum keluarga yang berlaku di negara-negara
muslim menjadi penting. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul Pembaruan
Hukum Keluarga di Dunia Muslim : Sejarah, Gerakan dan Perbandingan.
PERMASALAHAN
Berpangkal
tolak dari dasar-dasar pemikiran di
atas, yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Mengapa kaum muslim pada era moderen di satu pihak
melakukan pembaruan hukum keluarga sedangkan di sisi lain kaummuslim masih
terikat dengan fiqh mazhab ?
2.Bagaimana negara-negara muslim di atas melakukan
mereformasi hukum keluarga mereka ?
3.Materi-materi apa
dalam undang-undang hukum keluarga
yang berlaku di negara-negara muslim berbeda secara fundamental dengan
kitab-kitab fiqh ?
STUDI PUSTAKA
Negara-negara muslim di dunia ini dalam hubungannya dengan reformasi
hukum keluarga dapat dikategorikan menjadi (1) Negara muslim yang sama sekali
tidak mau melakukan pembaruan dan masih tetap memberlakukan hukum keluarga
sebagaimana yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh dari mazhab yang dianut. Saudi
Arabia merupakan contoh dari negara muslim yang termasuk kategori ini, (2)
Negara muslim yang sama sekali telah meninggalkan hukum keluarga Islam (fiqh)
dan sebagai gantinya mengambil hukum sipil Eropa. Turki adalah contoh negara
yang termasuk kelompok ini, dan (3) Negara-negara muslim yang berusaha
memberlakukan hukum keluarga Islam setelah mengadakan pembaruan. Di antara
negara yang termasuk kelompok ini adalah Mesir, Tunisia, Pakistan dan Indonesia
(Anderson, 1975:82-91).
Pembaruan dalam bidang hukum keluarga di dunia muslim ditandai tidak saja
oleh penggantian hukum keluarga Islam (fiqh) dengan hukum-hukum Barat, tetapi
juga oleh perubahan-perubahan dalam hukum Islam itu sendiri yang didasarkan
atas reinterpretasi (penafsiran kembali) terhadap hukum Islam sesuai dengan
perkembangan penalaran dan pengamalannya. Dengan cara inilah hukum keluarga di
dunia muslim mengalami perubahan. Tujuan
utama pembaruan hukum keluarga tersebut adalah meningkatkan status atau
kedudukan kaum wanita dan memperkuat hak-hak anggota keluarga (Donohue dan
Esposito,1995:364-365).
Di samping itu, ada juga pembahasan persoalan gender dan dampaknya
terhadap perkembangan hukum Islam” yang memfokuskan pada permasalahan bahwa
pembaruan hukum keluarga di dunia muslim bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan
derajat kaum wanita (Mudzhar,1999:121).
Pembahasan pembaruan hukum keluarga di negara-negara muslim tersebut ada
penelitian atas 22 negara muslim yang terdiri dari 13 negara Arab dan 9 negara
non-Arab. Pembahasan di atas meliputi latar belakang sejarah pembaruan hukum
keluarga di negara-negara muslim, teks-teks perundang-undangan masing-masing
dari 22 negara, dan mempergunakan analisa perbandingan (Mahmood,1987).
Penelitian-penelitian di atas belum membahas secara rinci mengenai
hal-hal yang melatarbelakangi munculnya pembaruan pemikiran hukum keluarga di
dunia muslim, sifat dan metode ijtihad yang dipergunakan kaum muslim dalam
mereformasi hukum keluarga dan bagaimana meletakkan hasil pemikiran hukum Islam
dalam bidang hukum keluarga di dunia muslim secara benar dan bertanggungjawab
dalam perspektif perkembangan pemikiran hukum Islam.
KERANGKA TEORI
Dalam perspektif historis, pembaruan hukum Islam menampakkan diri dalam
bentuk (1) kodifikasi
(pengelompokkan hukum yang sejenis ke dalam kitab undang-undang) hukum Islam
menjadi hukum perundang-undangan negara, yang dinamakan sebagai doktrin siyasah,(2)
tidak terikatnya umat Islam hanya pada satu mazhab hukum tertentu, yaitu
disebut doktrin takhayyur (seleksi)
pendapat yang paling dominan dalam masyarakat, (3) penerapan hukum terhadap
peristiwa baru, yang disebut doktrin tatbiq, dan (4) perubahan hukum
dari yang lama kepada yang baru yang dinamakan tajdid-reinterpretasi(Coulson,1994:149-185).
METODE
Penelitian ini bersifat penelitian pustaka (library research) yang sumber
utamanya adalah buku Personal Law in Islamic Countries : History, Texts
and Comparative Analysis karya Tahir Mahmood yang diterbitkan di New
Delhi oleh penerbit Academy of Law and Religion 1987. Di samping sumber
tersebut juga didukung buku-buku dan jurnal yang secara langsung berhubungan
dengan pokok permasalahan penelitian.
Negara muslim yang peneliti teliti dalam penelitian ini adalah tiga
negara, yaitu Mesir mewakili negara muslim Timur Tengah yang termasuk negara
muslim yang memperbarui hukum keluarga periode awal, Pakistan mewakili negara
muslim Asia Selatan yang melakukan pembaruan hukum keluarga periode kedua dan
Indonesia mewakili kawasan Asia Tenggara yang memperbarui hukum keluarga
termasuk periode akhir.
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini mengkombinasikan
pendekatan normatif dan pendekatan historis. Pendekatan normatif adalah melihat aturan-aturan yang terkandung
dalam hukum keluarga Mesir, Pakistan dan Indonesia. Sedangkan yang dimaksud
dengan pendekatan historis yaitu melihat bagaimana latar belakang sejarah
timbulnya pembaruan hukum keluarga di Mesir, Pakistan dan Indonesia dahulu,
bagaimana perkembangannya masa kini dan bagaimana pula prospeknya pada masa
mendatang, dengan kata lain pendekatan yang peneliti pergunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan sejarah sosial (Mudzhar,1998:105).
Metode analisis yang peneliti pergunakan dalam penelitian ini adalah content analysis atau
analisis isi (Muhajir,1993:49) terhadap materi-materi perundang-undangan hukum
keluarga yang berlaku di Mesir, Pakistan dan Indonesia. Analisis isi tersebut
dilakukan dengan langkah-langkah atau prosedur ekstraksi dan reduksi data yang memperhatikan obyektivitas, sistematis
dan generalisasi. Kemudian dilakukan interpretasi, abstraksi (Mahfud,1999:14)
dan penjabaran (Sutiyoso,1999:133) terhadap isi atau kandungan yang terdapat
dalam perundang-undangan hukum keluarga Mesir, Pakistan dan Indonesia.
Di samping itu, peneliti juga
menggunakan analisa perbandingan
antarmateri perundang-undangan hukum keluarga yang berlaku di
negara-negara muslim dan antara perundang-undangan hukum keluarga yang sekarang
berlaku di Mesir, Pakistan dan Indonesia dengan kitab-kitab fiqh, dan akhirnya
peneliti membuat kesimpulan.
HASIL PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN
1.Hukum
Keluarga Mesir, Pakistan dan Indonesia
Undang-undang yang terbit di bidang
hukum keluarga di Mesir adalah Ordonansi Susunan Pengadilan Agama tahun 1897,
Undang-Undang No. 25 tahun 1929 tentang Beberapa Ketentuan Hukum Keluarga,
Undang-Undang No. 78 tahun 1931 tentang Susunan Pengadilan Agama, Undang-Undang
Kewarisan dan Wasiat dan Undang-Undang Wakaf yang terbit tahun 1943 dan 1946,
dan Undang-Undang No. 44 tahun 1979 tentang Beberapa Ketentuan Hukum Keluarga.
Sedangkan undang-undang terpenting mengenai keluarga di Pakistan adalah Child
Marriage Restraint Act,1929, Dissolution of Muslim Marriages Act, 1939 dan
Muslim Family Laws Ordinance,1961(Siraj,1993:104).
Asal muasal pengadilan agama di
Indonesia dapat ditelusuri dari penghulu atau kepala administrasi masjid
daerah, yang mengurusi urusan keluarga serta warisan dari sejak abad ke-16.
Pada saat itu. Pengadilan agama dilaksanakan di serambi masjid dan keputusannya
didasarkan pada mazhab Syafi’i ( Cammack,1992 :30).
Pada tahun 1882 dikeluarkan dekrit yang menetapkan pengadilan dalam
bentuknya yang sekarang. Dekrit ini menetapkan bahwa pengadilan agama harus
didirikan di daerah yang telah mempunyai pengadilan pemerintah dan wilayah
yuridiksi pengadilan agama harus pula bersinggungan dengan wilayah pengadilan
pemerintah (Cammack,1992:30). Pada tahun 1946 pemerintah Indonesia menetapkan
suatu keputusan agar umat Islam mencatatkan perkawinan dan perceraian mereka (
UU No,22/1946).
Pada tahun 1974 pemerintah Indonesia bersama DPR menetapkan
UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai undang-undang perkawinan
nasional Indonesia, yang kemudian disusul dengan terbitnya Peraturan Pemerintah
No.9 tahun 1975 sebagai petunjuk pelaksanaan UU No.1 tahun 1974 tersebut (
Mahmood, 1987 : 207 dan 212). Kemudian pada tahun 1983 keluar Peraturan
Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang peraturan Poligami bagi Pegawai Negeri
Sipil Indonesia (Mudzhar,1999: 117).
Perkembangan selanjutnya adalah pada
tahun 1989 Pemerintah Indonesia bersama DPR mengesahkan UU No. 7 tahun 1989
tentang UU Peadilan Agama yang berisi berbagai peraturan beracara di pengadilan
Agama. Kemudian disusul dengan terbitnya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi
Hukum Islam tersebut didukung oleh Inpres No. 1 tahun 1991 sebagai peraturan
untuk pemasyarakatannya. Kompilasi di
atas sebenarnya adalah inovasi Indonesia. Kompilasi bukan kodifikasi, tetap
juga bukan kitab fiqh ( Mudzhar,1999 :113).
2.Masalah
batas umur untuk kawin.
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang
perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun. Sedangkan Hukum Keluarga di Mesir
menjelaskan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika laki-laki berumur 18
tahun dan wanita berumur 16 tahun, demikian juga dalam Hukum Keluarga di
Pakistan dinyatakan bahwa perkawinan
dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16
tahun (Mahmood, 1987 :270). Batas umur
kawin untuk Indonesia di atas, jika dibandingkan dengan batas umur kawin baik di Mesir maupun Pakistan sebenarnya
sama, kecuali untuk laki-laki relatif
tinggi.
3..Masalah
pencatatan perkawinan.
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1
tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan
di Mesir dimulai dengan terbitnya Ordonansi Tahun 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan
dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah itu
kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka.
Ordonansi Tahun 1880 itu didikuti dengan lahirnya Ordonansi Tahun 1897 yang
pasal 31-nya menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya
hubungan perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya
salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan suatu dokumen yang bebas dari
dugaan pemalsuan. Sedangkan di Pakistan telah timbul pemikiran tentang
kewajiban mencatatkan perkawinan dengan ditetapkannya suatu ketentuan yang
termuat dalam pasal 5 Ordonansi Hukum Keluarga Islam Tahun 1961 (Muslim Family
Laws Ordinance,1961). Dalam pasal ini ditegaskan bahwa yang berwenang
mengangkat pejabat-pejabat pencatat nikah dan mengizinkan mereka untuk
melakukan pencatatan akad nikah adalah Majelis Keluarga(Union Council) dan
bahwa majelis ini memberi izin untuk melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada
satu orang pada setiap daerah tertentu. Sesuai dengan pasal tersebut,
perkawinan yang tidak dicatat tidaklah dianggap batal. Hanya saja para pihak
berakad dan saksi yang melanggar ketentuan ordonansi itu dapat dihukum karena
tidak mencatatkan nikah itu, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan
dan hukuman denda setinggi-tingginya seribu rupiah. Ketentuan hukuman ini sama
sekali tidaklah bertentangan dengan dengan asas-asas pemikiran hukum pidana
Islam, yang justru memberi hak kepada penguasa untuk memberikan hukuman ta’zir
bila diperlukan guna mempertahankan kepentingan-kepentingan yang dikehendaki
oleh syara’ (Siraj,1993:106).
Dari
tiga negara tersebut terdapat kesamaan pandangan tentang perlunya akad nikah
diaktakan. Pentingnya diaktakan akad perkawinan di atas karena menyangkut
persoalan asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Akan tetapi tiga negara di atas
belum sampai kepada sikap dan pandangan bahwa pencatatan nikah termasuk rukun
baru dari akad nikah. Hal ini dapat dilihat dari masih dianggap sah suatu
pernikahan yang tidak dicatat.
4. Masalah
cerai di depan pengadilan
Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan No.
1 tahun 1974 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Aturan ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh
klasik yang menyatakan bahwa talak dapat terjadi dengan pernyataan sepihak dari suami, baik secara lisan maupun tertulis, secara bersungguh-sungguh atau
bersenda gurau (Mudzhar,1999:116).
Di Pakistan, menurut UU tahun 1961 dinyatakan bahwa seorang suami
masih dapat menjatuhkan talak secara sepihak di luar pengadilan, tetapi segera
setelah itu ia diwajibkan melaporkannya kepada pejabat pencatat perceraian yang
kemudian akan membentuk Dewan Hakam (Arbitrasi) untuk menengahi dan mendamaikan
kembali pasangan suami isteri itu. Jika setelah 90 hari usaha perdamaian itu
gagal, talak itu berlaku.
Di Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa
ketentuan hukum keluarga menghendaki
dibatasinya hak talak suami dengan cara mewajibkannya mencatatkan talak pada
waktu dijatuhkan dan memberitahukan kepada isterinya. Jika tidak, ia dapat
dikenai hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan denda sebanyak-banyaknya
dua ratus pound, dan talak hanya menimbulkan akibat hukum sejak dari tanggal
diketahuinya oleh isteri. Undang-undang itu juga menetapkan untuk janda yang
ditalak setelah dicampuri suatu pemberianmutah yang besarnya sama dengan nafkah
selama dua tahun (Mahmood,1987: 31-32).
5. Poligami
Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU
Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Juga seorang
wanita hanya bolaeh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 40
dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari
satu, ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.
Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit terjadinya poligami,
bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun 1983 poligami praktis
dilarang.
Di Mesir menurut pasal 6
Undang-Undang tahun 1979 dan Ordonansi tahun 1929 (Mahmood,1987
:273-274)poligami dianggap sebagai menyakiti isteri sehingga memberinya hak
untuk meminta pemutusan perkawinan selama ia tidak setuju atau belum lewat
waktu satu tahun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya dengan wanita
lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya hak minta pemutusan perkawinan
itu diberikan kepada isteri apabila dengan poligami itu terbukti adanya
kesakitan yang dialami isteri (Siraj,1993 : 108-109).
Hukum Pakistan mengikuti garis
perkembangan yang sama dalam masalah poligami. Dalam Undang-Undang Pemutusan
Perkawinan Islam Tahun 1939 dinyatakan bahwa wanita berhak minta pemutusan
perkawinan apabila terbukti ia mendapat kesakitan karena poligami. Kemudian
diterima pandangan yang membatasi poligami, akan tetapi dilakukan dengan cara
yang berbeda dengan cara yang diambil oleh hukum Mesir. Ordonansi Pakistan
Tahun 1961 menyatakan wajibnya seorang yang ingin melakukan poligami memperoleh
persetujuan majelis keluarga yang akan mengangkat suatu badan arbitrasi yang
mencakup wakil isteri , dan badan arbitrasi ini tidak akan mengeluarkan
persetujuan sang suami mengambil satu isteri lagi sebelum ia yakin betul
terhadap keadilan dan perlunya suami kawin lagi. Pasal 6 Ordonansi Pakistan
Tahun 1961 itu menetapkan bahwa suami yang melakukan perkawinan kedua dengan
wanita lain tanpa memperoleh persetujuan tersebut, dapat dikenakan hukuman
penjara selam-lamanya satu tahun dan denda sebanyak-banyaknya lima ribu rupiah,
dan isteri terdahulu memperoleh hak atas talak (Mahmood,1987:245-246).
Dari sudut pandangan fuqaha modern,
dengan menetapkan hukuman seperti itu atas semata-mata poligami, ordonansi tersebut
telah sampai pada batas pelanggaran terhadap filsafat fiqh yang menegaskan
bahwa tidak ada hukuman dalam melakukan perbuatan yang dibenarkan
syara’(Siraj,1993:109).
6.Bagian
warisan anak laki-laki dan perempuan
Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam
Indonesia menyatakan bahwa jika anak perempuan menjadi ahli waris bersama-sama
anak laki-laki, bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak
perempuan. Kemudian pasal 183 Kompilasi Hukum Islam tersebut menyatakan bahwa
para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta
warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Ide pokok dari kedua diktum di
atas adalah bahwa sesuai dengan ajaran Alquran, bagian anak laki-laki adalah
dua kali lipat bagian anak perempuan, tetapi untuk memberikan bagian yang sama
kepada ahli waris laki-laki dan perempuan asalkan para ahli waris itu sendiri
sepakat demikian. Demikianlah cara ulama Indonesia melakukan kompromi dengan
budaya lokal ( Mudzhar,1999:119). Di Mesir dan Pakistan tidak ada yang
mempersoalkan masalah besarnya bahagian laki-laki dan wanita, dua berbanding
satu ini (Mudzhar,1998:184).
7. Wasiat
wajib
Pada tahun 1946 lahir Undang-Undang
Kewarisan Mesir yang berisi pemecahan fiqh terhadap masalah tidak diberikannya
bagian warisan kepada cucu-cucu yang ayah atau ibu mereka telah meninggal lebih
lebih dahulu dari kakek atau nenek mereka, dan tertutupnya cucu-cucu tersebut
oleh orang-orang dari lapisan yang lebih di atas dari mereka. Pemecahan
cemerlang yang diberikan oleh undang-undang ini tercermin dalam konsep wasiat
wajib yang didasarkan pada pengandaian bahwa kakek atau nenek telah
berwasiat untuk cucu-cucunya dengan sejumlah peninggalan yang besarnya sama
dengan bagian yang sedianya akan diterima oleh ayah atau ibu mereka yang telah
meninggal semasa hidupnya kakek atau nenek mereka ( Mahmood,1987 : 303 dan
Siraj,1993:112-113).
Sedangkan di Pakistan, Ordonansi
1961 berpegang kepada prinsip penggantian tempat secara penuh oleh para cucu terhadap
orangtua mereka yang sudah meninggal sewaktu kakek/nenek masih hidup. Cucu-cucu
tersebut mengambil bagian ayah mereka seandainya ia masih hidup pada waktu
meninggalnya kakek/nenek. Oleh karena itu, seandainya seseorang wafat dan
meniggalkan seorang anak lelaki dan seorang anak lelaki dari anak lelaki yang
ayahnya telah meninggal lebih dahulu dari seorang, serta anak perempuan dari
anak perempuan yang ibunya juga telah meninggal lebih dahulu dari seorang yang
wafat tersebut, harta peninggalan dibagi lima bagian :anak lelaki simati
mengambil dua bagian, cucu lelaki dari pancaran anak lelaki mengambil dua
bagian juga dan cucu perempuan pancaran perempuan mengambil satu bagian yang
sedianya akan diambil oleh ibunya seandainya ibunya masih hidup (Siraj,1993:114
dan Mahmood,1987:303). Ketentuan yang dipegangi oleh Ordonansi Pakistan ini,
seperti dikatakan Coulson, sangat kontras dibandingkan dengan cara
undang-undang Mesir menangani problem yang sama melalui wasiat wajib, suatu
sistem yang jelas dapat ditemukan dasar-dasarnya dalam sumber-sumber fiqh
tradisional ( Coulson,1994:203).
Mengenai wasiat wajib terhadap
cucu yatim, pasal 185 Kompilasi Hukum Islam Indonesia menyatakan bahwa
ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya. Pasal ini sesuai dengan ijtihad para ulama Mesir yang
melalui Hukum Waris tahun 1946 menyatakan bahwa seorang anak yang lebih dahulu
meninggal dunia dan meninggalkan anak pula, cucu itu mengantikan ayahnya dalam
mewarisi kakeknya atau neneknya dengan cara memperoleh wasiat wajib tidak
lebih dari sepertiga harta. Dalam
kitab-kitab fiqh klasik tentu saja ketentuan-ketentuan demikian itu tidak ada,
karena warisan pada dasarnya hanya untuk ahli waris yang masih hidup. Langkah
Mesir itu dipandang lebih mendekati keadilan (Mudzhar,1998:184)
KESIMPULAN
Sebagai penutup dari pembahasan-pembahasan terdahulu, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :
1.Bahwa reformasi hukum keluarga yang dilakukan oleh
Mesir, Pakistan dan Indonesia merupakan upaya menjawab tantangan modernitas
dalam bidang hukum keluarga, karena pemahaman konvensional yang mapan tentang berbagai ayat Alquran,
hadis dan kitab-kitab fiqh tidak mampu menjawab tantangan dan problema hukum
keluarga yang muncul pada era moderen.
2.Bahwa metode ijtihad yang dipergunakan oleh Mesir, Pakistan dan
Indonesia dalam memperbarui hukum keluarga adalah mengkombinasikan berbagai
metode ijtihad yang biasanya dipergunakan oleh ulama usul al-fiqh -maslahat-
dengan mempertimbangkan tuntutan legislasi modern.
3.Bahwa materi-materi hukum
keluarga di Mesir, Pakistan dan Indonesia baik dalam bidang perkawinan,
warisan, wasiat dan lain-lain telah bergeser dari kitab-kitab fiqh mazhab
bahkan dalam hal-hal tertentu materi-materi hukum keluarga tersebut berbeda
secara fundamental dari kitab-kitab fiqh.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaeman.1996. Dinamika Qiyas dalam
Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i. Jakarta :
Pedoman Ilmu Jaya.
Abdurrahman.1992. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo.
Ahmad, Amrullah dkk (Ed.). 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Th
Prof.Dr.H. Bustanul Arifin, SH. Jakarta: Gema Insani Press.
Anderson, J.N.D 1975. Islamic Law in the Modern
World. New York :New York University Press.
Anderson, J.N.D. . 1976. Law Reform in the Muslim
World. London : University of London Press.
Cammack,Mark.1993. “Hukum Islam dalam politik Hukum
Orde Baru “ dalam Sudirman Tebba (editor ) Perkembangan Hukum Islam di Asia
Tenggara Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya. Bandung :
Mizan. Hlm. 27-54.
Coulson, N.J. 1969. Conflicts
and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago dan London: the University
of Chicago Press.
Coulson, N.J.1994. A History of Islamic Law.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Donohue, John J.. dan John L. Esposito.1995. Islam
dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah. Kata Pengantar M. Amin
Rais.Terj.Machnun Husein dari judul asli Islam in Transition : Muslim
Perspective. Jakarta : Radjawali Press.
Esposito, John L..1982. Women in Muslim Family
Law. Syracus: Syracus University Press.
Faruki, Kemal.1965. “ Orphaned Grandchildren in
Islamic Succession Law”, dalam Islamic
Studies. Karachi, Vol.3, hlm.262.
Islam, Negara dan Hukum.1993. – Kumpulan karangan di bawah redaksi Johannes den Heijer dan
Syamsul Anwar. Jakarta : INIS.
Jauziyah, Ibn al-Qayyim al. 1955. A’lam al-Muwaqi’in.
Mesir: Maktabah at-Tijariyah.
Jaziri,Abd al- Rahman al-. Tanpa Tahun. al-Fiqh
ala Mazahib al-Arba’ah. Mesir : Maktabah al-Tijariyah al-Kubra.
Khallaf, Abdul Wahhab.Tanpa Tahun. Ilm Usul al-Fiqh.
Mesir : Maktabah ad-Dakwah.
Mahmood, Tahir.1972. Family Law Reform in the
Muslim World. Bombay:Tripathi.
Mahmood, Tahir.1987. Personal Law in Islamic
Countries : History, Text and Comparative Analysis. New Delhi : Academy of
Law and Religion.
MD. Moh. Mahfud, Sidik Tono dan Dadan Muttaqien (Editor).1993.
Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia.
Yogyakarta : UII-Press.
M.D. , Moh. Mahfud.1999. Karakter Produk Hukum Zaman
Kolonial dan
Karakter Produk Hukum pada Zaman Penjajahan di Indonesia.
Yogyakarta :UII-Press.
Mu’allim, Amir
dan Yusdani. 1999. Konfigurasi
Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta : UII-Press.
Mudzhar, M. Atho. 1998a. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mudzhar, M. Atho.1993. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia
: Sebuah Studi Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Disertasi pada UCLA
Terj.Soedarso Soekarno dari judul Bahasa Inggris Fatwas of The Council of
Indonesian Ulama : A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988. Edisi Dwibahasa
(Indonesia dan Inggris ). Jakarta :INIS.
Mudzhar, M. Atho.1999. Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Guru Besar Madya
Ilmu Sosiologi Hukum Islam, 15 September
1999. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga.
Mudzhar, M. Atho’.1998. Membaca Gelombang Ijtihad
: Antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Mudzhar, M. Atho’.1999. “ Dampak Gender Terhadap
Perkembangan Hukum Islam” dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol.1
No.1 1999. Hlm.110-123.
Muhajir, Noeng. 1993. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Yogyakarta :Rake Sarasin.
Nasution, Harun.1982. Pembaharuan dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang.
Powers, David S. 1986. Studies in Quran and
Hadith : The formation of Islamic of Inheritance, Berkley: University of
California Press.
Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum dan Masyarakat.
Bandung : Angkasa
Rahman, Fazlur.1970. Toward Reformulating the Methodology of
Islamic Law : Shaikh Yamani on Public Interest in Islamic Law. International
Law and Politic.
Rahman, Fazlur.1980. Major Themes of the Quran.
Chicago : Bibliotheca Islamic.
Rasyid, Roihan A.. 1998. Hukum Acara Peradilan
Agama. Jakarta : Rajawali Pers.
Sabuni, Muhammad Ali as-. 1972. Rawai’ al Bayan
:Tafsir Ayat al-Ahkam min Alquran. Kuwait : Dar Alquran al-Karim.
Schacht, Joseph.1960. “Problems of Modern Islamic
Legislation”. Dalam Studica Islamica, vol. 12, hlm. 120.
Schacht, Joseph.1971. An Introduction to Islamic
Law. London :Oxford at the Clarendon Press.
Siraj, Muhammad. 1993. “ Hukum Keluarga di Mesir dan
Pakistan “ dalam Islam, Negara dan Hukum. Seri INIS XVI Kumpulan Karangan di Bawah
Redaksi Johannnes den Heijer, Syamsul Anwar. Jakarta : INIS. Hlm. 99-115.
Sutiyoso, Bambang.2000. “ Kemandirian Hakim dan
Implikasinya Terhadap Penegakan Hukum”., dalam Jurnal Penelitian Logika –
Logika, Hipotetiko, Verifikasi, Volume 3, Nomor 4, 1999. Yogyakarta : Lembaga
Penelitian Universitas Islam Indonesia, hlm, 105-118.
Syahrastani, asy-. Tanpa Tahun. Al-Milal wa an-Nihal. Beirut : Dar al-Fikr.
Syahrur, Muhammad. 1990.al-Kitab wa Alquran
Qiraah Mu’asirah. Qahirah : Sina li al- Nasyr wa al-Ahali.
Syatibi, Asy.Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Usul asy-
Syari’ah. Kairo : Mustafa Muhammad.
Syawaf, Munir Muhammad Tahir.1993. Tahafut al-Qira’ah
al-Mu’asirah. Limassol – Cyprus.
Thalib, Sajuti.1982. Receptio a Contrario (Hubungan Hukum
Adat dengan Hukum Islam). Jakarta : Bina Aksara.
Tim Redaksi. 1996.Insklopedi Islam. Jakarta:
P.T. Ichtiar Baru van Hoeve
Wahjono, Padmo.1996. “Budaya Hukum Islam dalam Perspektif
Hukum di Indonesia Masa Datang, dalam Amrullah ahmad dkk (Ed.) Dimensi Hukum
Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 TH Prof. Dr. H. Busthanul Arifin
SH. Jakarta : Gema Insani Press. Hlm.167-176.
Yusdani. 2000. Peranan Kepentingan Umum Dalam
Reaktualisasi Hukum : Kajian Hukum Islam Najamuddin At-Tufi. Yogyakarta :
UII-Press.
Zahrah, Muhammad Abu. Tanpa Tahun.Usul al-Fiqh. Mesir
: Darul Fikr al-Arabi.
Sistem Pemilu di Indonesia
Sistem Pemilu di Indonesia
A.
Pengertian,
Hakekat dan Tujuan Pemilu
1. Pengertian
Pemilu adalah sarana pelaksana
kedaulatan rakyatuntuk memiih anggota DPR,DPD dan DPRD serta Presiden dan Wakil
Presiden. Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi rakyat berdasarkan asas
langsung,umum,bebas,rahasia,jujur dan adil serta menjamin prinsip-prinsip
keterwakilan, akuntabilitas dan legitimasi. Pemilu dapat jjuga diartikan
sebagai
2. Hakekat
Partai politik dalam negara Republik
Indonesia pada satu sisi berperan sebagai saluran utama untuk memperjuankan
kehendak masyarakat, bangsa, dan negara.Sebagai amanat reformasi kualitas
penyelenggaraan pemilu harus ditingkatkan agar lebih menjamin kompetisi yang
sehat, partisipasif yang dinamis, derajat keterwakilan yang lebih tinggi dan
mekanisme serta pertanggungjawaban yang jelas.
3. Tujuan
Dari uraian pengertian dan hakekat
di atas dapat dipahami bahwa tujuan diselenggarakannya pemilu adalah adalah
untuk memilih wakil rakyat dan wakil derah untuk membentuk pemerintahan yang
demokratis,kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan
nasional.
B.
Sistem
Pemilihan Umum di Indonesia
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009
bangsa Indonesia telah menyelenggarakan Sepuluh kali pemilihan umum 1955, 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Dari pemilihan
umum-pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya untuk mencari system
pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
1. Sistem Proporsional
Pemilihan umum pada tahun ini dengan
menggunakan system proporsional. Sistem proposional (multi member constituency)
adalah sistem pemilihan umum, dimana wilayah negara atau wilayah pemilihan
dibagi – bagi dalam daerah – daerah pemilihan yang dikenal dengan singkatan
dapil, dimana tiap – tiap daerah jumlah wakil yang akan duduk dalam perwakilan
lebih dari satu orang wakil. Kelebihan sistem proposional :
a. Sistem proposional dianggap
representative
b. Sistem proposional dianggap lebih demokratis
Kelemahan sistem proposional:
a. Sulit terjadinya intergrasi partai,karna
partai cenderung bertambah
b. kader partai sulit berkembang,karena
penentuan calon jadi didasarkan nomor urut.
c. wakil terpilih belum tentu orang
dikenal pemilih secara baik.karena banyak partai sulit mendapatkan suara
mayoritas.
2. Sistem distrik (single member
constituency)
Sistem distrik adalah sistem
pemilihan umum, dimana wilyah negara atau wilayah pemilihan dibagi – bagi dalam
distrik atau wilayah pemilihan dimana tiap wilayah akan dipilih satu wakil atau
calon wakil yang mendapatkan suara terbanyak diwilayahnya.
Kelebihan
dari sistem distrik adalah :
a.
Sistem
ini lebih mendorong ke arah integrasi partai.
b.
Wakil
adalah tokoh yang dikenal pemilih.
c.
partai
lebih mudah mencapai kedudukan mayoritas.
d.
Sistem
ini sederhana, ekonomis dan mudah untuk diselenggarakan
Sistem
ini memiliki kelemahan sebagai berikut :
a.
Sistem
ini kurang memperhatikan partai kecil.
b.
Banyak
suara hilang
c.
Kurang
efektif dalam masyarakat yang plural
d.
wakil
terlaluberorentasi pada daerah pemilih.
C.
Asas
Pemilihan Umum Indonesia
Pemilihan umum di Indonesia menganut
asas “Luber” yang merupakan singkatan dari “Langsung, Umum, Bebas dan
Rahasia”.Asal “Luber” sudah ada sejak zaman Orde Baru.Langsung berarti pemilih
diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.Umum
berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki
hak menggunakan suara.Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya
tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang
diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu
sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang
pula asas “Jurdil” yang merupakan singkatan dari “Jujur dan Adil”. Asas jujur mengandung
arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk
memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai
dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk
menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang
sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun
diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil
mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga
penyelenggara pemilu.
Asas
Pemilu yaitu Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang akan diuraikan sebagai
berikut :
1.
Langsung
berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya
sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara;
2.
Umum
berarti pada dasarnya semua warganegara yang memenuhi persyaratan minimal dalam
usia , yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah kawin
berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warganegara yang sudah berumu 21 (dua
puluh satu) tahun berhak dipilih. Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung
makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang
telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar
acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial;
3.
Bebas
berarti setiap warganegara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya
tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap
warganegara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati
nurani dan kepentingannya;
4.
Rahasia
berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan
diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan
suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada
suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang telah
keluar dari tempat pemungutan suara dan secara sukarela bersedia mengungkapkan
pilihannya kepada pihak manapun;
5.
Jujur
berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum; penyelenggaraan/ pelaksana,
pemerintah dan partai politik peserta Pemilu, pengawas dan pemantau Pemilu,
termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus
bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
6.
Adil
berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik
peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak
manapun.
D.
Syarat
Pemilu Demokratis
Disepakati bahwa pemilu merupakan
sarana demokrasi untuk membentuk kepemimpinan negara. Dua cabang kekuasaan
negara yang penting, yaitu lembaga perwakilan rakyat ( badan legislatif) dan
pemerintah (badan eksekutif), umumnya dibentuk melalui pemilu. Walau pemilu
merupakan sarana demokrasi, tetapi belum tentu mekanisme penyelenggaraannya pun
demokratis.Sebuah pemilu yang demokratis memiliki beberapa persyaratan.
1. Pemilu harus bersifat kompetitif,
artinya peserta pemilu baik partai politik maupun calon perseorangan harus
bebas dan otonom. Baik partai politik yang sedang berkuasa, maupun
partai-partai oposisi memperoleh hak –hak politik yang sama dan dijamin
oleh undang – undang (UU), seperti kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat,
berkumpul dan berserikat. Syarat kompetitif juga menyangkut perlakuan yang sama
dalam menggunakan sarana dan prasarana publik, dalam melakukan kampanye, yang
diatur dalam UU. Misalnya stasiun televisi milik negara harus memberikan
kesempatan yang besar pada partai politik yang berkuasa, sementara
kesempatan yang sama tidak diberikan pada partai-partai peserta pemilu lainnya.
2. Pemilu harus diselenggarakan secara
berkala. Artinya pemilihan harus diselenggarakan secara teratur dengan
jarak waktu yang jelas. Misalnya setiap empat, lima, atau tujuh tahun sekali.
Pemilihan berkala merupakan mekanisme sirkulasi elit, dimana pejabat yang
terpilih bertanggung jawab pada pemilihnya dan memperbaharui mandat yang
diterimanya pada pemilu sebelumnya. Pemilih dapat kembali memilih pejabat yang
bersangkutan jika merasa puas dengan kerja selama masa jabatannya. Tetapi dapat
pula menggantinya dengan kandidat lain yang dianggap lebih mampu, lebih
bertanggung jawab, lebih mewakili kepemimpinan, suara atau aspirasi dari
pemilih bersangkutan. Selain itu dengan pemilihan berkala maka kandidat
perseorangan atau kelompok yang kalah dapat memperbaiki dan mempersiapkan diri
lagi untuk bersaing dalam pemilu berikut.
3. Pemilu haruslah inklusif. Artinya
semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang
cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki
peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu kelompok
pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu. Hal ini diharapkan
akan tercermin dalam hasil pemilu yang menggambarkan keanekaragaman dan perbedaan
– perbedaan di masyarakat.
4. Pemilih harus diberi keleluasaan
untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana
yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas.
Keterbatasan memperoleh informasi membuat pemilih tidak memiliki dasar
pertimbangan yang cukup dalam menetukan pilihannya. Suara pemilih adalah
kontrak yang (minimal) berusia sekali dalam periode pemilu (bisa empat, lima,
atau tujuh tahun). Sekali memilih, pemilih akan ”teken kontrak” dengan partai
atau orang yang dipilihnya dalam satuperiode tersebut. Maka agar suara pemilih
dapat diberikan secara baik, keleluasaan memperoleh informasi harus benar-benar
dijamin.
5. Penyelenggara pemilu yang tidak
memihak dan independen. Penyelenggaraan pemilu sebagian besar adalah kerja
teknis. Seperti penentuan peserta pemilu, Pembuatan kertas suara, kotak suara,
pengiriman hasilpemungutan suara pada panitia nasional, penghitungan suara,
pembagian cursi dan sebagainya. Kerja teknis tersebut dikoordinasi oleh sebuah
panitia penyelenggara pemilu. Maka keberadaan panitia penyelenggara pemilu yang
tidak memihak, independen, dan profesional Sangay menentukan jalannya proses
pemilu yang demokratis. Jika penyelenggara merupakan bagian dari partai politik
yang berkuasa, atau berasal dari partai politik peserta pemilu, maka azas
ketidakberpihakan tidak terpenuhi. Otomatis nilai pemilu yang demokratis juga
tidak terpenuhi.
Ada
7 (tujuh) tugas Pemilu menanti anggota KPU yaitu :
a.
Merencanakan
program, anggaran serta menetapkan jadwal Pemilu;
b.
Penyesuaian
struktur organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal KPU paling lambat 3
bulan sejak pelantikan anggota KPU;
c.
Mempersiapkan
pembentukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) paling lambat 5 (lima) bulan setelah
pelantikan anggota KPU;
d.
Bersama-sama
Bawaslu menyiapkan kode etik, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Bawaslu
terbentuk;
e.
Memverifikasi
secara administratif dan faktual serta menetapkan peserta Pemilu;
f.
Memutakhirkan
data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar
pemilih tetap;
g.
Menetapkan
standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan barang dan
jasa Pemilu.
Langgan:
Catatan (Atom)